KETEGANGAN terasa di Departemen Luar Negeri Senin malam pekan
ini. Pukul 17.00 Menlu Mochtar mengadakan rapat dengan pejabat
terasnya. Pukul 18.00 kurang sedikit, Dubes Uni Soviet Ivan F.
Shpedko datang. Dubes yang bertugas di Indonesia sejak 1976 ini
kelihatan angker. Ia langsung menuju ruang kerja Menlu di lantai
dua. Ia didampingi A.l. Khmelnitski, Wakil Kepala Perwakilan dan
seorang staf kedutaan yang berbadan kekar.
Pertemuan tertutup berlangsung harnpir dua jam. Apa yang
dibicarakan Menlu dengan Dubes Uni Soviet? Menlu Mochtar yang
masih memegang tiga potong kue yang belum sempat disantapnya
tidak bersedia memberi keterangan ia langsung masuk ke mobilnya.
Tapi pukul 21.00, Deplu, dengan hati-hati mengumumkan sesuatu
yang mengagetkan: Pemerintah Indonesia menyatakan persona non
grata bagi Asisten Atase Militer pada Kedubes Uni Soviet di
Jakarta, Letkol S.P. Egorov. Tuduhan: ia telah melakukan
kegiatan matamata yang membahayakan keamanan negara dan tidak
sesuai dengan kedudukannya sebagai diplomat. Egorovyang tinggal
di Jalan Daksa Kebayoran Baru itu harus meninggalkan Indonesia
dalam waktu dua kali 24 jam sejak permintaan ini disampaikan
oleh Menlu Mochtar kepada Dubes Shpedko tanggal 5 Februari
malam.
Restoran Jawa Timur
Apa sebenarnya yang terjadi? Sebuah sumber mengisahkan, bahwa
peristiwa itu bermula dari restoran Jawa Timur, Jalan Achmad
Yani, Jakarta, tanggal 4 Februari sore . Egorov yang datang
dengan mobil diplomatnya bertemu dengan seorang perwira ABRI
bernama Sus (tak disebut lengkap). Kedua perwira itu diketahui
melakukan jual-beli dokumen rahasia.
Kabarnya, pejabat Kedubes ini juga memberi perlengkapan kepada
Sus, antara lain untuk memfoto dokumen-dokumen rahasia. Menurut
pengakuannya sendiri, Egorov baru mengadakan pertemuan dengan
Sus sekali saja. Tapi Sus diketahui telah mengadakan pertemuan
beberapa kali dengan Alexander Finenko, Kepala Kantor
Penerbangan Uni Soviet Aeroflot di Jakarta.
Setelah Egorov ketahuan membeli dokumen rahasia negara, tanggal
5 Februari ia dipanggil Dirjen Potokol dan Konsuler Joop Ave.
Isi pertemuan singkat. Joop Ave memintanya segera meninggalkan
Indonesia. Pemberitahuan serupa juga disampaikan Menlu kepada
Dubes Uni Soviet malam harinya. "Pemerintah Indonesia sangat
terkejut bahwa seorang diplomat dari negara yang mempunyai
hubungan yang bersahabat telah mengadakan kegiatan yang sangat
merugikan Indonesia," demikian pernyataan Deplu yang dikeluarkan
Senin malam lalu. Pemerintah semula berniat menunda pengumuman
kejadian itu, demi hubungan baik kedua negara.
Tetapi, ketika Egorov dan keluarganya akan bertolak dari Halim
Perdana kusuma dengan pesawat Garuda, A 968 Sabtu pukul 18.00,
terjadi keribtan. Di antara pengantar--kebanyakan rekannya staf
kedubes -- terdapat Alexander Finenko dari kantor Aeroflot
Jakarta yang juga siap meninggalkan Indonesia.
Ia memang sedang diincar petugas keamanan karena ada petunjuk
kuat terlibat kasus jual-beli dokumen rahasia itu. Ketika
petugas keamanan hendak menahan orang yang bukan diplomat ini
dan mempersilakan Finenko masuk ruangan lain, seorang diplomat
Soviet, G.M. Odariouk, menghalang-halanginya. Bahkan diplomat
berpangkat Atase itu sempat memukul dan menyerang petugas
keamanan.
Tapi Alexander Finenko berhasil ditangkap. Karena Odariouk malam
itu tak mau berpisah dengan Finenko, ia ikut diinapkan di
Komando Garnisun (Kogar) Ibukota. "Jelas kelihatan, dari
kejadian itu, usaha petugas keamanan agar penangkapan terhadap
Finenko dapat dilakukan tanpa diketahui umum telah gagal karena
sikap agresif pejabat-pejabat Kedubes Uni Soviet," bunyi
pernyataan Deplu itu.
Berita penangkapan Finenko dan seorang diplomat Odariouk segera
sampai ke telinga Dubes Uni Soviet. Tiga jam setelah keributan
di Halim itu, Dubes Shpedko mengirim protes kepada Menlu
Mochtar. Sekitar pukul 02.30 pagi-pagi, Dubes Uni Soviet dan
sembilan orang pembantunya mendatangi Kogar Ibukota dengan tiga
mobil yang tetap dihidupkan mesinnya selama mereka berdebat
dengan petugas keamanan. Sekali lagi, mereka menuntut agar
Odariouk dan Finenko dilepas. Baru Munggu pagi, Atase Odariouk
dilepas.
Sakit "Asma"
Kedubes Uni Soviet rupanya belum puas. Minggu pagi itu juga,
pejabat tinggi kedubes meminta agar Finenko dibeskan.
Alasannya: ia tidak mungkin bisa tinggal di tempat tahanan itu
karena mengidap sakit asma. Tapi pihak Indonesia membantah
berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, menurut sebuah sumber
TEMPO, Finenko dalam keadaan sehat. Ia tidak menderita asma.
Minggu siang, Dubes Shpedko sekali lagi melancarkan protes. Ia
tetap meminta agar Kepala Kantor Penerbangan Aeroflot Jakarta
itu dibebaskan. Bahkan ia menuduh Indonesia melanggar Konvensi
Wina tentang hubungan diplomatik.
Indonesia kontan menangkis tuduhan itu. Pemerintah justru telah
menunjukkan itikad baiknya. Egorov dan Odariouk, yang memang
punya status diplomatik, telah dibebaskan. "Dengad demikian,
Pemerintah Indonesia telah mematuhi norma-norma hubungan
internasional dan ketentuan Konvensi Wina," kata pernyataan
Deplu yang dibagikan seusai Mochtar memanggil Dubes Shpedko
Senin malam. Sebaliknya, Indonesia justru menuduh tindakan
beberapa diplomat Uni Soviet itu melanggar normanorma dan
ketentuan hubungan internasional.
Dalam pertemuan Menlu Mochtar dan Dubes Shpedko--yang konon
berlangsung panas--Indonesia menyatakan protes keras terhadap
perilaku para pejabat diplomatik Kedubes Uni Soviet di Jakarta.
Pemerintah Indonesia juga kecewa karena pejabat diplomatik itu
tidak bertindak untuk memajukan hubungan baik dengan negara tuan
rumah dan menaati hukum yang berlaku di sini.
"Karena itu, apabila timbul akibat, akibat yang kurang baik
dalam hubungan Indonesia-Uni Soviet, maka hal itu sepenuhnya
merupakan tanggungjawa4 pihak Uni Soviet, dan bukan tanggun
jawab Indonesia," demikian pengumum an Deplu. Pihak Uni Soviet
belum terdengar menjawab. Tapi jelas: ini insiden diplomatik
terbesar yang menyangkut spionase di Indonesia sejak
kemerdekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini