Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Surat natal dari istiqlal

Empat pemimpin lembaga islam menulis surat imbauan tentang menghadiri perayaan natal. kata menteri agama, itu sah-sah saja asalkan tak meresahkan umat.

1 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Masjid Istiqlal, ada kejutan menjelang Natal. Empat tokoh puncak ormas Islam meneken surat pernyataan: haram mengikuti ritus kaum Nasrani itu. Mereka adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Hasan Basri, Rais Am PB Nahdlatul Ulama K.H. Ilyas Ruchiyat, Ketua PP Muhammadiyah K.H. Ahmad Azhar Basyir, dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Anwar Harjono. Di masjid termegah di Indonesia itu, tempat MUI berkantor, surat tersebut diteken Selasa pekan lalu. Surat tertanggal 21 Desember itu hanya dua lembar, memang. Tak ada kutipan dalil Quran dan hadis. Kendati tak bisa dibilang fatwa seperti yang pernah diputuskan MUI 12 tahun silam, ditilik dari figur para penekennya itu, agaknya surat ini mendesak dibikin. "Ini memang perkara serius dan fundamental karena menyangkut akidah umat," ujar Hasan Basri, sponsor terbitnya surat itu. Dalam ajaran Islam, akidah memang menjadi ukuran mutlak bagi muslim tidaknya seseorang. Setelah dibuka dengan ucapan basmalah, surat lantas menyorot pandangan para ulama beken itu terhadap perayaan Natal. Mereka sepenuhnya memahami bahwa ritus itu "merupakan hak dan kewajiban pemeluk Kristen dan Protestan" dalam menjalankan ajaran agamanya. Selain menyorot masalah keagamaan, mereka tak lupa menyinggung soal keprihatinan sosial dan upaya menolong orang miskin, yang kini sedang digalakkan Pemerintah. Singgungan ini, agaknya, dalam kaitan gebyarnya pesta Natal yang mereka pandang dirayakan sementara pihak terlalu mewah. "Kalau dibiarkan, ini bisa menimbulkan gejolak sosial," Kiai Hasan Basri menjelaskan alasannya. Sampai di sini tak jadi soal. Sebab, para pemimpin Kristen sendiri banyak yang menganjurkan agar peringatan Natal dilakukan dengan sederhana. Yang agak dirasakan sumbang, adanya "imbauan" dan "harapan" khusus untuk umat Islam, yakni mengingatkan agar kaum muslimin tetap berpegang pada fatwa Natal MUI yang diputuskan pada 7 Maret 1981 silam. Fatwa itu intinya mengharamkan umat Islam ikut hadir dalam perayaan Natal. Waktu itu, fatwa diteken oleh K.H. Syukri Ghozali sebagai Ketua Komisi Fatwa dan Mas'udi sebagai sekretaris. Waktu itu, fatwa yang diputuskan diam-diam itu sempat membuat heboh, setelah tersiar lewat Buletin Majelis Ulama. Maklum, saat itu Pemerintah tengah gencar meluncurkan program kerukunan antarumat beragama. Maka, sekitar satu setengah bulan setelah fatwa itu diteken, Hamka, selaku Ketua Umum MUI Pusat, mencabut fatwa Komisi Fatwa itu. Ulama bersuara lembut ini lantas menerbitkan "fatwa" baru, berupa surat keputusan, yang lebih lunak. Surat Hamka itu menyebutkan, pada dasarnya menghadiri perayaan antaragama adalah wajar "kecuali yang bersifat per- ibadatan, misalnya misa, kebaktian, dan semacamnya." Hamka sendiri mengakui, "Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaitan" (TEMPO, Nasional, 30 Mei 1981). Dan yang waktu itu menjadi pembicaraan, sekitar tiga pekan setelah pencabutan fatwa, Hamka mengundurkan diri dari MUI. Kepada pers, ulama ini mengatakan sebabnya, ya, soal fatwa 7 Maret itu. Tapi semua itu memang ada latar belakangnya. Fatwa MUI 7 Maret sebenarnya bukan konsumsi umum. Fatwa itu sebenarnya semacam usulan yang diminta oleh Departemen Agama, yang akan diolah kembali dan disusun petunjuk pelaksanaannya. Tapi, itu tadi, keburu bocor. Kini, mengapa hal yang menjadi pembicaraan dan menyebabkan mundurnya Hamka itu dimunculkan kembali? "Surat itu diteken setelah diubah berulang-ulang," kata Kiai Hasan Basri. Mereka, keempat tokoh yang menandatangani surat itu, melakukan rapat selama enam jam sebelum sepakat. Menurut Rais Am NU Kiai Ilyas Ruchiyat, surat dimunculkan kembali karena "mungkin saja umat ada yang lupa atau belum tahu." Di samping itu, kata Hasan Basri, yang dibenarkan oleh Kiai Azhar Basyir, surat ini tak bisa dilepaskan dari peran mereka selaku imam yang menjaga akidah makmum atau umatnya. "Ibarat imam, kami hanya mengingatkan agar makmum tak berantakan," katanya. Berantakan? Kiai Hasan Basri menunjuk gencarnya publisitas tentang Natal belakangan ini, yang mengaburkan umat, yang bisa menyerempet akidah. "Akibatnya, umat terkepung dengan suasana itu," katanya. Repot. Sudah lazim dalam pergaulan di Indonesia, seorang ketua rukun tetangga, misalnya, diundang juga dalam perayaan Natal di kampungnya meski ia, misalnya, muslim. Bagaimana pula dengan para pejabat pemerintah yang mestinya tak bisa mengelak muncul dalam perayaan Natal di instansinya? Sebab, batasan yang dulu diberikan oleh almarhum Hamka ternyata tak cukup. Yakni, boleh hadir dalam pestanya, dalam seremonialnya, tapi jangan ikut dalam ibadatnya. Tak semua sepakat bahwa dalam perayaan Natal, hal-hal yang disebut pembukaan pesta, sambutan, hiburan, dan ramah-tamah adalah seremonial, sedangkan menyalakan lilin, menyanyikan lagu-lagu Natal, berdoa, dan membaca Injil adalah ibadatnya. Ada yang bilang, antara seremonial dan ibadatnya sulit dipisahkan. Baiklah didengar pendapat Menteri Agama Tarmizi Taher tentang surat ini. "Itu hak ulama untuk menjaga umatnya, dan sah-sah saja," katanya. Tapi ia pun berharap, surat itu bisa mencegah keresahan umat, bukan sebaliknya. Apalagi kalau ada batasan yang jelas, mana yang ibadat, mana yang bukan. WM (Jakarta), Asikin (Bandung), R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus