DIAM-diam sebuah langkah besar diancangkan. Bulan-bulan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah menggodok sebuah rencana. Yakni menerjunkan seribu dai, juru dakwah, ke berbagai pelosok. Mereka bakal digaji secara rutin untuk dapat berkonsentrasi berdakwa. Tim yang diketuai oleh A. Qadir Basalamah -- beranggotakan ormas-ormas Islam yang selama ini menangani tablig -- sudah mengadakan rapat untuk merampungkan teknis pelaksanaannya. Maka, Ketua MUI K.H. Hasan Basri mengatakan, "Ini kabar baik buat umat Islam." Yang menarik, ini bukan ide asli MUI. "Ini gagasan Pak Harto," kata Kiai Hasan Basri. Desember tahun lalu, Presiden menyampaikan gagasan itu, sewaktu Rakernas MUI. Gagasan serupa disampaikan lagi pada muktamar Majelis Dakwah Islamiyah (MDI). Pada pokoknya, Pak Harto mengemukakan agar umat Islam memperhatikan dakwah di daerah terpencil. Lalu, pada K.H. Hasan Basri Presiden mengingatkan kembali keinginannya untuk "mengikutsertakan para dai menjadi transmigran yang diberi insentif." Hingga sekarang MUI belum bersedia menjelaskan rencana itu, "karena masih dalam godokan." Kabarnya, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang akan membiayai mereka. Diancarkan setiap dai itu akan menerima insentif Rp 100 ribu sebulan. Namun, seberapa jauh keterlibatan yayasan itu, juga mengenai insentif, belum dapat dipastikan. Menteri Agama Munawir Sjadzali pun mengaku, "Kurang tahu soal ini." Yang pasti, menurut Menteri Munawir, perekrutannya memang ada. Seperti dikatakan K.H. Hasan Basri, ada sejumlah kriteria dasar yang telah ditetapkan. Di antaranya, minimal para calon dai lulusan setingkat sekolah lanjutan tingkat atas. Mereka juga harus sanggup bertani. Dan yang paling penting, mereka punya keterampilan untuk berdakwah. Belum ada kejelasan kapan pengiriman dai ke wilayah transmigrasi, dan ke daerah terpencil lain, bakal dimulai. Ada selentingan yang menyatakan bahwa rencana dimaksudkan untuk mengimbangi kegiatan penyebaran agama lain di berbagai pelosok. Menteri Munawir membantahnya. Tujuan gagasan ini, menurut Munawir, semata untuk meningkatkan rasa keagamaan di antara umat beragama. Khususnya Islam. Soal upaya mencari pengikut sebanyak-banyaknya, boleh saja. "Yang penting jangan menanam sayur di kebun orang," kata Menteri. Kalau rencana ini terwujud, ini adalah langkah yang punya arti besar. Sebab, MUI yang menyelenggarakannya. Tetapi di Indonesia, ini bukan langkah yang sangat baru. Dalam format yang hampir sama. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) juga telah mengatur pengiriman dai ke tempat-tempat terpencil. Menurut H. Buchari Tamam, DDII -- yang berdiri pada 1967 -- telah lama mengirimkan para dainya, termasuk ke daerah transmigrasi. Pada para dai itu, "Kami juga memberi insentif ala kadarnya." Mereka yang akan dikirim itu ditatar lebih dulu oleh DDII selama dua bulan. Saat itulah mereka dibekali dengan ilmu agama, keterampilan (pertanian, perikanan), sosiologi pedesaan, serta metode penelitian sederhana. Baru kemudian mereka dilepas menuju ke daerah-daerah dengan membawa bekal ala kadarnya: pakaian, buku-buku, uang saku Rp 50 ribu (per bulan), serta obat-obatan. Para dai itu umumnya lulusan madrasah aliyah atau yang sederajat. Umur mereka masih sekitar 20 tahun. Ada yang khas dalam pengiriman dai oleh DDII itu. Mereka umumnya dipesan oleh para tokoh masyarakat setempat di desa-desa. Maka ke-200 dai yang sudah dikirim langsung mendapat fasilitas yang memadai untuk ukuran masyarakat setempat. Misalnya tempat tinggal serta makan. Selain menjadi juru dakwah, mereka sekaligus menjadi semacam informan bagi DDII. Mereka rajin mengirim laporan menjelaskan ihwal kegiatan keagamaan di daerah-daerah. Dari merekalah DDII memantau situasi daerah. Lembaga yang oleh Mohammad Natsir -- pendirinya -- disebut sebagai "laboratorium" atau "pompa bensin" ini masih berniat untuk terus mengirimkan dai lebih banyak lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini