Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

"tak berbisik pada orang tuli"

Wawancara tempo dengan h. zainuddin mz tentang cara berdakwah, bagaimana menghadapi massa, kejenuhan dakwah bil-lisan, penggemar zainuddin, ide mengkarciskan ceramah, menjaga kondisi fisik, dst.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari Haji Zainuddin Mz. adalah hari-hari berpacu dengan waktu. Ia bergerak dari satu ceramah ke ceramah lain, dari satu kota ke kota lain. Seluruhnya riuh dengan massa. Di sela kesibukannya itu, Wahyu Muryadi di Surabaya dan Priyono B. Sumbogo di Jakarta mewawancarainya. Berikut kutipannya: Apa resep dakwah Anda? Mendakwahkan Islam menurut saya adalah memberi jawaban Islam terhadap masalah kehidupan. Ia berarti harus aktual, faktual, ada human interestnya, dan menyentuh. Tak berbisik kepada orang tuli, atau tersenyum pada orang buta. Caranya?: Juru dakwah harus bermata setajam rajawali. Harus cermat mengamati gejala, dan gejolak masyarakat. Kedua, berhati sepeka radar. Yakni memiliki getaran kepekaan yang muncul karena sandaran vertikal kita kepada Allah benar. Ketiga, berkaki sekuat bionic. Sanggup menyampaikan pesan Islam di medan bagaimanapun. Keempat, bertangan sehalus seniman. Ini menyangkut psikologi salesman -- kalau kita berhati keras dan berkata kasar orang biasanya akan hengkang dari sekitar kita. Soal humor? Itu hanya upaya menarik perhatian. Biasanya, dalam papan hitam orang akan terlarik pada yang putih meskipun kecil. Seorang pendakwah harus berusaha terus menerus agar perhatian orang jangan melemah. Apalagi sampai timbul gangguan ke arah perhatian tadi. Massa mudah beralih perhatiannya. Untuk menjaga perhatian mereka perlu diberi humor yang relevan. Asal tidak berlebihan. Nanti yang diingat malah humornya, bukan materi dak-wahnya. Kadang ceramah Anda "keras".: Selama ini kami sudah membuktikan bahwa kami nggak macam-macam. Kalau saya mau mengerahkan massa, bukan hal sulit. Banyak hal peka yang dapat dijadikan sumbu. Tapi itu bukan target kami. Kami mau berkorban, tapi nggak mau konyol. Dulu Anda berkampanye .... Saya akan tetap konsisten. Tapi selama sistem politik masih begini, saya tidak akar berkampanye. Dalam sistem begini saya lihat nggak menguntungkan untuk berpolitik. Akan lebih bermanfaat kalau saya berada di tengah umat. Saya merasa lebih bisa berbuat sesuatu. Entahlah nanti kalau berubah menjadi sistem distrik. Bagaimana perasaan Anda menghadapi massa? Apa ya? Gembira, terharu, dan ada rasa tanggung jawab moral. Mau dikemanain ini umat? Itu yang selalu menggoda. Cuma yang perlu diusir adalah penyakit bahwa kita merasa sudah istimewa. Itu penyakit mubalig. Karena selalu diiyakan orang, kadang-kadang muncul sikap diktatornya. Mau menang sendiri. Cara mencegah rasa istimewa itu? Itu perlu sandaran vertikal ke sana (telunjuknya mengacung ke atas). Ada wiridan khusus buat itu? Ya ada. Tapi ini kan rahasia dapur ... he ... he. Untuk pengendalian diri. Iblis kan luar biasa. Kalau kita nggak dapat dipancing dengan rangsangan lahir, ya dengan rangsangan batin. Ditanamkannya sifat ujub dalam diri kita: "kau istimewa, kau hebat". Ada yang menilai dakwah bil-lisan tak diperlukan lagi. Yang penting dakwah bil-hal. Menurut saya, keduanya kita perlukan. Kita harus menumbuhkan kebersamaan. Kondisi masyarakat kita pada umumnya -- mayoritas umat -- masih dalam pola tradisional. Mereka butuh ungkapan-ungkapan yang menyentuh hati. Mereka masih memerlukan figur. Dakwah lisan kan bisa sampai pada titik jenuh? Saya juga berkeyakinan demikian. Tapi sekarang belum. Kalau saat titik jenuh itu datang, kita harus siap dengan variasi lain. Kan dakwah harus berkesinambungan. Saya sudah sedikit melakukan terobosan lewat kaset. Itu kan suatu upaya. Karena kesibukan keseharian, orang tidak punya banyak kesempatan untuk menghadiri pengajian seminggu sekali. Dengan kaset mereka bisa lebih santai walaupun saya tak mengharap mereka berhenti ke pengajian. Kapan kejenuhan itu akan terjadi? Estimasinya tidak bisa ditargetkan dengan waktu. Itu berjalan seiring dengan proses perkembangan pemikiran masyarakat. Biasanya, makin laju pembangunan makin materialistis cara orang berpikir. Orientasi orang makin empiris. Kehidupan rohani pun mulai agak menyingkir. Saat itu, boleh jadi majelis taklim akan gulung tikar. Katakanlah begini. Di lingkungan yang bernama kampung, suara Islam masih ada. Tapi ketika berbentuk real estate, rumah-rumah mewah, Islam tentu tidak muncul lagi dengan pengajian rutin yang menggunakan loudspeaker besar. Tapi dalam bentuk lain. Kemasan lain. Maka, dituntut kepekaan mengamati gejala yang terjadi di tengah umat dan menciptakan kemasan-kemasan baru yang isinya tetap. Apalagi yang mendorong pada kejenuhan itu? Barangkali karena orang menganggap agama hanya untuk kepentingan akhirat. Orang jarang menyentuh bagaimana harus hidup di dunia. Maka, kegiatan keseharian sering lepas kontrol dari agama. Tapi itu tidak sepenuhnya kesalahan jamaah. Kadang dari kami sendiri. Orientasi dakwah itu terlalu ke langit. Jadi, langit atau bumi yang harus didahulukan?: Prinsip yang saya tanamkan adalah bahwa Islam selalu mengajarkan sistem keseimbangan. Fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah. Tapi konsep dasarnya kan walal akhiratu, khairullaka minal ula -- kehidupan akhirat lebih utama bagimu. Banyak yang bilang, dakwah lisan Anda hanya cocok untuk kalangan pinggiran. Masyarakat pinggiran itulah mayoritas umat kita. Apakah mereka akan kita biarkan menjadi massa mengapung dalam kehidupan beragama? Saya justru memilih membina masyarakat yang pinggiran ini. Karena dari merekalah lahir potensi. Berapa banyak sih kalangan elite Islam? Bagaimana ide mengarciskan ceramah Anda? Ide ini tidak datang dari saya. Tapi dari panitia penyelenggara. Saya tahu untuk mencari dana di daerah, sulit. Dengan cara ini kita sekaligus melatih umat agar berbuat sesuatu. Dan saya cukup gembira, misalnya kami di Gresik, Malang, Tegal, Semarang menghasilkan sekian juta untuk kepentingan proyek agama. Memang proyek-proyek itu tak akan selesai dengan dana sekian. Api gemanya itu yang saya harap bisa memberi warna tersendiri. Satu sen pun saya tidak meminta jatah dari infak yang terkumpul. Kalau ini dianggap menjual ayat, ya ironis. Saya tidak pernah mengambil keuntungan pribadi dari itu. Perkara panitia menyalahgunakan, itu urusan panitia. Kalau saya mencari keuntungan dari sana, saya akan merasa tersiksa. Selain itu, pada satu segi kita memang bisa bicara: tanpa uang kita bisa jalan. Tapi pada segi lain, kita kadang harus berkata bahwa tanpa uang kita tak bisa berbuat apa-apa. Misalnya, mampukah kita membendung zending di Jawa Tengah hanya lewat mimbar? Jelas nggak bisa. Anda menekankan pemecahan persoalan umat lewat mimbar ... Persoalannya memang tak bisa diselesaikan lewat mimbar. Apalagi kalau melihat gerakan mereka yang manusiawi. Seperti Romo Mangun yang tinggal di Gunungkidul bersama penduduk. Dia budayawan, insinyur. Proyek yang dilakukannya manusiawi sekali -- mencari sumber air. Sangat menyentuh, karena itu kebutuhan kita. Persoalan agama dinetralisasi dengan persoalan ekonomi. Sama sekali tidak bicara soal keyakinan. Yang tertanamkan adalah rasa ketergantungan orang kepada budinya. Memang kalau di mimbar, selalu saya katakan: kamu lebih baik mati mempertahankan imam daripada hidup mewah menjual akidah. Mereka manggut. Tapi nanti kalau pulang mau makan nggak ada nasi, beras habis, bagaimana. Maka, harus ada kebersamaan dengan dakwah bil-hal. Kita juga merintis itu di Yogya dan Solo. Kelompok pengajian Sekar Melati terjun ke Gunungkidul dan Kali Code membawa beras dan pakaian. Sekarang sudah 60 keluarga di Kali Code yang dapat diislamkan kembali. Karena masalahnya cuma perut. Kalau ceramah Anda menggunakan catatan? Dulu ya. Sekarang nggak sempat lagi. Saya cuma mengandalkan situasi medan. Dari situlah saya langsung menyusun isinya. Refleks saja. Saya sudah kehabisan waktu membuat teks. Maka, kalau ada undangan seminar atau simposium, saya kurang menyanggupi. Bagaimana Anda meningkatkan pengetahuan? Biasanya Ramadan begini saya tak begitu banyak memenuhi undangan. Biasanya saya gunakan untuk ngaji, tabarukkan, menelaah dan membaca. Saya baca kitab. Kalau merasa buntu, saya bertanya pada mereka yang lebih senior untuk mencari jalan keluarnya. Di rumah, saya punya perpustakaan. Bagaimana Anda menjaga kondisi fisik? Bagi saya dakwah ini panggilan jiwa. Panggilan jiwa itu melahirkan energi dari segi batin. Selain itu, kalau ada waktu luang, saya masih suka berolahraga. Yang rutin badminton. Kalau saya ke daerah 4-5 hari, di mobil selalu ada raket dan sepatu. Yang juga rutin adalah minum ramuan tradisional. Yakni madu dicampur bawang putih lanang. Untuk setiap botol kecap madu, diperlukan 3-4 butir bawang putih. Bawang dirancah, dan dibiarkan larut dalam madu selama 10-20 hari. Sampai bau bawangnya hilang. Setelah itu diminum. Agak panas memang, tapi bagus sekali buat pinggang dan stamina. Soal makanan? Menu makan saya amburadul. Makanan kan disiapkan panitia, jadi nggak bisa milih. Yang saya suka ikan emas goreng. Menjelang acara berlangsung, saya usahakan untuk tidak minum minuman manis. Biasanya hanya teh tawar panas. Kalau selesai bicara, baru minum yang manis. Lalu kapan kumpul dengan keluarga? Selalu. Kalau harus pergi ke daerah 3-4 hari, apalagi daerahnya belum pernah saya kunjungi dan kebetulan sedang liburan, anak-anak ikut. Istri saya pun ikut pergi. Ke Bali, Ujungpandang, Medan, Singapura, dan Malaysia bersama keluarga. Saya ingat cerita Omar Mochtar dalam film Lion of the Desert. Saya terkesan saat ia ditangkap jenderal Italia dan ditanya, "Kau sangka dengan kendaraan unta dan bedil locok ini kau bisa mengalahkan tank kami?" Dengan gagah ia menjawab, "Kami sudah berjuang, dan itulah tugas kami." Masalahnya, sekarang apa andil saya dalam sebuah proses yang panjang ini. Perkara kapan akan selesai, itu bukan soal kita. Bakal ada generasi mendatang yang melanjutkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus