Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ada spion datang ke rumah makan

Asisten atase militer kedubes us di jakarta, letkol s.p egorov, diusir dari indonesia, terlibat kegiatan mata-mata, melakukan jual beli dokumen rahasia dengan seorang perwira abri. (nas)

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN terasa di Departemen Luar Negeri Senin malam pekan ini. Pukul 17.00 Menlu Mochtar mengadakan rapat dengan pejabat terasnya. Pukul 18.00 kurang sedikit, Dubes Uni Soviet Ivan F. Shpedko datang. Dubes yang bertugas di Indonesia sejak 1976 ini kelihatan angker. Ia langsung menuju ruang kerja Menlu di lantai dua. Ia didampingi A.l. Khmelnitski, Wakil Kepala Perwakilan dan seorang staf kedutaan yang berbadan kekar. Pertemuan tertutup berlangsung harnpir dua jam. Apa yang dibicarakan Menlu dengan Dubes Uni Soviet? Menlu Mochtar yang masih memegang tiga potong kue yang belum sempat disantapnya tidak bersedia memberi keterangan ia langsung masuk ke mobilnya. Tapi pukul 21.00, Deplu, dengan hati-hati mengumumkan sesuatu yang mengagetkan: Pemerintah Indonesia menyatakan persona non grata bagi Asisten Atase Militer pada Kedubes Uni Soviet di Jakarta, Letkol S.P. Egorov. Tuduhan: ia telah melakukan kegiatan matamata yang membahayakan keamanan negara dan tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai diplomat. Egorovyang tinggal di Jalan Daksa Kebayoran Baru itu harus meninggalkan Indonesia dalam waktu dua kali 24 jam sejak permintaan ini disampaikan oleh Menlu Mochtar kepada Dubes Shpedko tanggal 5 Februari malam. Restoran Jawa Timur Apa sebenarnya yang terjadi? Sebuah sumber mengisahkan, bahwa peristiwa itu bermula dari restoran Jawa Timur, Jalan Achmad Yani, Jakarta, tanggal 4 Februari sore . Egorov yang datang dengan mobil diplomatnya bertemu dengan seorang perwira ABRI bernama Sus (tak disebut lengkap). Kedua perwira itu diketahui melakukan jual-beli dokumen rahasia. Kabarnya, pejabat Kedubes ini juga memberi perlengkapan kepada Sus, antara lain untuk memfoto dokumen-dokumen rahasia. Menurut pengakuannya sendiri, Egorov baru mengadakan pertemuan dengan Sus sekali saja. Tapi Sus diketahui telah mengadakan pertemuan beberapa kali dengan Alexander Finenko, Kepala Kantor Penerbangan Uni Soviet Aeroflot di Jakarta. Setelah Egorov ketahuan membeli dokumen rahasia negara, tanggal 5 Februari ia dipanggil Dirjen Potokol dan Konsuler Joop Ave. Isi pertemuan singkat. Joop Ave memintanya segera meninggalkan Indonesia. Pemberitahuan serupa juga disampaikan Menlu kepada Dubes Uni Soviet malam harinya. "Pemerintah Indonesia sangat terkejut bahwa seorang diplomat dari negara yang mempunyai hubungan yang bersahabat telah mengadakan kegiatan yang sangat merugikan Indonesia," demikian pernyataan Deplu yang dikeluarkan Senin malam lalu. Pemerintah semula berniat menunda pengumuman kejadian itu, demi hubungan baik kedua negara. Tetapi, ketika Egorov dan keluarganya akan bertolak dari Halim Perdana kusuma dengan pesawat Garuda, A 968 Sabtu pukul 18.00, terjadi keribtan. Di antara pengantar--kebanyakan rekannya staf kedubes -- terdapat Alexander Finenko dari kantor Aeroflot Jakarta yang juga siap meninggalkan Indonesia. Ia memang sedang diincar petugas keamanan karena ada petunjuk kuat terlibat kasus jual-beli dokumen rahasia itu. Ketika petugas keamanan hendak menahan orang yang bukan diplomat ini dan mempersilakan Finenko masuk ruangan lain, seorang diplomat Soviet, G.M. Odariouk, menghalang-halanginya. Bahkan diplomat berpangkat Atase itu sempat memukul dan menyerang petugas keamanan. Tapi Alexander Finenko berhasil ditangkap. Karena Odariouk malam itu tak mau berpisah dengan Finenko, ia ikut diinapkan di Komando Garnisun (Kogar) Ibukota. "Jelas kelihatan, dari kejadian itu, usaha petugas keamanan agar penangkapan terhadap Finenko dapat dilakukan tanpa diketahui umum telah gagal karena sikap agresif pejabat-pejabat Kedubes Uni Soviet," bunyi pernyataan Deplu itu. Berita penangkapan Finenko dan seorang diplomat Odariouk segera sampai ke telinga Dubes Uni Soviet. Tiga jam setelah keributan di Halim itu, Dubes Shpedko mengirim protes kepada Menlu Mochtar. Sekitar pukul 02.30 pagi-pagi, Dubes Uni Soviet dan sembilan orang pembantunya mendatangi Kogar Ibukota dengan tiga mobil yang tetap dihidupkan mesinnya selama mereka berdebat dengan petugas keamanan. Sekali lagi, mereka menuntut agar Odariouk dan Finenko dilepas. Baru Munggu pagi, Atase Odariouk dilepas. Sakit "Asma" Kedubes Uni Soviet rupanya belum puas. Minggu pagi itu juga, pejabat tinggi kedubes meminta agar Finenko dibeskan. Alasannya: ia tidak mungkin bisa tinggal di tempat tahanan itu karena mengidap sakit asma. Tapi pihak Indonesia membantah berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, menurut sebuah sumber TEMPO, Finenko dalam keadaan sehat. Ia tidak menderita asma. Minggu siang, Dubes Shpedko sekali lagi melancarkan protes. Ia tetap meminta agar Kepala Kantor Penerbangan Aeroflot Jakarta itu dibebaskan. Bahkan ia menuduh Indonesia melanggar Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik. Indonesia kontan menangkis tuduhan itu. Pemerintah justru telah menunjukkan itikad baiknya. Egorov dan Odariouk, yang memang punya status diplomatik, telah dibebaskan. "Dengad demikian, Pemerintah Indonesia telah mematuhi norma-norma hubungan internasional dan ketentuan Konvensi Wina," kata pernyataan Deplu yang dibagikan seusai Mochtar memanggil Dubes Shpedko Senin malam. Sebaliknya, Indonesia justru menuduh tindakan beberapa diplomat Uni Soviet itu melanggar normanorma dan ketentuan hubungan internasional. Dalam pertemuan Menlu Mochtar dan Dubes Shpedko--yang konon berlangsung panas--Indonesia menyatakan protes keras terhadap perilaku para pejabat diplomatik Kedubes Uni Soviet di Jakarta. Pemerintah Indonesia juga kecewa karena pejabat diplomatik itu tidak bertindak untuk memajukan hubungan baik dengan negara tuan rumah dan menaati hukum yang berlaku di sini. "Karena itu, apabila timbul akibat, akibat yang kurang baik dalam hubungan Indonesia-Uni Soviet, maka hal itu sepenuhnya merupakan tanggungjawa4 pihak Uni Soviet, dan bukan tanggun jawab Indonesia," demikian pengumum an Deplu. Pihak Uni Soviet belum terdengar menjawab. Tapi jelas: ini insiden diplomatik terbesar yang menyangkut spionase di Indonesia sejak kemerdekaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus