Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gelombang rombeng vietnam

Jumlah pengungsi Vietnam ke Pulau Galang,makin deras. Ada sekitar 11 ribu pengungsi, tiga kali lipat lebih dari jumlah yang ada akhir 1989 lalu. Fasilitas yang kurang membuat mereka berjejalan.

5 Mei 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG Vietnam telah lama usai. Tapi perahu-perahu kumal, berisi sosok manusia -manusia rombeng, kini malah makin deras membanjiri barak penampungan pengungsi Pulau Galang, Riau. Kini ada sekitar 11 ribu pengungsi eks Vietnam di situ, tiga kali lipat lebih dari jumlah yang ada akhir 1989 lalu. Sebagian dari mereka, "menyeberang ke Galang karena diusir dari Malaysia," ujar seorang petugas UNHCR, badan PBB yang mengurus pengungsi, di Pulau Galang. Sembari menunggu pemberangkatan ke negara tujuan, mereka hidup bak di kampung halaman sendiri. Ada yang bertani, menanam jagung atau sayuran di sekitar barak. Ada yang membuka kedai kopi dan ada pula yang buka praktek reparasi arloji atau radio. "Secara lahiriah, mereka terlihat bahagia dan optimistis," ujar seorang pejabat Riau yang baru meninjau kamp Galang itu. Yang merisaukan adalah kondisi kamp penampungan itu sendiri. Saat ini, "Pulau Galang mestinya tak boleh menampung lebih dari lima ribu pengungsi," ujar seorang petugas di Pusat Penanggulangan Pengungsi Vietnam (P3V) di Pulau Galang. Maklum, sebagian barak pengungsi telah roboh dimakan umur. Pulau Galang pernah menjadi kamp pengungsi besar yang sanggup menampung 40 ribu orang. Tapi itu dulu, 11 tahun lalu, ketika arus pengungsi Vietnam mengalir dalam gelombang-gelombang yang besar. Setelah itu, arus kedatangan "orang-orang perahu", begitu para pengungsi biasa disebut, berangsur surut. Hingga akhir 1989 lalu, di Pulau Galang hanya ada sekitar 3.300 pengungsi. Menyurutnya jumlah pengungsi itu membuat petugas serta anggaran UNHCR yang dipasok ke Pulau Galang pun dipangkas. Alhasil, sebagian barak, yang berdinding papan dan beratap seng, tak terurus dan rusak. Maka, pengungsi yang datang belakangan ini harus berjejal di barak-barak yang masih utuh. Pemerintah Australia, sebagai salah satu donator UNHCR, rupanya cepat tanggap. Bulan lalu, bantuan 1,5 juta dolar Austalia (sekitar Rp 2 milyar) pun disuntikkan bagi pengungsi di Galang. Bantuan ini dimaksudkan, "untuk membangun tempat penampungan bagi 2.000 pengungsi, berikut segala fasilitas sanitasinya," ujar Gareth Evans, Menteri Luar Negeri Australia. Menteri Evans menduga, jumlah 11.000 itu akan terus membengkak. Maka, pihaknya berniat akan terus memberikan bantuan agar Pulau Galang, yang luasnya 175 km2 itu, sanggup menampung 17.000 pengungsi pada kemudian hari. Namun, mengenai bantuan itu, agaknya Fvans tak mau merepotkan Pemerintah RI untuk mengurusnya. "Bantuan itu langsung disalurkan lewat UNHCR," kata sumber TEMPO dari Departemen Luar Negeri di Pejambon. Sumber ini juga mengakui, sebagian penghuni kamp Galang itu muntahan dari Malaysia. Negeri jiran itu memang kini mengambil sikap tegas, menolak "orang-orang perahu" itu. Selama satu tahun terakhir, lebih dari 5.000 pengungsi Vietnam, yang datang dengan sekitar 110 perahu, ditolak masuk Malaysia. Kapal-kapal mereka didorong kembali ke laut. Tampaknya Malaysia mulai kesal dengan arus pengungsi yang tak kunjung habis itu. Maklum, bertahun-tahun Malaysia harus mengurus puluhan ribu tamu tak diundang itu. Maka, para pengungsi kini diperlakukan sebagai imigran gelap yang harus segera diusir. Tak syak lagi, Malaysia dikecam habis oleh PBB. Tapi negeri jiran itu tak kurang kilahnya. "Tindakan itu sama seperti AS mengusir imigran Meksiko," ujar seorang pejabat luar negeri Malaysia. Maka, mengalirlah orang-orang buangan itu ke Pulau Galang. "Karena mereka tak punya pilihan lagi," tutur sumber tersebut. Kejengkelan Malaysia itu memang beralasan. Sebab, mengurus orang-orang perahu itu, selain tak kunjung selesai, juga serba salah. Mereka tak lagi layak dianggap pengungsi, sebab bahaya perang atau ancaman politis sudah tak ada lagi. "Mereka pergi atas dorongan ekonomi semata, mengadu nasib," kata sumber TEMPO. Pelayaran para pengungsi itu, konon, diatur oleh sejumlah sindikat gelap yang banyak terdapat di Vietnam. Sindikat itu beroperasi bak biro pariwisata, mencari peminat, menawarkan jasa, dan menarik bayaran. Lantas, dibawalah para pengungsi ke negara-negara tetangga untuk didamparkan. Tapi untuk ditolak kedatangannya pun sulit. Indonesia, Malaysia, Muangthai, dan Hong Kong, telah telanjur menyediakan diri sebagai First Asylum Countries (FAC), negara yang menerima para pengungsi itu untuk disalurkan ke negara tujuan (resettlement countries). Kesanggupan itu lahir (dengan setengah terpaksa) lewat forum Konperensi Internasional tentang Pengungsi Indocina di Jenewa, 1975. Konperensi serupa diadakan lagi di Jenewa Juni tahun lalu. Pertemuan yang dihadiri 50 delegasi itu akhirnya memutuskan: harus ada proses skrining sebelum memberangkatkan pengungsi itu ke negara tujuannya. Hanya mereka yang dianggap screen in yang boleh meneruskan perjalanannya ke negeri idaman. Yang tak lolos skrining, alias screen out, dikembalikan ke Vietnam. Tapi kesepakatan itu sulit dilaksanakan. Vietnam tak berminat menerima kembali orang-orang perahunya. Alasannya, orang-orang itu telah tak loyal lagi kepada negerinya. Jadi, kalaupun dipaksa kembali ke Vietnam, mereka akan mencari kesempatan lain untuk kabur. Di pihak lain, negara-negara tujuan, seperti Amerika atau Australia, tak mau tahu terhadap nasib mereka yang screen out. Akhirnya, nasib mereka terkatung-katung di tempat penampungan tanpa kepastian. Tak jelas betul, berapa pengungsi yang masuk kategori screen out di Galang. Sementara itu, keputusan Jenewa Juni 1989 itu meniupkan isu tersendiri. Para sindikat memanfaatkannya sebagai alat promosi agar para calon orang perahu cepat mendaftarkan diri untuk melaut, sebelum keputusan itu dilaksanakan. Promosi itulah yang menghasilkan gelombang baru pengungsi Vietnam, belakangan ini. Liston P. Siregar dan Yudhi Suryoatmodjo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus