Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alasan Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan Laporkan Seluruh Komisioner KPU ke DKPP

Selain Hasyim Asya'ri, komisioner KPU lainnya juga dilaporkan ke DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik yang sama.

22 Juni 2024 | 10.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Logo KPU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melaporkan seluruh komisioner Komisi Pemilihan Umum atau KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP atas dugaan pelanggaran etik berat. Apa alasannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Koalisi menganggap seluruh anggota KPU RI periode 2022-2027 melanggar kewajiban hukum dan etika karena tidak mengakomodir paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada daftar bakal calon legislatif di Pemilu DPR dan DPRD Tahun 2024,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati yang menjadi salah satu pelapor melalui keterangan tertulis, Jumat, 21 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KPU diketahui menggunakan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 sebagai acuan pemenuhan keterwakilan perempuan 30 persen dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024. Dalam peraturan tersebut, KPU disebut melakukan pembulatan ke bawah jika hitungan jumlah 30 persen calon legislatif perempuan memunculkan angka desimal.

Padahal, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan pembulatan terhadap jumlah calon legislatif perempuan seharusnya dilakukan ke atas, bukan ke bawah.

Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 itu pun sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap setelah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA Nomor 24/HUM/2023 memerintahkan KPU untuk merevisi peraturan tersebut.

Mike mengatakan, KPU dinilai mengabaikan putusan MA hingga akhirnya Pemilu 2024 berlangsung pada 14 Februari lalu.

“Parahnya lagi, pengabaian hukum oleh seluruh anggota KPU tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan melanggar perintah putusan Mahkamah Agung,” ucap Mike.

Mike mengungkapkan, KPU sejatinya sudah pernah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu karena tidak kunjung merevisi peraturan keterwakilan perempuan sesuai putusan MA. Laporan itu disampaikan ke Bawaslu sebelum pelaksanaan pemungutan suara.

Ketika itu, Bawaslu menyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran administratif karena tidak menindaklanjuti Putusan MA. Namun, KPU tetap tidak mengindahkan putusan yang tertuang dalam Putusan Bawaslu Nomor 10/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XO/2023 itu.

Mike juga menyebutkan, ketua dan para anggota KPU sudah pernah dijatuhi sanksi etik oleh DKPP melalui Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023.

“Alih-alih berbenah diri, KPU justru membiarkan Pemilu DPR dan DPRD Tahun 2024 berjalan dengan tidak sesuai ketentuan konstitusi," ujarnya.

Sejumlah regulasi diduga diabaikan, seperti CEDAW (Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita), Undang-undang Pemilu, putusan MA, dan putusan Bawaslu.

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Hasyim Asy'ari sebagai ketua dan anggota KPU periode 2022-2027. “Serta pemberhentian tetap terhadap Idham Holik dan Mochammad Afifuddin sebagai anggota KPU RI periode 2022-2027,” ujar Mike.

Koalisi juga meminta DKPP untuk menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada komisioner KPU lainnya yakni Yulianto Sudrajat, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, dan August Mellaz selaku anggota KPU RI periode 2022-2027.

Koalisi pun meminta pengaduan mereka diprioritaskan agar Pilkada 2024 nanti dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang tidak bermasalah secara etik dan hukum.

Selanjutnya: Respons KPU

Respons KPU

Komisioner KPU Idham Kholik mengatakan, laporan atas hal yang sama pernah disampaikan ke DKPP sebelum ini.

“Dahulu KPU pernah dilaporkan terkait dugaan pelanggaran etik yang sama yaitu perihal affirmative action dan DKPP telah membacakan putusannya,” kata Idham melalui pesan singkat pada Jumat malam, 21 Juni 2024, seperti dikutip dari Tempo.

Diketahui, DKPP sebelumnya pernah menerima laporan soal keterwakilan perempuan sebelum Pemilu dilaksanakan pada 14 Februari lalu. Ketika itu, DKPP menjatuhkan sanksi berupa teguran keras kepada seluruh komisioner KPU karena mengabaikan kewajiban afirmatif untuk calon legislatif perempuan.

Maka dari itu, Idham menganggap, laporan dugaan pelanggaran etik yang sama ke DKPP dapat terkategori sebagai ne bis in idem. Asas hukum tersebut melarang terdakwa untuk diadili lebih dari satu kali atas satu perkara yang sama jika sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. 

Idham pun menyatakan, KPU berharap DKPP bisa menolak aduan dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan.

“Oleh karena itu, saya berharap pelaporan tersebut dapat dinyatakan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard),” ucap Idham. Diketahui, putusan NO merupakan putusan yang menyatakan gugatan tidak bisa diterima karena alasan cacat formil.

Namun, Idham mengklaim KPU memegang prinsip berkepastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dalam Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017. Contohnya, kata dia, adalah sikap KPU yang langsung menindaklanjuti putusan sengketa Pemilu dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Dia mengirimkan bukti surat dinas dari KPU tentang pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Gorontalo. PSU tersebut sebelumnya diamanatkan dalam sidang sengketa Pemilu 2024 melalui Putusan MK Nomor 125-01-08-19/PHPU.DPR.DPRD-XXII/2024.

“Surat Dinas yang diterbitkan oleh KPU RI tersebut sebagai bukti tindak lanjut Putusan MK,” kata Idham.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus