Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA karyawan berpakaian rapi tampak hilir-mudik ke ruangan Fauzi Priambodo di lantai sembilan gedung Graha Pena, Jalan Basuki Rahmat, Surabaya, Selasa siang pekan lalu. Satu karyawan menyodorkan berkas, yang lain datang meminta paraf. Fauzi, sang pemilik perusahaan pemasaran Teamwork Corporation, tampak memelototi lembar demi lembar dokumen yang disodorkan sebelum membubuhkan tanda tangan.
Pada usia 38 tahun, Fauzi memiliki bisnis yang mungkin tak biasa digeluti mereka yang pernah lama di pesantren—ia nyantri mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Pesantren Al-Islah, Trowulan, Mojokerto.
Cholid Mustafa, 48 tahun, pengusaha kakao dari Blitar, dan Bambang Heriyanto, 28 tahun, direktur utama yayasan yang bergerak di jasa penyediaan daging, juga punya kemiripan nasib dengan Fauzi: berusia relatif muda, dari kalangan kaum sarungan, dan memimpin bisnis beromzet miliaran rupiah.
Bisnis utama Teamwork Corporation adalah pengembangan merek, yang antara lain meliputi komunikasi pemasaran dan survei. Sebagai perusahaan pemoles citra perusahaan, ia melayani berbagai macam order, mulai konsultasi, menciptakan tagline produk, membuat konsep iklan, dan meneliti pangsa pasar sebuah produk. Kliennya beragam, dari perusahaan obat hingga calon kepala daerah. Tagline TV9 milik Nahdlatul Ulama Jawa Timur, "Santun Menyejukkan", adalah salah satu kreasinya.
Berapa tarifnya? Untuk jasa iklan secara paket, yakni mulai melakukan survei pasar, merancang bentuk iklan, membuat baliho dan neon box, sampai pemotretan ataupun syuting model iklan, tarifnya Rp 6-10 miliar. Biaya itu sudah termasuk kegiatan promosi. Sistem paket seperti ini pernah diterapkan Teamwork saat memoles citra salah seorang calon Gubernur Jawa Timur, empat tahun silam. Bila sebatas menyusun konsep, tarifnya lebih murah: Rp 500 juta-Rp 1 miliar.
Sementara klien Fauzi sebagian besar perusahaan, bisnis Cholid langsung dengan petani. Melalui Koperasi Guyub Santoso, Cholid bisa menghimpun petani kakao yang kini memiliki total lahan sekitar 4.000 hektare di Blitar dan di kota sekitar. Koperasi itu bisa menyuplai 15 ton biji kakao setiap hari untuk para petani.
Koperasi dirintis pada 2007 dengan niat awal mencari terobosan dalam menjual kakao. Jika menjualnya ke pasar Malang, harga yang ia dapat Rp 9.000 per kilogram. Cholid mendapatkan informasi harga kakao bisa Rp 15-16 ribu per kilogram jika dijual ke perusahaan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Tentu saja jumlahnya harus berskala besar. Untuk itulah ia membentuk kelompok tani, yang kemudian berhimpun di koperasi. Pada penjualan pertama, Cholid mengirim 1,5 ton kakao ke pelabuhan.
Sedangkan Bambang sukses menjalankan bisnis milik Yayasan Nurul Hayat sehingga kini menaungi beberapa unit usaha, seperti layanan kambing akikah, hewan kurban, katering, kelompok bimbingan ibadah haji dan umrah, percetakan, pengobatan herbal, serta apotek. Tugas utama yayasan adalah mengurusi pesantren yatim Anak Sholeh dan kampus kewirausahaan penghafal Al-Quran.
Bambang mengendalikan bisnis itu dari kantor dua lantai di Perumahan IKIP B-48 Gununganyar, Surabaya. Dengan modal awal Rp 6 juta, kini omzetnya menjadi miliaran rupiah serta kantor beranak-pinak di sejumlah kota di Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jakarta. "Setahun kami memotong 27 ribu kambing (akikah)," katanya.
Tiga usahawan santri itu memiliki sejarah berbeda sebelum menjadi bos perusahaan. Fauzi pernah menjadi Direktur Kreatif Ogilvy, perusahaan periklanan Amerika Serikat, di Jakarta. Saat ayahnya meninggal, ia pulang ke Mojokerto untuk menemani sang ibu. Di sini, sarjana desain komunikasi interior dari universitas swasta itu tak bisa menemukan pekerjaan yang tepat. Awal 2000, ia pergi ke Surabaya dan membuka bisnis konsultan periklanan K-No pada 2005. Dua tahun berselang, namanya diubah menjadi Teamwork Corporation. Karyawannya kini sudah 40 orang.
Sebelum memimpin Yayasan Nurul Hayat, Bambang awalnya pengurus panti asuhan Nurul Hayat dan mengajar anak asuh yang saat itu baru tiga orang—saat ini memiliki 40 anak asuh. Cekaknya dana operasional karena minimnya donatur membuatnya putar otak. Lalu muncullah ide Bambang membuka usaha pengadaan kambing akikah siap saji itu.
Adapun inspirasi Cholid berbeda. Ia sempat menganggur setelah belajar empat tahun di pondok pesantren tsalafi Al-Falah, Ploso, Kediri. Awalnya dia mencoba peruntungan dengan beternak ayam petelur. Tapi wabah flu burung pada 2003 meludeskan 5.000 ayamnya. Pada saat bersamaan, dia harus membiayai operasi usus buntunya.
Dalam sakit, Cholid putar otak. Inspirasi itu akhirnya datang saat ia melihat ayah mertuanya memanen biji kakao di halaman belakang. Kakao itu ditanam ayahnya dua tahun silam, hanya untuk mengisi lahan kosong. Saat kakao hendak dijual ke pasar, ternyata tak ada yang mau membelinya. Cholid lantas mendatangi kantor PT Perkebunan Nusantara di Blitar dan mendapatkan informasi soal pengumpul kakao di Sumber Pucung, Malang.
"Dalam kondisi masih sakit seusai operasi, saya membonceng satu sak kakao ke Malang," kata Cholid, mengenang. Ia mengantongi uang Rp 800 ribu dari penjualan itu, yang ternyata menjadi awal dari bisnis besarnya.
Karena pernah lama nyantri, mereka bertiga berbisnis dengan tetap menerapkan prinsip agama. Fauzi menerapkan spiritual marketing. Ia tak selalu melayani yang punya banyak uang. "Percaya atau tidak, klien saya datang sendiri tanpa saya harus promosi," ujarnya.
Sedangkan Heriyanto menyadari pentingnya prinsip amanah dan melayani, selain profesional dan mandiri. "Filosofi hidup saya bekerja keras dan bersyukur," kata pria yang mengaku jalan hidupnya dipengaruhi buku Berpikir dan Berjiwa Besar-nya D.J. Schwartz dan Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain-nya Dale Carnegie ini.
Resep penting Cholid adalah menerapkan prinsip keterbukaan dan tak melupakan ibadah. Anggota koperasinya dilatih dan dikenalkan pada Internet agar mengikuti perkembangan harga kakao dunia. Ia juga meminta para pekerjanya berhenti bekerja saat azan terdengar, untuk salat berjemaah. Kata Cholid, "Ketaatan beribadah berdampak pada integritas pekerjaan."
Kukuh S. Wibowo, Hari Tri Wason
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo