Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun lalu, setiap melintas di Jalan Raya Kebonagung, Mulyono, 39 tahun, membatin, "Wah, ada pusat belanja baru." Ia terkesima melihat gedung mentereng berlantai empat di perbatasan Kota dan Kabupaten Malang tersebut.
Padahal yang dilihat warga Malang ini adalah kantor baru Pabrik Gula Kebon Agung. Gedung yang diresmikan April lalu itu merupakan bagian program pengembangan pabrik berusia 107 tahun ini agar bisa bangkit lagi. Sekitar Rp 350 miliar dana tabungan perusahaan dipakai untuk mereformasi Kebon Agung, dan Rp 150 miliar lagi untuk meremajakan saudara tuanya, Pabrik Gula Trangkil, di Pati, Jawa Tengah.
Maka kompleks pabrik tidak lagi terlihat uzur dan angker. "Kami memang ingin menghapus kesan seperti itu," kata Ary Wahjoedi, wakil pemimpin Kebon Agung. Tentu bukan bangunan saja yang dipoles, karena tujuan utama pembaruan adalah menggenjot produksi gula.
Revitalisasi dimulai dengan menggandeng Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia Pasuruan, untuk pengembangan tanaman tebu. Disusul peningkatan kinerja dengan membeli puluhan mesin mutakhir, termasuk ketel uap berkapasitas 200 ton per jam. Emplasemen—tempat bongkar-muat tebu—diperluas hingga bisa menampung 1.800 truk tebu.
Tidak perlu waktu lama untuk melihat hasilnya. Sementara sebelumnya produksi gula 49 ribu ton per tahun, pada tahun pertama program sudah naik menjadi 83 ribu ton. Rendaman tebu yang semula 5,79 persen, naik menjadi 7,43 persen. Keberhasilan ini membuat Kebon Agung menaikkan target produksi menjadi 114 ribu ton tahun ini.
"Kami optimistis, jika ditambah dengan produksi PG Trangkil, total produksi kami bisa 170 ribu ton per tahun," ujar Ary. Apalagi ketersediaan lahan masih cukup banyak. Di Malang saja, potensi lahan bisa mencapai 22 ribu hektare atau setara dengan 1,8 juta ton tebu.
Solusi peningkatan kinerja Kebon Agung terbilang murah dibanding membangun pabrik gula baru berkapasitas giling 7.000 ton tebu per hari, yang membutuhkan dana Rp 1,5 triliun.
Kebon Agung kini bermitra dengan 3.500 petani, yang masing-masing memiliki lahan seluas 0,5-40 hektare. Kebun tebu Kebon Agung sendiri hanya 145 hektare dari 18 ribu hektare tanaman tebu.
Untuk menjaga loyalitas petani, kata Ary, mereka menerapkan pola kemitraan berbasis pembinaan teknologi dan peningkatan pendapatan petani. Biasanya pabrik gula memberi dana talangan, Kebon Agung justru memberi subsidi saat produksi atau harga gula sedang jelek. Tujuannya agar petani tak rugi sehingga malas menanam tebu lagi. Selain itu, menurut Dwi Irianto, petani dari Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, pabrik menyediakan pupuk dan tempat lelang gula, yang digelar setiap 10 hari.
Pabrik Gula Ngadiredjo di Kediri juga kembali bugar setelah direvitalisasi. Menurut administratornya, Budi Adi Prabowo, pada 2008 laba perusahaan negara ini Rp 13,5 miliar, dan sekarang sudah Rp 121 miliar. "Kami optimistis perolehan tahun ini bisa Rp 150 miliar," katanya.
Ngadiredjo juga melakukan diversifikasi usaha. Mereka kini menjadi pemasok Perusahaan Listrik Negara, setelah berhasil mengolah ampas tebu menjadi sumber energi listrik sebesar 7 megawatt. Sebanyak 6 megawatt dipakai untuk operasional pabrik, sisanya dijual ke PLN.
PT Perkebunan Nusantara X, yang membawahkan 11 pabrik gula di Jawa Timur, yakin bisa meraup keuntungan Rp 500 miliar tahun ini. "Situasinya sedang bagus," kata Direktur Utama PTPN X Subiyono. Yang terpenting, target swasembada gula pada 2014 tercapai. Syukur-syukur kita bisa kembali mengekspor gula seperti ketika masih dijajah Belanda.
Hayati Maulana Nur, Abdi Purnomo (Malang), Hari Tri Wasono (Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo