Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASRUKHAN Samsurie tak pernah berpikir harus menempuh 100-an kilometer hampir setiap hari. Dari rumahnya di Semarang, pria 48 tahun itu rajin menyambangi Batang, Pekalongan, dan Pemalang—semuanya di Jawa Tengah—selama dua pekan ini. Perjalanan itu sebelumnya hanya dia lakukan pada akhir pekan.
”Kini dalam sehari bisa empat pertemuan,” kata Masrukhan, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah dari Partai Persatuan Pembangunan. Ia menyebut pertemuan-pertemuan itu untuk ”sosialisasi dan konsolidasi”.
Masrukhan kini memimpin Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah. Ia ingin menjadi anggota Dewan satu periode lagi. Sebagai calon nomor satu di daerah pemilihan Jawa Tengah bagian utara itu, ia semula yakin bakal mulus meraih kursinya kembali. Apalagi, pada Pemilihan Umum 2004, partainya memperoleh dua kursi di daerah yang sama.
Optimisme Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu Partai Ka’bah Jawa Tengah ini menipis setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan penentuan calon terpilih didasari suara terbanyak, bukan nomor urut. Ia pun habis-habisan mendongkrak popularitasnya. Ia harus bersaing dengan lima calon ”putra daerah”, yang jelas lebih dikenal masyarakat setempat. ”Lucu juga kalau saya tidak terpilih,” kata politikus kelahiran Kendal ini.
Ia mengubah model kampanye. Awalnya lebih banyak mengkampanyekan contreng gambar Ka’bah, sekarang ia mempromosikan diri sendiri. Dulu ia berasumsi peluangnya terpilih semakin besar jika banyak orang mencontreng tanda gambar partainya.
Putusan Mahkamah Konstitusi membuat banyak calon anggota Dewan mengubah strategi berkampanye. Ganjar Pranowo, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengatakan semua calon dipaksa bekerja ekstra. Beruntung ia telah lama menggarap Daerah Pemilihan Jawa Tengah VII (Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen), tempatnya menjadi calon nomor satu.
Ganjar tak risau walau ia menerapkan strategi target selektif untuk menghemat biaya. Ia membatasi biaya kampanye tak boleh lebih dari Rp 500 juta. ”Yang penting mengajari kelompok pemilih tak salah contreng nama saya,” katanya, menjelaskan model kampanyenya.
Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat ini merasa kasihan dengan calon urut satu lain yang umumnya didrop dari pusat. Mereka adalah para pengurus pusat partai. Ia menduga calon seperti itu akan keteteran karena tak punya akar dan belum sempat membangun mesin politik. ”Mereka harus bekerja 25 jam sehari untuk kejar target,” ia berseloroh.
Dari ibu kota ada cerita lain. Any Aryani, calon nomor dua dari Partai Bintang Reformasi di daerah pemilihan Jakarta Timur, dikabarkan menarik bantuannya untuk tiga calon dengan nomor bawah. Itu karena mereka kini sama-sama bersaing mendulang suara. Tiga calon itu awalnya berkomitmen melimpahkan suara masing-masing untuk Any, sesuatu yang tak mungkin lagi setelah keputusan Mahkamah Konstitusi.
Kepada Tempo, Any membantah menarik kucuran dana. Menurut dia, bantuan yang diberikan bukan untuk kemenangannya semata. ”Partai menghadapi parliamentary threshold, suara dari mana pun sangat berharga untuk partai,” katanya.
Pengacara ini mengaku tak punya basis jaringan kuat. Makanya kini ia bersedia menjadi bandar, membiayai dana kampanye tiga calon anggota Dewan pusat dan delapan calon anggota Dewan daerah. Ini biaya yang dia keluarkan untuk sekadar bisa tampil bersama para calon yang diharapkan bisa mengerek popularitasnya.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Sidiq pun mengubah strateginya. Calon nomor urut satu di Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, ini merasa perlu rajin mengunjungi konstituennya karena ia tak berasal dari daerah itu. Semula ia berbagi zona kampanye dengan Aan Rohana, calon nomor dua partainya di daerah itu. Ia menggarap Indramayu, sementara Aan di Cirebon. Kesepakatan itu tak berarti kini, dan Mahfudz pun mulai menggarap Cirebon. Ia tak menutup kemungkinan bakal ada instruksi pemimpin partai agar anggota Partai Keadilan Sejahtera memilih calon nomor tertentu. Tapi diakuinya cara ini hanya mungkin efektif di kantong-kantong partai, seperti di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.
Meski diuntungkan oleh keputusan Mahkamah, Rizal Dharma Putra, calon anggota Dewan nomor urut tujuh dari Partai Keadilan Sejahtera wilayah Cirebon dan Indramayu, khawatir bakal rusaknya jaringan partai yang mengandalkan kader dan struktur. Kalau dulu calon legislator kompak melawan semua, sekarang semua calon terpaksa bertanding dengan semua.
Kader-kader terbelah karena persaingan di dalam partai. Kasarnya, tak peduli rekan separtai pun dibantai. ”Saya lihat yang paling diuntungkan di sini yang punya dana besar dan mengandalkan popularitas,” kata Rizal. Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat dinilainya paling siap untuk dua hal itu.
Nur Ahmad Affandi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, mengungkapkan, untuk jadi anggota Dewan provinsi, seorang calon merogoh sedikitnya Rp 600 juta. Itu untuk memenuhi syarat 3D: dikenal, didukung, dipilih. Agar dikenal, keluar duit untuk sosialisasi. Supaya calon didukung, biasanya masyarakat minta pengaspalan jalan dan perbaikan kampung. Agar calon dipilih, masyarakat minta tinggalan uang. ”Coba bayangkan berapa besar dana yang harus dikeluarkan,” kata Affandi.
Ganjar mengiyakan, praktek politik uang makin subur. Apalagi sudah mulai muncul kelompok-kelompok oportunis yang menjual klaim massa. Pura-pura mengundang calon legislator berkampanye, buntutnya memeras. Kepada calon dijanjikan dukungan, tapi besoknya malah calon lain diundang dengan janji sama.
Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Bernada Rurit (Yogyakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo