Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dai : dari medan sampai lombok

Kisah para da'i populer dari pelbagai pelosok di indonesia. misalnya, kiai mangli di magelang. k.h. a.r. fachruddin di yogya. k.h.abdul ghoffar ismail di pekalongan. di jakarta, kosim nurzeha, dll.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUSUN Mangli di kaki Gunung Merbabu. Jawa Tengah, masih berselimut kabut. Ahad pekan lalu, sekitar empat ribu umat, yang lelaki bersarung dan yang wanita berkerudung, bergerak menuju satu titik: masjid tua berukuran 10 X 10 m2. Mereka satu per satu duduk, berselimpuh di tikar yang digelar di tanah miring atau di jalanan berbatu, atau di tepi parit kecil, selingkar masjid di Bukit Menoreh itu. Mereka tenggelam dalam khusyuk rotipan, pembacaan ayat-ayat suci Quran. Tiba-tiba suara khusyuk itu jadi senyap. Para jamaah menghentikan pembacaan Quran, menatap lelaki berjubah putih yang melangkah penuh wibawa ke dekat pintu masjid. Hening merasuk ketika dari bibir lelaki jarang disebut Kiai Mangli itu meluncur kutipan ayat-ayat Quran. Rangkaian kalimat ajakan agar manusia meningkatkan keimanan, yang disampaikan dalam bahasa Jawa, terus mengalir. Kiai Mangli alias Ahmad Hasan Azhari memang mengecam kebijaksanaan pemerintah tentang pelaksanaan SDSB atau penyelewengan panitia haji. Semuanya disampaikan dengan lugas dan lantang. "Tema ceramahnya selalu kecaman terhadap tindakan yang melanggar hukum Allah," kata Sanjoto Wachjan, Kepala Desa Mangli, berusia 30 tahun. Bila amarahnya tak terbendung, sang kiai mengumpat dengan "semoga Allah melaknat mereka." Kiai yang populer sejak 1975 ini memang selalu bicara dengan berapi-api. Tapi tak ada jamaah berteriak atau berontak. Pengajian akbar setiap Ahad pagi itu tetap diliputi suasana khusyuk, yang ternyata lebih dibentuk oleh karisma sang kiai. Pada Kiai Mangli terpadu sejumlah kelebihan, yang menimbulkan rasa kagum, karisma, dan pengaruh yang sangat emosional. Ia memiliki pengetahuan agama yang ia timba dari Pondok Pesantren Kleteran, Kecamatan Grabak, Magelang, Jawa Tengah. Kemudian ia jadi "kiai", setelah mendirikan pesantren di Dusun Mangli, 1956. Tapi kiai kelahiran Kudus, Jawa Tengah, ini juga sukses sebagai pedagang tembakau, cengkih, dan ukir-ukiran. Dengan menolak setiap pemberian, dari siapa pun, ia justru mampu memberi makan tetamunya dua kali sehari hingga menghabiskan 10 ton beras dalam sebulan. Para peserta pengajiannya datang dari Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, Jepara, Rembang, dan kota-kota lain di Jawa. Mereka konon percaya, meski Kiai Mangli sulit ditemui secara pribadi, ia mempunyai kekuatan adikodrati. Kiai -- yang hanya memberikan kesempatan jabat tangan seusai salat Idulfitri -- mampu menangkap riak keinginan seseorang. Dikisahkan oleh seorang peserta dari Yogya. Ia hadir di pengajian setelah sebelumnya berdebat dengan temannya, boleh tidaknya naik haji sambil berdagang. Betapa ia kaget, mendengar Kiai Mangli membuka ceramahnya dengan mengatakan bahwa naik haji ya naik haji saja, berdagang ya berdagang saja. Sang kiai selalu naik Toyota Hardtop ke Desa Meijing dan Mbalak, Magelang, untuk memberi pengajian. Tapi ia enggan wajahnya dipotret atau pembicaraannya direkam. Pembuka kata sang kiai setiap pengajian: "Saya minta dengan hormat kepada hadirin, agar tak merekam pembicaraan dan tak memotret diri saya." Tentu saja para hadirin menaatinya karena takut kualat. Yang lebih ganjil, kiai yang disebut Wali Allah ini tak pernah menggunakan pengeras suara, yang biasanya diperlukan oleh dai setua dia. Apalagi, peserta pengajiannya terserak di tanah lapang hingga radius 50 meter dan masjid berarsitektur Jawa itu. Menurut Ahmad Bakqi, peserta pengajian, suara kiai yang tanpa mikrofon itu akan terdengar oleh "mereka yang hadir dengan niat tulus." Berapa umur Kiai? Kini 65 tahun. Tampaknya setiap daerah mempunyai dai lokal yang menonjol. Di Yogya, misalnya. Menurut hasil penelitian Bank Dai Yogyakarta, Juli tahun lalu, K.H. A.R. Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah, menonjol karena ketokohan dan ketuaannya. K.H. Abdul Ghoffar Ismail, 80 tahun, juru dakwah asal Pekalongan, Jawa Tengah, tampaknya sejajar dengan Kiai Mangli dan Pak A.R. dalam kepopulerannya. Kiai Ghoffar dikenal di Pekalongan dan Jakarta, sebagai dai dan wali Allah. Tapi berbeda dari Kiai Mangli, ayah penyair Taufiq Ismail ini tetap suka orang memotret wajahnya, atau merekam suaranya dalam kaset. Kaset ceramah Kiai Ghoffar digandakan atas inisiatif para santrinya. Bahkan, kaset video dakwahnya diputar secara berkala di Masjid Al A'raf, Jakarta, dan dapat dipesan di toko buku Walisongo milik Mas Agung, Jalan Kwitang, Jakarta. Kiai Ghoffar sendiri berusaha menjauhi urusan uang. "Saya mengadakan pengajian secara ikhlas," katanya. Di rumahnya, Pekalongan, ia memang dapat dipastikan muncul tiap Senin malam, memberi pengajian. Pendengarnya, yang ribuan jumlahnya, melimpah dari Semarang, Batang, Kendal, Pemalang, Tegal, dan Cirebon. Pengeras suara dipasang di rumahnya yang besar. Jalan Bandung dan Jalan Agus Salim terpaksa ditutup tiap Senin malam, untuk parkir mobil. Isi pengajian Kiai Ghoffar Ismail sekitar tafsir Quran dan hadis. Seperti Kiai Mangli, dai kelahiran Padang pada 1911 ini mengulas ayat Quran, dengan contoh-contoh nyata di masyarakat. Bahasanya tak lugas, tapi gamblang. Ia berusaha mempergunakan kata-kata yang menyentil, yang menyentuh sasaran tanpa menyakitkan. Hampir 60 tahun Kiai Ghoffar menjadi pembicara dalam pengajian. Tak cuma di Pekalongan. Setiap bulan ia rutin ke Jakarta, untuk tugas yang sama. Ia selalu memaksakan diri memberi pengajian. "Lebih baik saya mati, daripada dicegah bertablig," kata bekas Kepala Kantor Pusat Rawatan Rohani Angkatan Darat itu. Maret lalu, saat mengisi pengajian di Masjid Al A'raf, tubuhnya yang renta diserang penyakit. Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Islam Jakarta. Ia bertablig untuk kalangan atas dan bawah. Karena itu, ia mempersiapkan diri dan mengisi pengetahuannya dengan membaca kitab-kitab agama klasik dan buku pengetahuan umum. "Supaya tidak kering," ujarnya. Apalagi, selain menguras pengetahuannya untuk pengajian, ia membuka pintu 24 jam siap berdiskusi dengan para santrinya yang tak terdaftar. Di antara mereka, 20 santri putri ia jadikan sebagai anak angkat dengan cara memondokkan ke pesantren penghafal Quran. Selain Kiai Ghoffar Ismail, di Jakarta, ada K.H. Syukron Makmun, Drs. Suryani Thaher, Hajah Tuty Alawiyah, dan Kosim Nurzeha. Sebagai dai, mereka cukup populer terutama lewat ceramahnya di radio. Misalnya, Kosim Nurzeha, 54 tahun. Suaranya yang merdu dan serak-serak basah itu tak pernah absen dari kuliah subuh "Siraman Rohani Islam" di Radio Kayu Manis, Jakarta, selama 30 menit. Ustad di Pusat Pembinaan Mental TNI-AD itu biasa memulai ceramahnya dengan memetik ayat Quran, kemudian mengupasnya secara sistematis lewat contoh sehari-hari. "Cara penyampaiannya mudah dicerna oleh kami yang awam agama," kata Gatot Teguh Arifianto -- suami bintang film Lenny Marlina. Sosok ustad bekas murid Kiai Ghoffar Ismail itu memang sangat cocok dengan selera pendengar yang masih baru memahami agama. Dengan uraian sederhana, dibumbui sentilan-sentilan yang mengundang tawa, pendengar betah dan gampang memahami isi ceramah. Rupanya, ustad yang tinggal di kompleks TNI AD Jakarta dan bermobil Mercedes 200 itu mempunyai resep untuk dapat digemari masyarakat. "Pada dasarnya manusia mempunyai fitrah butuh tuntunan. Kalau kita memenuhinya dengan bahasa mereka, tentu mereka akan tertarik," katanya. Kebetulan, ustad yang suka berbaju batik ini sanggup memenuhi tuntutan tersebut. Tak heran bila ia dibuat sibuk oleh undangan permintaan ceramah serta membalas 30-an surat dari penggemarya setiap hari. Tapi Kosim Nurzeha menentang komersialisasi dakwah. "Nanti, yang bisa menikmati hanya mereka yang berduit saja," katanya. Tapi ia menyetujui penjualan kaset-kaset dakwah. Alasannya, produksi kaset itu membutuhkan biaya. Selain itu, yang jelas ia tenar setelah kaset ceramahnya diputar radio-radio non-RRI di Jawa. Tokoh dai yang populer di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tentu Hamzanwadi. Kakek berusia 85 tahun kelahiran Pancor, Lombok Nusa Tenggara Barat itu setiap pagi rutin memberikan ceramah di depan calon-calon juru dakwah, di Masjid Al Abror, di lingkungan Pesantren Darun Nahdhtain, Pancor Lombok. Nama lengkapnya Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Ia muncul dalam masyarakat lewat pembaruan sistem pendidikan agama di Lombok, 1953 dengan mendirikan Nahdhatul Wathan Diniyah Islamiyah, lembaga pendidikan dan sosial yang menaungi 477 cabang di NTB, NTT, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Di samping mendidik dan berdakwah di pesantrennya, ia tak pernah merasa letih berkeliling Pulau Lombok. Ia mendatangi 31 kecamatan yang berada di tiga kabupaten se-Pulau Lombok secara bergilir, tiap hari dua kecamatan. Jamaah yang hadir dalam pengajiannya mencapai 5-10 ribu, tanpa undangan. Satu-satunya putra Lombok lulusan Madrasah Al Sholatiyah Mekah, itu sekali berdakwah 2-3 jam. Seperti Kiai Mangli atau Kiai Ghoffar, juru dakwah yang dipanggil Maulana Syekh oleh umatnya ini mengupas Quran dan hadis. Bedanya, ia memakai rujukan kitab tertentu. Di Sumatera ada Ustad Mahyaruddin Salim, 70 tahun. Mubalig kelahiran Medan pada 1920 yang kesohor di Sumatera Utara hingga Sumatera Barat ini mengaku kian sibuk menerima permintaan tablig, setelah ceramahnya direkam dalam kaset, yang kini berjumlah 40 judul, diedarkan di Medan dan Jakarta. Di antaranya, yang terpanjang adalah Di Seberang Kematian, terdiri dari 14 kaset. Juru dakwah sejak 1942 itu tak biasa mempersiapkan diri dari rumah jika berangkat memberikan ceramah. Soalnya, isi ceramah mestinya selalu sesuai dengan situasi dan kondisi pendengar. Ia lebih dahulu berbincang dengan orang tua dan kalangan pemuda, untuk menangkap permasalahan yang timbul. Dari situ disimpulkan materi ceramah nanti. Ia tahu, masyarakat menyukai ceramah yang keras dan tegas. Tapi, ia pun tahu, itu sebenarnya bisa disampaikan dengan cara bijaksana. Dengan gaya humor, dan sesekali bernada meledak-ledak, ia yakin dapat memikat pendengar. Misalnya, ia ajak pendengar tersenyum, sekalian memberi mereka ilmu. Bagi Mahyaruddin, yang terpenting bukan isi ceramah. Tapi gaya. "Lha. Kalau gaya kita menarik, tentulah mereka terpikat, apa pun materi ceramah," kata ustad yang selalu memenuhi panggilan ceramah di masjid, RRI, dan TVRI stasiun Medan ini. Di Jawa Timur, pusat NU, dakwah agama tak pernah padam. Antara lain datang dari H. Bey Arifin, 73 tahun, mubalig kesohor di Surabaya. "Hampir tak ada waktu kosong buat saya," kata mubalig kelahiran desa Parak Laweh, Tilatang, Bukittinggi, itu. Meski umurnya kian renta, hari-harinya dipenuhi jadwal memberi ceramah, yang selalu ia penuhi dengan cara duduk. Selama 20 tahun terakhir, Bey Arifin merasa lebih pas membawakan ceramah agama bertema ketuhanan. Tema ketuhanan, menurut Bey, adalah dasar utama "Soal korupsi itu kecil. Kalau orang sudah menjalankan syariat agama, ia tak akan melakukannya," katanya. Tapi dulu, tahun 1960-an, lulusan Islamic College Padang (1938) ini sering membawakan tema yang lagi hangat yang disukai massa. Ia mengenang ceramah akbar di masjid Al Irsyad, Surabaya, 1954. Karena temanya pas, Bey bisa mengetuk hati ribuan massa yang hadir untuk mengumpulkan dana pembangunan masjid. Hasilnya, terkumpul Rp 77 ribu, cukup untuk membangun Masjid Mujahidin, Perak, Surabaya. Bey Arifin, bekas dosen agama Islam di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, tak pernah membawa teks ketika berceramah. "Sudah hafal di kepala," katanya. Tapi ia membawa buku catatan, berisi garis besar tema. Sumber dakwah yang dibawakannya selalu ayat Quran dan hadis, serta sejumlah buku agama. Berbeda dari juru dakwah lainnya, Bey Arifin sudah berdakwah melalui buku, pada 1940, sembilan tahun sebelum berdakwah melalui lisan. Selain tulisannya yang tercecer di media massa, ia sudah mengarang 47 buku. Ayah dengan sebelas anak ini hidup dari mengarang buku tersebut. Tapi, ia juga mendapat honor dari kaset-kaset rekaman ceramahnya. Pengalaman paling menarik baginya, ketika ia berceramah di Ujungpandang, 1969. Sekitar seratus ribu pengunjung menghadiri pengajian akbar itu. Tema yang dibawakannya soal sepele. "Bagaimana keluar-masuk WC," tuturnya. Dan luar biasa. Selama dua setengah jam pengunjung betah di tempat. Ahmadie Thaha & Biro Daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus