Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Industri Senjata</font><br />Panser ’Made In’ Kiaracondong

Pemerintah mengerem impor senjata dan mengutamakan produk dalam negeri. Masih banyak pekerjaan rumah.

24 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG teknisi PT Dirgantara Indonesia terlihat sibuk memasang pipa pada sistem pengisian bahan bakar helikopter Super Puma. ”Ini pipa ventilasi untuk tangki kiri heli,” kata Affendi, teknisi itu, sambil memperbaiki posisi kacamatanya. Di hanggar Pindad di Bandung, ia cekatan menjelaskan satu per satu bagian mesin pesawat itu. ”Di kanan ada dua tangki bahan bakar, di kiri ada tiga.”

Pada Jumat dua pekan lalu, hanggar itu terasa hidup dengan suara dentang peralatan besi dan dengung mesin. Selain Affendi, ada 15 teknisi lain yang sedang mengerjakan tiga helikopter. ”Yang ini baru selesai 20 persen,” kata Affendi seraya menunjuk helikopter yang sedang dia kerjakan. Dua helikopter lain hampir selesai. ”Tinggal menyelesaikan sistem radar dan beberapa bagian mesin,” kata Wawan Setiawan, koleganya.

Tiga buah helikopter itu adalah pesanan TNI Angkatan Udara. Selain menyelesaikan heli, Dirgantara juga sedang mengerjakan dua helikopter Combat SAR Cougar dan pesawat CN-235 untuk patroli laut. ”Semuanya ditargetkan selesai pada 2009,” kata Budiwuraskito, Direktur Integrasi Pesawat Terbang perusahaan tersebut. Setelah itu, order lain sudah menunggu. Belasan pesawat Fokker 27 milik TNI AU juga kabarnya akan diganti CN-235.

Inilah hasil dari kebijakan pemerintah untuk mengalihkan pembuatan sistem persenjataan TNI secara bertahap ke industri dalam negeri. Pada awal Desember lalu, dalam rapat koordinasi pengadaan alat utama sistem persenjataan yang diadakan di kantor Pindad, Bandung, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan kembali kebijakan itu. ”Buatan dalam negeri lebih murah 50-60 persen,” kata Kalla. Dia juga meminta PT Pindad menyelesaikan 150 panser pesanan TNI Angkatan Darat sebelum peringatan ulang tahun TNI, 5 Oktober tahun depan.

l l l

KEBIJAKAN revitalisasi industri pertahanan dalam negeri sebenarnya bukan hal baru. Awalnya adalah kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Departemen Pertahanan untuk sebuah diskusi pada Februari 2005. Salah satu topik diskusi adalah pengadaan sistem persenjataan TNI. Pilihan untuk mengembangkan industri pertahanan dinilai strategis, mengingat embargo senjata Indonesia oleh Amerika Serikat saja baru berakhir dua tahun lalu. ”Sejak kunjungan Presiden itu, setiap tiga bulan, kami mengadakan rapat khusus membahas program ini,” kata Marsekal Madya Eris Heryanto, Direktur Jenderal Sarana Pertahanan Departemen Pertahanan.

Rapat diadakan bergantian di kantor BUMN industri strategis yang terlibat. Selain Dirgantara, ujung tombak program ambisius ini adalah PT Pindad (pabrik persenjataan dan amunisi), PT PAL Indonesia (kapal), PT Dahana (bahan peledak), dan PT LEN (instalasi listrik dan alat komunikasi). ”Jadi, kami berpindah-pindah. Bulan ini rapat di PT PAL, berikutnya bisa di PT Dahana,” kata Eris.

Salah satu keputusan penting rapat itu, kata Eris, adalah keluarnya daftar inventarisasi jenis persenjataan yang bisa disediakan di dalam negeri. Juga cetak biru industri pertahanan nasional. Sayangnya, Eris enggan mengungkapkan substansi kedua dokumen itu. ”Belum final,” katanya berkelit.

Meski belum final, tahun lalu pemerintah mulai melaksanakan kebijakan ini. Budiwuraskito mengakui, Dirgantara sudah mendapat order senilai Rp 1,8 triliun untuk menyelesaikan semua pesanan TNI sebelum 2009. Dua pekan lalu, PT PAL Indonesia bahkan sudah menyerahkan bagian pertama dari order besar TNI Angkatan Laut berupa dua buah kapal angkut taktis (landing platform dock) dengan panjang 25 meter.

l l l

KUNJUNGAN Jusuf Kalla ke PT Pindad, awal Desember lalu, sebenarnya lebih untuk mengevaluasi perkembangan order pemerintah itu. Maklum, waktu penyerahan order sering menjadi kelemahan industri pertahanan dalam negeri. Sumber Tempo yang mengikuti jalannya rapat menuturkan bagaimana Kalla meminta PT PAL Indonesia menyempurnakan rencana kerja program pembuatan kapal korvet mereka. ”Ada beberapa poin yang masih perlu dibuat lebih detail lagi,” tuturnya.

Setelah kunjungan Kalla, para petinggi industri pertahanan langsung bergerak. Direktur PT Pindad, Adik Avian Soedarsono, pekan lalu terbang ke Korea Selatan. Ditemani Trihardjono, Direktur Penelitian dan Pengembangan Pindad, Adik menandatangani nota kesepahaman untuk alih teknologi pembuatan panser dengan Rotem, anak perusahaan Hyundai Motors.

Di pabriknya di Kiaracondong, Bandung, Divisi Kendaraan Fungsi Khusus Pindad juga ngebut mempersiapkan mekanisme produksi massal panser ini. ”Januari, pesanan harus mulai dikerjakan,” kata juru bicara Pindad, Timbul Sitompul.

Sayangnya, program ini bukannya tanpa kendala. Tantangan pertama adalah soal teknologi. Sebagian besar industri pertahanan Indonesia baru sebatas perakitan. Adapun mesin dan teknologi vital lainnya masih diimpor. Ini tentu amat riskan. Sumber Tempo menuturkan bagaimana negara-negara Eropa amat detail memasang persyaratan penggunaan mesinnya yang diimpor ke Indonesia. ”Mesin untuk kebutuhan komersial tidak boleh dipasang di kendaraan militer,” keluhnya.

Solusi bukannya tidak ada. Prototip Panser APS 6x6 yang dipamerkan Pindad di Cilangkap, dalam peringatan ulang tahun TNI tahun lalu, misalnya, menggunakan mesin Steyr, yang lisensinya dipegang pabrik Texmaco di Subang, Jawa Barat. Hanya, sejak lima tahun lalu pabrik itu memang seperti mati suri.

Tempo, yang berkunjung ke pabrik Texmaco dua pekan lalu, hanya disambut petugas keamanan. Produksi perusahaan itu tinggal 20 persen dari kapasitas terpasang. Pabrik yang pernah berjaya dengan produksi truk bermerk Perkasa itu memang dililit utang Rp 29,2 triliun. Statusnya kini di bawah penguasaan PT Perusahaan Pengelola Aset dan Departemen Keuangan.

”Rumput di pekarangan sudah tinggi, atapnya bocor, dan mesinnya diselimuti debu,” kata Direktur PT Texmaco Perkasa Engineering, Neflizon Abdullah, ketika ditemui di Jakarta dua pekan lalu. Namun dia yakin, Texmaco bisa bangkit lagi dalam satu tahun. ”Dengan syarat, pemerintah mencarikan investor baru,” katanya. Menurut Neflizon, Departemen Pertahanan pernah mengutarakan minatnya mengambil alih pabrik itu. Sayang, niat itu tidak didukung audit Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Kendala lain adalah soal duit. Dana Rp 1,8 triliun untuk order 2006-2009 di PT Dirgantara, misalnya, sampai kini belum turun. ”Padahal kami sudah membeli banyak material untuk proyek ini,” kata Budiwuraskito.

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Presiden di Pindad pada awal Desember lalu, direksi Bank Mandiri, BNI, dan BRI, siap meminjamkan Rp 3 triliun untuk membiayai order persenjataan ini. Sayangnya, duit itu belum bisa segera cair. Penyebabnya: aturannya belum ada. Dalam hal ini, Departemen Pertahanan hanya bisa angkat tangan. ”Mekanisme anggarannya masih dibicarakan di Departemen Keuangan,” kata Marsekal Madya Eris Heryanto.

Wahyu Dhyatmika, Erick Priberkah, Ahmad Fikri (Bandung), Anton Septian (Subang), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus