Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Jalan Transpuan di Rumah Tuhan

Agama kerap dipakai sebagai alasan persekusi terhadap transpuan dan kaum LGBT di Indonesia. Namun, menurut riset Sharyn Graham Davies, Direktur Indonesian Engagement Center di Monash University, Australia, agama juga bisa menjadi sumber toleransi bagi kaum marginal tersebut.

19 Desember 2022 | 00.00 WIB

Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede, Yogyakarta, Shinta Ratri di depan foto pameran untuk memperingati Hari Transgender Sedunia, 15 November 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Perbesar
Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede, Yogyakarta, Shinta Ratri di depan foto pameran untuk memperingati Hari Transgender Sedunia, 15 November 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Shinta Ratri, transgender perempuan asal Indonesia, di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang didirikannya pada 2008, mengajarkan bahwa Tuhan tidak peduli kamu gay atau transgender.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Berlokasi di Yogyakarta, pesantren tersebut telah memberikan tempat yang aman bagi para transgender di negara yang menganggap bahwa agama dan transgender saling bertentangan ini. Meskipun Indonesia telah bertransisi menjadi negara demokrasi sekuler sejak 1998, semua warga negara masih wajib membawa kartu identitas (KTP) yang secara jelas mencantumkan apa agamanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Indonesia telah menandatangani Deklarasi Beijing 1995, yang mengamanatkan "tanggung jawab untuk mendukung, melindungi, serta memenuhi hak warga negara atas kesehatan seksual dan reproduksi".

Namun hanya ada sedikit aturan hukum yang bisa melindungi komunitas LGBT. Di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini, pandangan agama yang fundamentalis sering kali mendorong diskriminasi terhadap komunitas transgender.

Saya mencoba menelaah hubungan antara negara, gender, seksualitas, dan agama di Indonesia selama lebih dari dua dekade. Saya menemukan bahwa keimanan bisa menjadi sumber penghiburan dan dukungan bagi banyak transgender.

Sejarah Komunitas Trans yang Panjang

Banyak orang di Indonesia, dan di mana pun, yakin gagasan mengenai gender dan keragaman seksual masuk ke Nusantara melalui pengaruh Barat. Padahal sebagian wilayah di Indonesia, seperti Pulau Sulawesi, telah menjadi rumah bagi komunitas transgender setidaknya sejak 1500-an.

Dalam kurun waktu itu, para misionaris dan utusan perdagangan yang melakukan perjalanan ke wilayah tersebut mencatat dalam jurnal pribadi mereka mengenai aspek masyarakat di sana yang— menurut mereka—luar biasa, yakni orang-orang dengan bentuk tubuh lelaki tapi bertingkah seperti perempuan.

Anggota Komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) melakukan aksi damai di Jakarta. Dok Tempo/Eko Siswono Toyudho

Pelancong asal Eropa, Antonio de Paiva, menuliskan dalam suratnya pada 1544 bahwa ada sebuah kelompok yang disebut bissu, yang dianggap sakral pada zaman kerajaan, dan mereka "tidak menumbuhkan jenggot, berpakaian seperti perempuan, serta cenderung bersikap bak perempuan". Sebagai sosok dengan tingkat keagamaan tertinggi, bissu dianggap sebagai penasihat, penyelenggara pernikahan, dan menjadi perantara keluarga kerajaan dengan para dewa.

Selain itu, bahasa Indonesia memiliki beberapa istilah kata untuk mendeskripsikan transgender, yaitu banci, bencong, wadam, dan waria. Beberapa istilah tersebut, seperti wadam dan waria, merupakan gabungan kata. Kata wadam adalah kependekan dari "wanita dan Adam", sementara waria merupakan akronim dari "wanita dan pria".

Tiga istilah pertama yang disebutkan di atas biasanya dianggap penghinaan atau ejekan. Belakangan, mulai muncul istilah yang lebih netral, yaitu transpuan dan transpria. Namun istilah-istilah tersebut menunjukkan adanya peran historis transgender serta eksistensi mereka dalam kehidupan sosial.

Diskriminasi dan Persekusi

Saat ini, Indonesia memang tidak secara resmi mengkriminalkan hubungan seksual sesama jenis. Namun kelompok LGBT kerap mendapat ancaman bahkan sampai ditangkap polisi.

Pada 2008, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Pornografi yang mengkategorikan transgender sebagai perbuatan cabul. Undang-undang ini menyatakan unsur pornografi mencakup gambar, percakapan, dan gerakan tubuh di muka umum yang mengandung tindakan cabul atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Sejak 2016, kelompok garis keras yang menentang keragaman gender dan seksualitas makin kuat. Banyak orang di Indonesia menuntut adanya hukuman yang lebih berat, tidak hanya terhadap hubungan sesama gender, tapi juga terhadap jenis aktivitas seksual pasangan heteroseksual di luar ikatan pernikahan.

Pandemi Covid-19 makin memperparah diskriminasi terhadap komunitas transgender di Indonesia. Sebelum Covid-19 mewabah, misalnya, individu transgender yang membutuhkan akses pengobatan, seperti untuk HIV, bisa mendapatkannya melalui lembaga swadaya masyarakat dan di beberapa tempat ibadah. Namun, selama masa pandemi, akses ke sumber daya medis terbatas sehingga penyediaan obat HIV bagi komunitas transgender tidak lagi menjadi prioritas.

Keimanan sebagai Sumber Dukungan

Banyak agama yang tidak mengakui identitas LGBT. Namun ada beberapa agama yang memberikan ruang untuk keragaman gender dan seksual. Ada banyak contoh di Indonesia masa kini bahwa iman menjadi suatu sumber kenyamanan dan dukungan bagi kaum transgender.

Dalam penelitian etnografi jangka panjangnya, Diego Rodriguez menganalisis kegiatan sehari-hari beberapa queer (istilah untuk individu yang tidak mengikuti gagasan esensial dan biologis mengenai gender dan seksualitas) muslim untuk membuktikan bahwa Islam dan queerness dapat harmonis.

Dia menemukan bahwa Islam terkadang lebih mementingkan pembentukan gagasan mengenai diri individu trans daripada etnisitas, seksualitas, atau gender. Misalnya, beberapa komunitas transgender menafsirkan bahwa iman Islam membuat setiap individu dapat menerima satu sama lain apa adanya.

Masjid Al-Fatah juga berbaur dan terlibat dalam kegiatan agama lain. Misalnya, pada Desember 2021, Al-Fatah menyelenggarakan perayaan Natal bersama transpuan Kristen.

Selain itu, sejak 2019, para pendukung transgender, seperti Global Interfaith Network (GIN), ikut berjuang agar masjid dan tempat ibadah lainnya lebih menerima kaum transgender.

Amar Alfikar, transpria dan peneliti GIN, telah berusaha keras bersama para transpria lainnnya dan muslim feminis queer mendirikan kelompok Indonesian Queer Muslims + Allies, ruang virtual tempat para anggotanya bertemu setiap minggu untuk membaca Al-Qur'an dan mendiskusikan teologi Islam.

Menyediakan ruang virtual seperti ini penting karena umumnya banyak masjid yang memaksa anggota jemaah berpakaian sesuai dengan jenis kelamin biologis yang mereka miliki sejak lahir ketika masuk masjid. Ini membuat laki-laki dan perempuan biasanya memiliki pintu masuk dan ruang salat yang berbeda di masjid.

Indonesia juga sebenarnya merupakan rumah bagi gereja-gereja trans-inklusif. Gereja Bethany di Yogyakarta menerima umat transgender Kristiani setelah melihat bahwa kelompok tersebut kesulitan menemukan tempat untuk beribadah. Sekolah Filsafat Katolik Ledalero di Maumere, kota terbesar kedua di Pulau Flores, juga salah satu contoh gereja trans-inklusif.

Seperti yang dikatakan aktivis Dede Oetomo: "Dalam hukum Indonesia, tidak ada ayat yang mengatakan bahwa hak beribadah hanya dimiliki laki-laki dan perempuan."

Seorang waria bernyanyi saat perayaan Natal Forum Komunikasi Waria di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Ampera, Jakarta, 2018. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Jalan ke Depan

Eksistensi transgender telah membuat banyak alim agama berpikir keras tentang Tuhan mana yang mereka sembah dan agama apa yang menjadi rujukan mereka.

Bissu, yang menggabungkan energi feminin dan maskulin, percaya bahwa identitas inilah yang membantu mereka bisa berdoa dengan efektif. Bissu sering mendoakan mereka yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekah, Arab Saudi.

Ketika memulai penelitian lapangan pada 1990-an, saya pun merasa bahwa ini semua membingungkan. Namun pada akhirnya saya memahami bahwa bagi banyak orang di Indonesia, tidak ada kontradiksi antara Islam dan transgender.

Seperti yang dikatakan seorang bissu kepada saya, "Allah adalah satu-satunya Tuhan, tapi ada banyak cara untuk dekat dengan Tuhan."

Ada enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, agama Hindu yang paling terbuka dengan kelompok transgender. Sebab, Hinduisme meyakini prinsip kesadaran atau atma, filosofi "hidup dan biarkan hidup", serta melakukan karma baik. Melalui kepercayaan ini, individu transgender dapat menemukan pelipur lara.

Bali, wilayah yang lebih dari 90 persen penduduknya menganut agama Hindu, adalah tempat yang paling ramah bagi transgender di Indonesia, walaupun masih juga terdapat transfobia.

Selain itu, seperti yang dikemukakan antropolog Ben Hegarty dalam bukunya The Made-Up State, komunitas transgender di Indonesia menjadi salah satu definisi orang Indonesia, termasuk sebagai warga negara yang beriman.

Secara publik, serta secara individual, menyatukan keimanan dan transgender bukanlah perjalanan yang mudah. Komunitas transgender di Indonesia mengalami trauma terhadap agama dan transfobia. Namun kelompok ini juga mendapati bahwa keimanan mereka adalah sumber kekuatan dan kenyamanan.

---

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus