Salawat dan salam atasmu Muhammad... Bulan purnama benderang di atas kita... PLAK-plak-dung, plak-plak-dung. Tetabuhan rebana terdengar lamat-lamat. Dari balik kegelapan, satu per satu santri berkopiah dan bersarung itu berjalan perlahan. Mereka, dengan ketimprung di tangan kiri, duduk bersila membentuk setengah lingkaran. Salah seorang di antaranya, yang tertua, berdiri di tengah. Suaranya yang parau mengalunkan kalimat puja-puji itu untuk Nabi Muhammad saw. Saat masuk ke irama rekby (irama datar), suara itu bagai keletihan. Namun, sontak melengking pada irama hejaz (irama tinggi), sehingga otot-otot leher penabuhnya menegang. Menggetarkan. Lalu, kembali lembut pada nada masyri (irama lembut). Bait demi bait syair dilantunkan. Formasi di pentas menyesuaikan dengan suasana. Itulah cuplikan suasana syahdu saat grup Rebana Lampung Barat tampil mengawali Festival Zikir Rebana di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dua pekan lalu. Selain diikuti grup dari Lampung itu, festival ini diikuti juga oleh kelompok rebana asal Bandung, Jambi, Ujungpandang, Aceh, dan tuan rumah Jakarta. Tampaknya, pro dan kontra pada ritus maulid yang pernah ramai di Indonesia tak sampai mematikan kesenian yang erat kaitannya dengan Islam ini. Itu mungkin karena di berbagai masyarakat Indonesia, ritus maulid tak hanya dikaitkan dengan agama, memperingati hari kelahiran Nabi, tapi juga dipakai untuk "mengkhusyukkan" suasana pernikahan, khitanan, menaiki rumah baru, bahkan panen raya. Syair-syair yang dibacakan dalam ritus maulid umumnya adalah kisah perjalanan hidup Nabi, hingga luwes untuk disajikan dalam berbagai acara. Kisah-kisah itu terekam dalam sejumlah kitab berupa prosa dan puisi, dan diajarkan di berbagai surau dan pesantren, di antaranya kitab Maulid Azab, tulisan Syekh Muhammad Al-Azab, dan yang lebih populer Al-Barzanji. Maka, di Jawa, tradisi ini dikenal sebagai barzanjen. Masyarakat Bugis menyebutnya mabbarazanji. Yang khas di Bugis, lafaz zikir berasal dari tarekat Khalawatiyah, yang hidup di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, sejak tahun 1958. Al-Barzanji sendiri merupakan karya sastra klasik yang ditulis Syekh Ja'far Al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (16901766), yang lahir dan wafat di Madinah, Arab Saudi. Iqd Al-Jawahir (Kalung Permata), nama asli kitab itu, menukilkan riwayat hidup Muhammad, sejak masa kanak, remaja, berusia dewasa, hingga saat menerima risalah Kerasulan. Silsilah keturunan Nabi juga diuraikan, berikut kisah perjuangannya. Belakangan, judulnya disingkat Al-Barzanji lantaran buyut Syekh Ja'far berasal dari Barzinji, di Kurdistan. Seni maulidan ini konon lahir di Irak, 300 tahun setelah Nabi wafat. Perintisnya adalah Malik Muzhaffar Abu Sa'id, penguasa Irak. Naskah awal yang didendangkan diambil dari kitab At- Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An-Nazhir, susunan Al-Hafizh Ibnu Dahiah. Waktu itu, konon, Al-Hafizh mendapat honorarium seribu dinar. Pesta itu sendiri harganya sekitar 300.000 dinar, dan biaya ini ditanggung oleh sultan. Dari sinilah kemudian tradisi ini merebak ke berbagai negeri tetangga. "Perayaan ini sudah biasa diadakan raja-raja Bani Usman (Ottoman), Mesir, Irak, dan India yang beragama Islam," ujar H.M.H. Alhamid Alhusaini, peneliti sejarah Islam. Selain menghibur, tradisi ini dipandang bisa untuk syiar yang menebalkan rasa keimanan. Apalagi, ditandaskan Quran bahwa keutamaan penuturan kisah-kisah ini bisa meneguhkan hati (Surat Hud: 120). Berdasarkan teks Quran itu, sementara ulama menilainya sebagai "sunah yang terpuji". Syekh Muhammad Alwi Al-Maliki, ulama kondang asal Mekah, yang punya banyak murid di Indonesia, dalam bukunya Dzaka-irul Muhammadiyah (Perbendaharaan Muhammadi) bahkan memperjuangan pentingnya perayaan ini. Berbeda dengan di beberapa negara lain, di Arab Saudi, sejak penguasa memeluk paham Wahabi, segala ritus keagamaan yang sampingan digusur. Maka, Syekh Abdullah bin Sulaiman bin Mani', mufti dan anggota Badan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi kala itu, lewat bukunya Hiwar ma'al Maliki (Diskusi dengan Maliki), menuduh Al-Maliki berusaha mengultuskan Nabi. Perbuatan ini, menurut Syekh Mani', dekat dengan menyekutukan Allah, dan karena itu, "termasuk syirik terbesar." Di Indonesia, kontroversi atas tradisi ini sempat menjadi polemik panjang, terutama menyangkut dalil bahwa khalayak diminta berdiri saat syair maulid itu dikumandangkan. Sejumlah tokoh angkat bicara: pro dan kontra mencuat dalam majalah Panji Masyarakat pada tahun itu, tahun 1983. Namun, lantaran sudah mengakar kuat, kebiasaan ini terus bergulir. Malah, banyak sudah kitab maulid yang diterjemahkan dalam berbagai versi, di antaranya karya Syekh Nawawi Al- Bantani (18131897), yakni kitab Madarij As-Su'ud ila iktisa Al- Burud (Jalan Naik untuk Dapat Memakai Kain yang Bagus). Tampaknya, ada sejumlah pemeluk Islam yang membutuhkan lebih dari sekadar ajaran yang lugas dan berisi hukum-hukum. Mereka pun membutuhkan perayaan, menyanyikan hal-hal yang diyakini sebagai kebenaran yang indah. Inilah yang menghidupi ritus maulid. Coba dengarkan nyanyian selawat itu, kor yang bersahutan, naik-turun, seiring dengan gemeretak bunyi ketimprung. Lalu, tubuh-tubuh berkemeja putih itu sesekali meliuk ke kanan dan kiri. Mereka pun larut dalam zikir berkepanjangan ....Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini