BAGAIMANA Menteri Agama Munawir Sjadzali menanggapi gejala keretakan beragama belakangan ini? Agama serahkan kepada Tuhan, tanah air ini milik kita bersama, jawab Menteri. Berikut petikan wawancara khusus wartawan TEMPO Wahyu Muryadi dengan Munawir Sjadzali, di rumahnya, kompleks Widya Chandra, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Munawir berbaju batik ungu lengan pendek, di pergelangan tangannya melingkar arloji yang bisa mengukur tekanan darah. Ada pertemuan para pemuka agama kemarin di Departemen Agama. Ada yang penting? Itu bukan yang pertama kalinya. Dulu juga ada: sebelum pemilu, menjelang KTT Nonblok. Tentang pertemuan yang kemarin itu, karena akhir-akhir ini memang ada gejala yang menarik karena menyulut kemarahan satu pihak atas pihak lain. Situasi ini memanas setelah ada perkembangan di luar negeri: konflik Bosnia, Mesir, dan India, yang mestinya tak usah bergema di sini. Kan sudah saya katakan, perang di Bosnia itu bukan perang agama. Yang lebih berbahaya, perkelahian antarpelajar di Jakarta baru-baru ini, yang dimasuki unsur SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Berkembang isu bahwa murid sebuah SMA membakar Quran dan murid SMA lainnya membakar Bibel. Untung, pihak keamanan cepat turun tangan. Makanya lantas kami bertemu. Kami menyimpulkan, ekstremisme itu tidak hanya terbatas di kelompok Islam, tapi juga ada di kelompok lain. Maka, kemarin kami sepakat mencela kejadian ini. Kami berpendapat kerukunan beragama itu mutlak diperlukan. Bagaimana menjaga agar potensi konflik antar pemeluk agama itu tak meledak ke luar? Memperkuat kesadaran bahwa kita hidup dalam masyarakat majemuk. Kebebasan mengajarkan agama kepada umat lain agama harus tidak dilakukan. Teori agama memang mengatakan kita harus menyebarkan agama. Tapi kalau tidak ada aturan mainnya, bisa kacau, bisa saling berebut umat. Ini mengganggu stabilitas politik. Mungkin ada cara atau sikap beragama yang salah? Ya kita seharusnya tidak mengabaikan keadaan lingkungan. Saling menghargai dalam kebebasan beragama adalah perlu. Ingat itu Piagam Madinah, kan ada penjelasan tentang hubungan bermasyarakat bagi orang Islam, Yahudi, Arab non-Islam. (Piagam Madinah adalah deklarasi damai antara Nabi Muhammad SAW dan para pemuka agama Yahudi dan Nasrani, dan pemimpin kelompok lain di Madinah.) Bagaimana dengan sikap fanatik? Sikap bahwa agamaku yang paling benar, dan kalian yang salah, maka aku harus menentang kamu, mestinya dijauhkan. Ada pepatah Arab, "Agama itu serahkan Tuhan, tapi tanah air ini milik kita bersama." Nurcholish Madjid menawarkan cara beragama al-hanifiyyat al samhah, yang lapang dan toleran? Saya paham itu. Samhah kan juga tasamuh, toleransi. Artinya, kita punya keyakinan, kita taat, tapi kita juga jangan menolak orang lain yang berkeyakinan lain. Agama kan mengajak pada perdamaian. Sebenarnya konflik keagamaan itu akibat tidak adanya kepercayaan diri, dan watak manusia yang ingin menang sendiri. Padahal, menengok ke sejarah, masuknya agama-agama ke Indonesia sebenarnya tidak melalui bentrok agama, tapi jalan damai. Kalaupun ada bentrok, tidak dalam bentuk yang luas. Bandingkan dengan di India, Islam masuk melalui perang. Dari segi ajaran, bagaimana mengatur toleransi? Kan ada piagam Madinah. Ada lima prinsip, saling menghargai kebebasan beragama. Dan Quran mengizinkan dan meminta kita menerima kesepakatan, tidak ada salahnya toleran. Ada ketentuan pemerintah: dakwah dibenarkan, selama tidak ada usaha untuk mendakwahi orang supaya masuk agama lain. Saya katakan, jangan menanam sayur di kebun orang. Repotnya, esensi agama kan misi? Iya. Makanya lakum dinukum waliyadin (bagiku agamaku, bagimu agamamu). Dalam negara ini ada kebebasan mengajarkan beragama asal tidak dengan cara yang tidak wajar itu: memaksa orang supaya masuk agama lain. Tapi dakwah di Tanah Karo, Sumatera Utara, atau di Kalimantan Tengah, boleh saja itu kan no man land. Tapi kalau kalah, ya jangan marah, apakah dia itu mubalig atau misionaris. Jangan lalu dakwah Kristen di kauman yang daerah santri, itu tidak bisa. Sebaliknya, orang Islam ya jangan dakwah di kalangan Katolik di Timor Timur, misalnya. Itu tidak boleh. Bagaimana Departemen Agama mengantisipasi persoalan dakwah ini? Kami terus memantaunya, bekerja sama dengan instansi pemerintah yang lain. Memang, ada pelanggaran dari semua pihak, karena terlalu bersemangat. Tapi jumlahnya kecil, tak sampai mengakibatkan reputasi agama menjadi jelek. Sebagai perbandingan, taruhlah di Eropa. Di sana perang agama pernah berlangsung beberapa puluh tahun. Makanya banyak orang di sana sekuler, karena ada penindasan agama. Kalau seorang Protestan tinggal di daerah yang dikuasai penguasa Katolik, di Italia misalnya, dia menderita. Sebaliknya di Jerman, orang Katolik yang tinggal di wilayah Protestan harus masuk Protestan. Dan di antara kaum imigran yang pergi ke Amerika, kan tidak semuanya bermotif ekonomi. Ada yang motifnya agama. Mereka ingin mendapat tempat tinggal yang memberi kebebasan mengamalkan ajaran agamanya. Di sini kita tidak pernah mengalami penindasan agama. Di sini agama belum pernah dipakai penguasa untuk menindas rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini