Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Revisi Dahulu, Bahala Kemudian

Selain melegitimasi omnibus law, revisi UU PPP memuat sejumlah pasal janggal. Bahaya bagi hak publik.

26 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggota DPR RI saat mengikuti rapat paripurna ke-23 masa persidangan V tahun 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 24 Mei 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Revisi UU PPP memuat pasal yang bisa menjadi celah penyimpangan dalam pembuatan undang-undang.

  • Ruang partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang terancam semakin sempit.

  • Senayan menolak rumusan UU PPP dianggap bermasalah.

JAKARTA — Polemik perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (revisi UU PPP) berlanjut. Tak hanya dianggap sebagai akal-akalan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk melegitimasi metode omnibus law, undang-undang hasil revisi ini juga dinilai sarat dengan pasal berbahaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Riset dan Inovasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, menyoroti perubahan Pasal 73. Dewan dan pemerintah menambahkan ketentuan yang memungkinkan dilakukannya perbaikan jika ditemukan kesalahan teknis penulisan pada undang-undang yang telah disahkan DPR dan siap diteken presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Rizky, pasal itu tak perlu ada. Jika hanya ditujukan untuk memperbaiki teknis penulisan, tim sinkronisasi semestinya berperan merapikan dan memastikan tak ada lagi kesalahan penulisan sebelum draf akhir disetujui dalam rapat paripurna.

Ia justru khawatir pasal ini menjadi celah penyimpangan pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan. “Ini berbahaya karena bukan sekali-dua kali hal seperti ini terjadi, terakhir kali UU Cipta Kerja. Sebelumnya banyak kejadian, salah satu yang fenomenal itu UU Kesehatan. Pasal tembakau sebagai zat adiktif sempat hilang, tapi alasannya lupa dicantumkan,” kata Rizky, kemarin, 25 Mei.

Kekhawatiran serupa dilontarkan guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, yang menilai pembahasan revisi UU PPP sembarangan dan terburu-buru. Pasal 73 hasil revisi, kata dia, menunjukkan kesan DPR menormalkan praktik ketidakhati-hatian dalam pembuatan undang-undang. "Pantas saja pembuatannya menjadi ugal-ugalan,” ujar Susi. “Toh, nanti bisa diperbaiki, terus apa artinya dong asas kehati-hatian kalau segala kesalahan nanti bisa diperbaiki.”

Ketua DPR RI Puan Maharani (tengah) dan jajaran Wakil Ketua DPR RI saat memimpin rapat paripurna ke-23 masa persidangan V tahun 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 24 Mei 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Rizky dan Susi pantas khawatir dengan klausul perbaikan tersebut. Sebelumnya, ketika UU Cipta Kerja disetujui dalam rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, publik sempat dibingungkan dengan tak adanya naskah final undang-undang tersebut. Belakangan terungkap banyak pasal dalam draf akhir yang berubah ketika naskah tersebut diserahkan kepada presiden untuk ditandatangani. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat juga mencatat perubahan-perubahan pasal tersebut.

Sejumlah pasal dalam Undang-Undang PPP direvisi, tapi tetap dinilai bermasalah.

Revisi UU PPP sejak awal memang dianggap untuk menutup borok dalam proses pembuatan UU Cipta Kerja. Metode omnibus law kini diatur untuk menjadi dasar hukum baru bagi teknik mengubah atau mencabut sejumlah undang-undang dalam satu peraturan perundang-undangan baru. Setelah mengesahkan revisi UU PPP, Selasa, 24 Mei 2022, DPR kini bersiap mengubah UU Cipta Kerja untuk disesuaikan dengan UU PPP.

Masalahnya, revisi UU PPP juga menyimpan bahaya lainnya. DPR dan pemerintah mengubah penjelasan Pasal 5 huruf g tentang asas keterbukaan dalam pembuatan undang-undang. Makna publik yang dulunya dijelaskan sebagai “seluruh lapisan masyarakat” kini menjadi “yang mempunyai kepentingan dan terkena dampak langsung”. “Ini berpotensi menyempitkan makna masyarakat,” kata Rizky.

Susi juga melihat adanya potensi pembatasan hak partisipasi publik pada Pasal 96 ayat 8 yang menyatakan bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat. Kata “dapat” dalam kalimat itu, menurut dia, menghilangkan hak publik untuk mendapatkan penjelasan yang semestinya juga menjadi kewajiban pembuat undang-undang. “Kami orang hukum memaknai ‘dapat’ itu bisa dilakukan, bisa tidak. Padahal asas ini wajib,” ujar Susi. Ia mengingatkan, dalam pembentukan undang-undang, partisipasi publik harus mencakup tiga hal, yakni hak untuk didengarkan (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), dan hak untuk dijelaskan (right to be explained).

Berbagai pasal yang dianggap bermasalah itu sebenarnya sudah muncul ke publik setelah Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang dibuat pemerintah diserahkan ke DPR. Dalam dokumen DIM, pasal-pasal itu sudah muncul dalam draf awal RUU yang dibuat oleh Badan Keahlian DPR. Selama pembahasan DIM yang dilakukan pemerintah dan Badan Legislasi, praktis tak ada perubahan dalam draf RUU.

Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengklaim bahwa seluruh pasal dalam draf RUU PPP yang dibuat timnya telah melibatkan masyarakat lewat konsultasi publik, termasuk dari kalangan akademikus dan kelompok masyarakat. Penyusunannya dimulai pada November 2021, sesaat setelah MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. “Kami kan lembaga yang berusaha antisipatif. Begitu keluar putusan MK, kami sudah lakukan kajian, kumpulkan data. Tapi kan butuh surat penugasan dari Badan Legislasi,” ujar Inosentius. “Baru awal 2022 kami mulai konsolidasi untuk penyiapan naskah.”

Badan Keahlian mempresentasikan draf awal kepada Badan Legislasi DPR pada sekitar Maret 2022. Sejak saat itu, kata Inosentius, Badan Keahlian tak lagi terlibat dalam pembahasan materi RUU PPP. “Pada akhirnya kan, karena sudah di ranah Badan Legislasi, itu sudah proses politik, di luar kewenangan Badan Keahlian,” ujarnya. “Fraksi kan sikapnya beda-beda. Itu juga inline dengan pemikiran politik di pemerintah juga.”

Inosentius menolak jika pasal-pasal dalam UU PPP dianggap bermasalah. Walau begitu, dia mengakui perubahan pada Pasal 73 sempat menjadi bahan perdebatan di lingkup internal. Inosentius menjamin perbaikan kesalahan tulisan dalam draf undang-undang yang telah disahkan DPR hanya sebatas jika ada kesalahan teknis. “Bentuk koreksinya itu betul-betul teknis. Dalam undang-undang ini, yang dimaksud teknis juga dijelaskan. Supaya tak masuk ke wilayah substansi. Untuk menghindari interpretasi teknis yang merembet ke substansi," kata dia.

Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, juga membantah anggapan bahwa revisi UU PPP bermasalah. Ia mengklaim revisi kali ini telah memperjelas partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. “Revisi undang-undang ini yang akan membuat DPR nanti lebih berhati-hati menyangkut soal aspek transparansi. Semua diatur,” kata Supratman.

*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Egi Adyatama

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus