SALAT itu memang dirancang untuk mengumpulkan massa. Tapi membanjirnya jamaah sungguh mengejutkan. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah spanduk telah dipasang di beberapa sudut Jakarta. Di sana diumumkan: salat diselenggarakan di Parkir Timur Senayan. H. Zainuddin Mz. bakal menjadi khatib, Rhoma Irama sebagai pembaca takbir, H. Muammar Z.A. imam. Segala sesuatunya sudah dipersiapkan. Kabar pun disebar. Bukan saja lewat spanduk, melainkan juga disiarkan oleh Radio Suara ABRI berkali-kali. Maka, seperti yang diduga, massa pun berduyun datang. Nama Zainuddin sebagai mubalig yang sedang naik daun, Rhoma Irama yang "mahabintang" musik dangdut, serta Muammar yang disebut-sebut sebagai salah satu qari -- pembaca Q'uran -- terbaik Indonesia saat ini, jelas merupakan daya tarik. Panitia pun menyiapkan tempat buat 200-an ribu jamaah. "Agar bersejarah," kata Soeharto Widjaja, salah seorang pimpinan panitia. Panitia -- gabungan kelompok harian Pos Kota, Radio Suara ABRI, Gelora Senayan, serta Yayasan Nurul Falah -- tak mau tanggung. Mereka hendak menyiapkan lapangan yang sering dipakai untuk upacara besar militer atau lomba gokar dan slalom mobil itu dengan baik. Mereka mau meminjam peralatan pengeras suara milik Rhoma Irama, yang biasa digunakan dalam pementasan musiknya, yang ditanggung mampu melontarkan suara sampai beberapa ratus meter. Namun, Gelora Senayan membatasinya. Pihaknya menyediakan perangkat pengeras suara sendiri, menolak meminjam pada Rhoma. Mereka juga menggantikan Parkir Timur Senayan dengan lapangan golf di sampingnya. Malam menjelang Idulfitri itu tali pengatur saf, barisan dalam salat, dipasang. Tali itu pun harus ditarik sepeda motor, karena panjangnya. Pukul 01.00, Zainuddin datang ke lokasi untuk memeriksa segala sesuatunya. "Saat itu sudah ada jamaah yang datang. Rupanya, mereka bermalam di situ," kata Zainuddin. Sekitar pukul 04.00 pagi, jamaah sudah berkumpul banyak. "Barangkali mereka mau cari tempat dekat podium," kata Soeharto. Menjelang dimulainya salat, jamaah tak tertampung lagi. Ada yang datang dari Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Jamaah melebar ke lapangan lain. Kepada Zainuddin, seorang polisi menaksir jumlah jamaah mencapai 300 ribu. Seorang jamaah, yang terheran-heran dengan besarnya massa, sampai menyebut angka berlebihan: 500 ribu. "Saya tak menduga sebanyak itu," kata Zainuddin. Ternyata, ada hikmahnya pula tempat salat dipindahkan. Tempat untuk parkir kendaraan pun menjadi cukup. Hanya pengeras suara yang kurang memadai. Di barisan belakang, takbir Rhoma Irama dan khotbah Zainuddin sudah tak terdengar. Mubalig itu lalu mengajak umat bertafakur, menilai diri masing-masing. Kemudian menguraikan berbagai aspek puasa yang penting untuk kehidupan saat ini. Misalnya dalam melatih kedisiplinan, menjadikan tawaduk, ikhlas, dan melahirkan solidaritas sosial. "Puasa memang melatih kita menjadi manusia tawaduk, tidak melonjak menjadi angkuh dan sombong karena sedikit keberhasilan yang kita miliki." Kekayaan tanpa sifat tawaduk, kata Zainuddin, "hanya akan melahirkan konglomerat kelas tuyul. Ilmu pengetahuan tanpa mempunyai sifat tawaduk hanya akan menjauhkan manusia dari Allah subhanahu wa taala." Merasakan "lapar dan hausnya orang miskin" dengan jalan berpuasa menumbuhkan sifat belas kasih. Ia lalu mengutip hadis Nabi, "Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan sayang kepadamu." Maka, seharusnya yang berkuasa menyayangi yang jelata dan melindunginya yang kaya mengasihani yang miskin dan menyantuninya yang alim menyayangi yang awam dan membimbingnya. Dalam hal materi, penyajian Zainuddin tak luar biasa. Kesederhanaan bahasa, kejelasan contoh, serta cara membawakannya yang menjadikan khotbah itu gampang dicerna massa. Yang pasti, nama Zainuddin, Rhoma Irama, dan Muammar cukup untuk menarik 300-an ribu jamaah, dan uang infak Rp 15 juta yang diperuntukkan membangun masjid. Kemudian Zainuddin terpaksa "berfatwa" bahwa jamaah tak perlu bersalaman fisik dengannya. Bayangkan, seumpama jabat tangan itu makan waktu dua detik saja, berarti Zainuddin harus bersalaman dengan 300.000 jamaah dalam waktu 600.000 detik atau sekitar 166 jam atau lebih dari enam hari siang malam. Jadi, ketika Anda membaca artikel ini, di lapangan golf Senayan Haji Zainuddin masih bersalam-salaman. Bayangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini