MALAM larut. Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Puluhan mobil, dari Toyota Kijang sampai Mercedes, menyesaki parkir Hotel Travel di Jalan Manggabesar VIII Tamansari, Jakarta Barat. Di lantai bawah hotel berderet ruangan khusus untuk berkaraoke, dengan layar televisi ukuran jumbo, dengan gadis penghibur yang siap menemani. Derai tawa cekikikan terdengar di teras depan.
Dari arah hotel, seorang pemuda tanggung bertopi berlari. Napasnya terengah-engah. Di tepi jalan, tepat di sebelah mobil patroli Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Barat, ia berhenti. Segepok uang yang telah ia siapkan seketika berpindah tangan. Slap! Sopir mobil patroli yang menerima uang itu memandang dingin. Beberapa anggota Kodim yang duduk di bak belakang asyik ngobrol. Seketika kemudian, mobil bergerak. Lalu hilang ditelan kegelapan malam.
Selesai? Belum. Adegan "salam templek" dini hari itu terus berlanjut. Tak sampai 15 menit kemudian, muncul jip putih milik polisi militer, berhenti di tempat yang sama. Si pemuda kembali melakukan hal serupa: masuk ke dalam diskotek, mengambil setumpuk uang, menyerahkannya kepada sopir mobil patroli, lalu jip putih itu, wuss, kembali menghilang.
Kejadian yang disaksikan TEMPO Sabtu dini hari pekan lalu itu adalah pemandangan biasa di sekitar Hotel Travel—sebuah hotel besar dikelilingi diskotek-diskotek kecil yang beroperasi secara terpisah. Menurut seorang pengunjung, setiap malam prosesi tersebut bisa berlangsung hingga 6-7 kali. Begitu saja, berulang-ulang.
Upeti semacam itulah yang membikin kawasan Hotel Travel jadi "aman." Tempat itu jarang digerebek aparat. Kalaupun ada razia, biasanya ada aparat yang membisiki. Kedatangan polisi ibarat lakon sandiwara di Taman Ria. Kalaupun aparat datang menggedor kamar-kamar tamu, karena ada info pendahuluan tadi, biasanya petugas hotel sudah lebih dulu menelepon tiap kamar. Pesannya, "Pintu kamar jangan dibuka." Seorang room boy akan dengan setia memberi tahu polisi bahwa kamar tak berpenghuni. Polisi pergi. Lalu semuanya adem ayem, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Soal keterlibatan aparat dalam urusan bisnis hiburan malam ini tampaknya memang sudah menjadi rahasia umum. Anton Medan, seorang bekas praktisi jual-beli narkotik, juga juragan preman di kawasan Jakarta Pusat, yang kini mengaku bertobat dan sibuk mengurus pengajian, membenarkannya. "Bukan hanya aparat, tapi juga anak penggede dan anak dosen," kata Anton. Aparat, termasuk pasukan baju hijau, biasanya tahu kalau ada transaksi narkotik. "Tapi mereka bungkam karena ada uang sabun yang diselipkan dari bawah meja."
Anton mengaku sering memanfaatkan aparat kejaksaan untuk memuluskan bisnisnya. Apalagi pesanan saat itu, tahun 1976, lumayan besar. Daerah penjualan meluas sampai Puncak, Gadok, dan Cipanas di Jawa Barat. Ia lalu bekerja sama dengan seorang jaksa di Jakarta Pusat. Caranya, heroin sitaan sang jaksa, yang mestinya dijadikan barang bukti, dilego kepada Anton melalui seorang bandar. Dan ketika pengadilan digelar, barang yang sudah berpindah ke tangan Anton itu kemudian diganti dengan tawas.
Kisah mafia obat dan aparat semacam ini sebetulnya juga bukan monopoli Jakarta. Sekadar contoh bisa disimak cerita berikut. Di Ujungpandang, Sulawesi Selatan, dua tahun lalu, giliran oknum polisi yang berkongkalikong. Tapi, berbeda dengan cerita Anton, kali ini polisi bertindak sebagai bandar penjualan pil ekstasi. Kapten polisi bernama Leonardus Uiyana, sang bandar, juga menjadi dalang penerbitan surat tanda nomor kendaraan (STNK) palsu.
Pasar yang digarap Kepala Bagian Sarana di Direktorat Lalu Lintas Polda Sulawesi Selatan itu adalah para pengunjung tempat-tempat hiburan malam di Ujungpandang. Barang pasokan diperoleh dari Jakarta. Ketika digeledah di ruang kerjanya, tim polisi memang cuma menemukan beberapa butir pil ekstasi. Tapi, menurut beberapa saksi yang mengaku sebagai anak buah Leonardus, alumni Akabri tahun 1988 ini menguasai omzet penjualan yang lumayan besar.
Selain di Sulawesi, modus aparat ikut bermain jadi beking, atau malah bandar barang setan, tercatat terjadi di Yogyakarta, Semarang, juga Jakarta. Tiga perwira di Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro, Semarang, yakni Kapten Drg. Dhany, Lettu C.K.M. Drg. Rizal, dan Lettu Drh. Sobari, pernah dituduh berbisnis daun ganja pada 1994 lalu. Mahkamah militer setempat lalu mengganjar hukuman penjara dan memecat ketiganya. Dan masih banyak lagi.
Wajar saja kalau dukungan diam-diam ini membuat jaringan bisnis narkotik menggila. Tahun lalu saja, menurut data resmi yang dikeluarkan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, lembaganya telah berhasil menyita lebih dari 38 ribu butir ekstasi dan hampir 3 kilogram shabu-shabu. Nilainya ditaksir melebihi angka Rp 4 miliar. Itu baru angka resmi. Markas Besar Kepolisian tak mencatat siapa gerangan anggotanya yang pernah tertangkap basah. "Tidak tertutup kemungkinan itu terjadi. Kami toh manusia biasa," kata Kepala Dinas Penerangan Mabes Polri, Brigjen Pol. Togar M. Sianipar, kepada Dwi Wiyana dari TEMPO, pendek.
Apalagi bisnis nyimeng ini rupanya makin banyak diminati orang. Jumlah mereka yang kecanduan narkotik ikut merangkak naik. Menurut catatan Direktorat Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial, jumlahnya telah menyentuh angka 1,3 juta orang. Penghuni rumah sakit ketergantungan obat (RSKO), seperti RSKO Fatmawati, melonjak dari tahun ke tahun. Empat tahun lalu pasien rumah sakit itu hanya 2.654 orang. Tapi tahun lalu jumlahnya melonjak hingga 5.008 orang. Bayangkan, betapa susahnya upaya penanggulangan ini kalau ternyata aparat ikut pula bermain.
Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Mustafa Ismail
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini