Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Albert Manoempak Sipahoetar atau dikenal dengan AM Sipahoetar adalah jurnalias asal Indonesia dan salah seorang pendiri kantor berita nasional Antara. Sipahoetar lahir di Tarutung, Tapanuli pada 26 Agustus 1914. Sejak muda Sipahoetar sudah terjun dalam dunia jurnalistik dan tercatat sudah memimpin dua kantor berita pada usia 20 tahun.
AM Sipahoetar adalah seorang nasionalis yang memiliki ketertarikan terhadap jurnalistik dan bersama dengan Adam Malik, ia mendirikan cabang Partai Indonesia (Partindo) di Pematang Siantar pada 1932. Selain itu, ia juga mendirikan majalah Sinar Marhaen dan memimpin harian Zaman Kita bersama dengan Arif Lubis.
Majalah dan harian yang dipimpin oleh Sipahoetar ditutup pada 1934 dan Sipahoetar didapuk untuk menjadi koresponden bagi Pewarta Deli yang berpusat di Medan. Sipahoetar tidak puas dengan posisi tersebut dan ia mengikuti jejak Adam Malik untuk hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, Sipahoetar banyak terlibat dalam gerakan nasionalis bawah tanah. Sipahoetar juga mendapatkan pekerjaan di biro iklan Arta yang dimiliki seorang pebisnis Belanda.
Dikutip dari buku Jagat Wartawan Indonesia karangan Soebagijo, saat bekerja di Arta, Sipahoetar menulis artikel-artikel yang berkaitan dengan polisi dan kejahatan bagi sejumlah koran lokal, salah satunya adalah Tjaja Timoer. Tulisan-tulisan Sipahoetar membuat pimpinan Tjaja Timoer Soemanang Soerjowinoto tertarik untuk berkolaborasi dengan Sipahoetar.
Saat itu, mereka berdua tidak senang melihat kantor berita yang hanya memberi sedikit ruang bagi kantor berita lokal dan setelah melalui persiapan beberapa bulan, kantor berita Antara resmi didirikan pada 13 Desember 1937.
Soemanang didapuk menjadi pemimpin redaksi Antara dan Sipahoetar menjadi redaktur senior bersama Adam Malik. Setelah Soemanang meninggalkan Antara pada 1938, Sipahoetar dipromosikan menjadi redaktur pelaksana. Pada 1939, Sipahoetar menderita penyakit paru-paru dan membuatnya harus pulang ke Sumatera untuk beristirahat. Jabatannya di Antara digantikan sementara oleh Alwi Soetan Osman dan kemudian digantikan Pandoe Kartawigoena.
Sipahoetar memutuskan untuk kembali ke Jakarta setalah ia merasa bahwa kondisinya sudah membaik. Saat itu, ia masih tetap aktif dalam dunia politik dan terus menulis bagi banyak surat kabar. Karena aktivitas politiknya dianggap membahayakan, Sipahoetar ditangkap oleh Pemerintah Kolonial dan ditahan di Sukabumi dan kemudian dipindah ke Nusakambangan.
Kedatangan Jepang di Indonesia membuat Sipahoetar dibebaskan dan ia bisa kembali ke Jakarta serta ia memutuskan untuk membuka lagi Kantor Berita Antara. Namun, pemerintah pendudukan Jepang meminta Antara untuk dilikuidasi dan akhirnya Antara berganti nama menjadi Yashima pada 29 Mei dan digabung ke Domei Tsuhin.
Sipahoetar juga menulis biografi pendek tentang tokoh-tokoh nasionalis, seperti Soekarno, Sartono, dan Mohammad Hatta. Sipahoetar meinggalkan Domei Tsuhin karena penyakitnya kambuh lagi. Kemudian, ia pergi ke Sukabumi untuk beristirahat dan pada 1947 ia menikah. Pada 1947, Sipahoetar memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta dan menghabiskan sisa hidupnya di daerah Pakem dan ia meninggal dunia pada 5 Januari 1948 di Pakem, Sleman.
Jasad Sipahoetar dimakamkan di Yogyakarta dan pemakaman Sipahoetar dihadiri tokoh-tokoh nasional. Kemudian, pada 1978, jasad Sipahoetar dipindahkan ke TPU Tanah Kusir, Jakarta.
EIBEN HEIZIER
Baca: Peran Sultan Hamengku Buwini IX Saat Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini