Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Kementerian Pertahanan Frega Wenas mengungkapkan perkembangan di kawasan Indo-Pasifik menjadi salah satu pembahasan di antara Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dengan Menteri Pertahanan Jepang Nakatani Gen pada Selasa siang, 7 Januari 2025. Indonesia, kata Frega, satu pemahaman dengan Jepang untuk upaya konstruktif membangun perdamaian, termasuk dalam isu Laut Cina Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Indonesia dan Jepang pun memahami bahwa ada ketegangan, ada dinamika, yang memang tidak bisa dihindari. Tapi pada prinsipnya semuanya mengacu pada upaya-upaya menyelesaikannya secara internasional, UNCLOS (konvensi perserikatan bangsa-bangsa soal hukum laut),” kata Frega usai pertemuan dengan Menhan Jepang di kantor Kementerian Pertahanan RI, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frega menegaskan Indonesia mengadopsi politik luar negeri bebas aktif, sehingga tidak ada keberpihakan. “Kami membuka peluang dengan siapa saja termasuk Jepang,” katanya.
Sebelumnya isu Laut Cina Selatan sempat panas usai Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Cina Xi Jinping menandatangani kerja sama maritim pada 9 November 2024. Kerja sama itu tertuang butir 9 pernyataan bersama pertemuan bilateral dengan judul The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation tertulis bahwa The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mempertanyakan apakah overlapping claims dalam kesepakatan itu terkait klaim sepuluh garis putus oleh Cina yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara.
Jika memang benar demikian, kata dia, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Cina atas sepuluh garis putus atau telah berubah secara drastis. Dia menyebut hal ini merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.
Hikmahanto menyatakan bahwa hingga berakhirnya rezim Presiden Joko Widodo, Indonesia tak mengakui klaim sepihak sepuluh garis putus dari Cina, yang dahulu berjumlah sembilan. Hal ini, kata dia, karena klaim sepuluh garis putus tidak dikenal dalam UNCLOS, di mana Indonesia dan Cina adalah negara peserta.
Terlebih, Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan bahwa klaim sepihak Cina memang tidak dikenal dalam UNCLOS. Namun dengan adanya joint statement, kata Hikmahanto, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak cina atas sepuluh garis putus.
Dia menyebut kerja sama itu sebagai bentuk kemunduran. "Memang kemunduran karena selama ini Indonesia tidak mengakui, namun dengan joint statement itu mengindikasikan Indonesia akan mengakui," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 11 November 2024.
Menteri Luar Negeri Sugiono menjelaskan kerja sama maritim tersebut bukan berarti menggeser kedaulatan Indonesia terhadap Laut Cina Selatan. "Urusan kedaulatan, kita tidak bergeser dari posisi kita," katanya dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin, 2 Desember 2024.
Sugiono menegaskan tidak ada pengakuan sebagaimana yang dikhawatirkan berbagai pihak berkaitan dengan klaim Cina atas sembilan garis putus-putus atau nine dash lines. "Di situ kita tidak menyebutkan kita mengakui apapun, belum ada tulisan, belum ada pernyataan yang menyatakan bahwa kita akan bekerja di titik A, koordinat B, itu belum ada," ujarnya.
Prinsip utamanya, kata dia, Presiden Prabowo mengarahkan bahwa Indonesia akan meningkatkan kooperasi, kerja sama, dan kolaborasi dengan negara-negara tetangga demi kepentingan nasional. Joint statement ini juga tetap berpegang pada prinsip-prinsip saling menghormati, serta regulasi yang relevan.
Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.