Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Adalah manusia itu umat yang satu

Yang muncul di permukaan adalah berbagai imbauan untuk menjaga kerukunan beragama. yang hidup sebagai isu adalah adanya konflik antaragama. tampaknya diperlukan alternatif dalam cara beragama kita.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT angin, isu itu tak terlihat geraknya tapi jelas dampaknya. Belakangan ini, berbagai pihak mengimbau masyarakat agar lebih memelihara kerukunan beragama. Apa sebenarnya yang terjadi, tak begitu jelas. Rabu pekan lalu, misalnya, Menteri Agama Munawir Sjadzali bertemu dengan tokoh-tokoh dari Dewan Musyawarah Antarumat Beragama di Departemen Agama. Mereka antara lain membicarakan peristiwa-peristiwa di beberapa daerah yang menjurus ke arah keretakan kerukunan beragama. Yakni, adanya ulah kelompok ekstrem dan tersebarnya selebaran gelap yang isinya berita bohong dan soal "kristenisasi", yang memancing gerakan perusakan tempat ibadah. Di Jakarta isu berbau pertentangan agama pun beredar. Dua pekan lalu tersebar kabar, katanya, ada pembakaran kitab suci oleh seorang pelajar. Kabar yang hampir saja menyulut perkelahian antarsekolah itu, kata Menteri Munawir, adalah bohong. Sebelumnya, di pekan terakhir November lalu, di DPR, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Try Sutrisno membenarkan adanya perusakan tempat ibadah di beberapa daerah. Dan sebelum dilangsungkan pertemuan Dewan Musyawarah Antarumat Beragama itu, Presiden Soeharto memperingatkan bahwa pertentangan antaragama akan berdampak luas dan akan meninggalkan luka yang sembuhnya makan waktu lama. Ini di- ucapkan Presiden ketika membuka Musyawarah Nasional II Perwalian Umat Budha Indonesia, Senin pekan lalu. Baru Jumat malam pekan lalu, dalam pertemuan antarpemuka agama se-Jawa Timur, Sekjen Departemen Agama Tarmidzi Thaher sedikit memberikan informasi tentang peristiwa yang membuat berbagai pihak menyerukan dipeliharanya kerukunan beragama itu. Keterangan itu diberikannya dalam konperensi pers sesudah acara pertemuan antarpemuka agama yang dihadiri oleh Gubernur Soelarso dan 200-an hadirin di Wisma Sejahtera Surabaya itu usai. Sekjen yang datang dari Jakarta tersebut mula-mula menyatakan bahwa kerukunan beragama di Indonesia selama ini berjalan baik. Tapi belakangan ini ada yang mengganjal, karena ada sedikit masalah yang sengaja dilontarkan oleh "orang-orang aneh" dengan cara menyebarkan isu "kristenisasi" dan "islamisasi". Lebih jauh Tarmidzi mengatakan, ada tiga peristiwa belakangan ini yang membuat kerukunan beragama terganggu: di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara di Wonosobo, Jawa Tengah dan di Pasuruan, Jawa Timur. Namun, siapakah "orang-orang aneh" itu, dan apa yang dilakukannya? Sekjen Departemen Agama itu tak bersedia memberikan keterangan yang bisa dikutip pers. Tak mudah mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi, karena banyak sumber tak bersedia memberikan wawancara. Berbekal keterangan dari Sekjen Tarmidzi Thaher, beberapa wartawan TEMPO mencoba mengecek kembali berita-berita yang sebelumnya sudah beredar sebagai kabar burung. Di Pangkalan-brandan, kota minyak itu, peristiwa itu terjadi awal November. Dan bukan terjadi di tengah kota, melainkan di Desa Pelawi, Kecamatan Babalan. Tak jelas, bagaimana persisnya kejadiannya waktu itu. Yang pasti, korbannya adalah Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), yang terletak di sebuah gang sempit. Tampak ada lubang di dinding kira-kira selebar gawang sepak bola ketika wartawan TEMPO belum lama ini meliputnya. Pintu gedung pun tampak jebol. Di sana-sini terlihat runtuhan batu bata. Pada awal pembangunan bangunan itu masyarakat sekitar memperoleh penjelasan bahwa yang hendak didirikan adalah sebuah gedung pertemuan. Menurut seorang warga, setelah gedung hampir jadi, memang gedung itu dipakai untuk pertemuan. Tapi lama-lama warga setempat pun mulai tahu, yang dilangsungkan di situ tiap Minggu adalah kebaktian bersama. Yang membuat warga setempat tak mengerti, di Desa Pelawi sendiri hanya ada tujuh kepala keluarga yang nasrani. Mereka yang datang ke situ kebanyakan warga dari luar Desa Pelawi. Lalu mengapa kemudian timbul konflik, sejauh ini hanya bisa diduga-duga. Setelah mereka yang diduga terlibat dalam peristiwa itu dipanggil oleh pemerintah daerah, kata Astaman, camat setempat, pengusutan ditunda sampai usai sidang umum MPR tahun depan. Bisa jadi, tidak pasnya pemilihan lokasi tempat ibadah memang merupakan salah satu sumber konflik. Pada malam pertemuan para pemuka agama se-Jawa Timur itu, umpamanya, dibagikan fotokopi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969 tentang pembangunan tempat ibadah. Pasal 4 Surat Keputusan itu jelas-jelas menyatakan, "Setiap pendirian rumah ibadat" perlu berbagai izin, antara lain dari kepala daerah. Dan bila dianggap perlu, kepala daerah bisa "meminta pendapat dari organisasi keagamaan dan ulama atau rohaniwan setempat" sebelum memberikan izin. Dan kenyataannya, tak semua pejabat yang berwenang memberi izin mendirikan bangunan bisa tegas. Contoh yang terjadi Kamis pekan lalu di Dili sungguh patut ditiru. Pejabat setempat dengan tegas memerintahkan pembongkaran musala di belakang Kantor Wilayah Pekerjaan Umum, karena tak ada Izin Mendirikan Bangunannya. "Bangunan lain tak ber-IMB pun akan kami bongkar," kata Armindo Soares, bupati Dili. Mungkin ketegasan seperti itu akan ikut mencegah peristiwa macam di Desa Reco, Wonosobo, Jawa Tengah. Menurut keterangan yang dikumpulkan TEMPO, peristiwa di Reco terjadi 21 November sebelum waktu lohor. Puluhan lelaki tiba-tiba menggempur Gereja Katolik satu-satunya di desa itu. Akibatnya, seperti disaksikan TEMPO yang datang beberapa hari kemudian, bangunan berukuran sekitar 10 X 8 meter bergaya joglo itu temboknya retak, gentingnya rontok. Sampai pekan lalu gereja tersebut dijaga polisi dan tentara siang dan malam. Inilah cerita Risdianto, kepala Desa Reco, kepada TEMPO. Rencana pembangunan gedung yang kemudian menjadi gereja itu sudah dimulai akhir 1990 lalu. Lembaga musyawarah desa setempat juga sudah diajak berembuk. Memang ada keberatan, dari pihak umat muslim di kelurahan tetangga, yang masih berada dalam satu wilayah kecamatan dengan Desa Reco. Karena adanya pihak yang keberatan itu, "Pak Bupati Wonosobo menulis surat pada panitianya, agar pembangunan gereja ditangguhkan," tutur Risdianto. Dan karena itu pula izin mendirikan bangunan (IMB) gereja tersebut belum juga diturunkan. Tapi rupanya pihak panitia pembangunan gereja itu punya kebijaksanaan lain. "Sambil menunggu IMB, pembangunan di jalankan," cerita Kepala Desa Reco. Kini pihak kepolisian Wonosobo sedang mengusut duduk soal sebenarnya. Dan sejauh ini belum ada seorang pun ditahan di Wonosobo sehubungan dengan peristiwa tersebut. Memang beberapa orang dipanggil oleh pihak kepolisian, "tapi hanya untuk dimintai keterangan," kata Letnan Kolonel Muhammad Said. Masalah hampir serupa terjadi juga di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 15 November lalu. Gereja Pantekosta di Desa Ngopak, Kecamatan Grati, diserbu ribuan orang. Menurut Yassin Hasan, seorang ustad di Pasuruan yang menyaksikan massa bergerak sesudah subuh hari itu, sebenarnya ada usaha sejumlah ulama untuk mencegah massa. Tapi, "kami berteriak sampai kehausan, tak mempan juga," tuturnya. Gereja di kawasan pasar itu sudah berdiri dua tahun tanpa IMB. Di depan gereja, dipisahkan oleh jalan kampung selebar dua meter, berdiri sebuah mesjid yang belum rampung pembangunannya. Di belakang gereja berdiri sebuah gedung bioskop. Menurut Yassin, selain gereja belum berizin, kerusuhan itu disulut oleh beredarnya buletin yang penanggungjawabnya adalah Pendeta Davied Hendra dari gereja tersebut, yang isinya dinilai menghina Islam. Sebenarnya, sebelum kerusuhan meledak, sudah ada upaya para ulama Pasuruan menanggapi buletin itu. Yakni dengan mengirim surat pada Pemerintah Daerah Pasuruan agar menindak Pendeta Davied dan gerejanya yang tak berizin itu. Satu atau dua hari sebelum meledak kerusuhan, Davied Hendra, 38 tahun, memang ditahan yang berwajib. Dan salib gereja ditutup dengan kain. Celakanya, bersamaan dengan itu, menurut sumber TEMPO di Departemen Agama, beredar selebaran gelap yang memanas-manasi suasana. Isi selebaran, menurut sumber itu, mengajak umat Islam berkumpul pada 15 November untuk meminta pertanggungjawaban David. Menyimak kasus-kasus itu, terasa bahwa sebenarnya yang terjadi bukanlah murni konflik antaragama. Menurut sumber TEMPO di Departemen Agama itu, misalnya, kasus di Desa Reco Wonosobo disulut oleh selebaran gelap yang sangat provokatif. Hingga kesepakatan bersama yang tercapai menjadi rusak. Juga di Pasuruan, seperti sudah diceritakan, upaya para ulama setempat jadi sia-sia karena munculnya selebaran gelap, yang "menilik kalimat-kalimatnya," kata sumber tersebut, "bukan lazimnya kalimat orang Islam." Provokasi itulah yang kemudian mengaburkan fakta, lalu orang cenderung menggebyah-uyah (menyamaratakan) persoalan. Kasus di Pasuruan, misalnya, Pendeta Davied jelas tak mewakili umat Pantekosta seluruhnya, apalagi umat Kristen seluruhnya. Malah dalam tubuh Pantekosta sendiri Davied pun menjadi persoalan. Menurut Pendeta Jeremia Batubara, ketua Dewan Pantekosta Indonesia Jawa Timur, sudah lama Pendeta Davied Hendra menjadi masalah. Sampai-sampai Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia, yang membawahkan Dewan Pantekosta Indonesia Jawa Timur, membuka sidang, 20 Oktober lalu. Dan putusannya, Davied Hendra, 38 tahun, dipecat dari Pantekosta. Surat pemecatan itu bertanggal 9 November 1992. Kata Pendeta Jeremia, Davied dipecat karena dua hal. Pertama, tak mengindahkan peringatan Dewan Pantekosta Jawa Timur agar tak meneruskan penerbitan buletin El Shaddai. Kedua, Davied tak pernah memenuhi panggilan Dewan Pantekosta Jawa Timur. Singkatnya, "Davied itu sudah membangkang," kata Jeremia. Yang mungkin perlu juga diketahui, Davied belumlah seorang pendeta, tapi baru pendeta muda. Perbedaan nuansa yang ada antara persepsi dan fakta itulah tampaknya yang bisa menyulut kebencian antarumat. Salah satu contoh adalah isu "kristenisasi." Kegiatan kristenisasi, diakui oleh Mgr. M.D. Simorangkir, Sekjen Konperensi Waligereja Indonesia, memang ada. Tapi itu bukan perintah dari induk organisasi, juga bukan program. Sebab, setelah disepakati Konsili Vatikan II di tahun 1960-an, misi mendapat makna baru. "Kewajiban moral pemuka agama Katolik adalah membangun umatnya sendiri," kata uskup Padang ini. Lebih jelas lagi adalah keterangan Franz Magnis Suseno, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Isu "kristenisasi" memang bukan omong kosong, tapi "itu saya kira datang dari beberapa sekte Kristen kecil, yang mempropagandakan iman mereka dengan cara berlebihan," katanya. Menurut Magnis Suseno, "gereja-gereja besar tak berbuat begitu." Contoh yang terjadi belum lama ini di Yogyakarta tampaknya mendukung sinyalemen tersebut. Pekan ini direncanakan dijatuhkan vonis terhadap seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Nazarena. Tertuduh, berusia 26 tahun, didakwa "menjelek-jelekkan agama Islam". Ceritanya, mahasiswa tingkat terakhir itu suatu hari mendatangi suami-istri Mulyono dan Walgiyati, menawarkan pesan-pesan Injil, dan mengajak suami-istri itu untuk memeluk agama yang dianut oleh mahasiswa itu. Meski mengaku hanya "Islam KTP", suami-istri itu menolak. Merasa tak begitu senang dengan ulah mahasiswa tersebut, yang katanya menjelek-jelekkan Islam, suami-istri itu mengatakan yang dialaminya pada suatu acara selamatan di wilayah tempat tinggal mereka. Akibatnya, ketika mahasiswa itu datang lagi, hampir saja dikeroyok penduduk. Ia diselamatkan oleh beberapa orang yang berinisiatif melaporkannya pada Koramil setempat. Dalam suatu sidang, mahasiswa tersebut mencoba membela diri, bahwa yang dilakukannya hanyalah upaya siar agama. Ia membantah telah menjelek-jelakkan Islam. Tapi di sidang, suami-istri yang mencari nafkah sebagai buruh serabutan itu memberikan kesaksian bahwa mahasiswa tersebut antara lain mengatakan, orang Islam kalau mau salat bengak-bengok (teriak-teriak). Kasus yang membuat jaksa menuntut 18 bulan penjara ini menyebabkan adanya isu bahwa sekolah tinggi itu mengharuskan mahasiswanya "mengkristenkan" sejumlah orang, baru bisa lulus. Tentu saja isu itu tidak benar. Kata Kuncoro, ketua sekolah tinggi tersebut, tak ada ketentuan seperti itu di perguruannya. Jadi, kegiatan mahasiswa tersebut mendatangi suami-istri tersebut adalah kegiatan pribadi. Menurut Djohan Effendi, peneliti senior di Departemen Agama, tampaknya "masalahnya itu tak berada di atas, tak di tingkat KWI atau PGI atau MUI." Jadi, diperlukan adanya dialog antarpemuka agama di tingkat bawah. Yakni pemuka agama di kampung-kampung, di desa-desa. Karena, di situlah banyak salah paham sering kali terjadi. Memang, seperti dikatakan Abdurrahman Wahid, ketua PB NU itu, di agama masing-masing ada saja pihak "yang gombal". Tapi cukupkah usul Djohan Effendi itu? Ada usul menarik dari Mudji Sutrisno, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Menurut Mudji, saling curiga antaragama antara lain disebabkan karena sering kasus-kasusnya lalu ditutup-tutupi. Ini justru menimbulkan desas-desus, dan itu tadi, jauh fakta dari kabar yang tersebar. Jadi bagaimana kalau dialog konflik agama pun dibicarakan secara terbuka. Bila disimak, usulan dan gagasan menciptakan kerukunan beragama yang sudah disebutkan, lebih melihat faktor luarnya. Yakni faktor hubungan antarumat beragama. Jarang disinggung, bagaimana kalau masing-masing pihak merenung ke dalam diri sendiri. Kata Djohan Effendi: "Agaknya perlu ditumbuhkan persepsi yang lebih tepat tentang kaitan agama dan manusia ... apakah 'manusia untuk agama', ataukah 'agama untuk manusia'?" Bambang Bujono dan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus