Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Si Ali sudah boleh pulang

6 orang utan dan 2 Siamang,diduga berasal dari Indonesia akan diselundupkan ke Beograd, Yyugoslavia, tapi gagal. Tertahan di Bangkok dan akan dipulangkan Kkembali ke Indonesia. Harga orang utan mahal.

5 Mei 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI, si Ali sudah sehat. Setiap pagi, dia sudah boleh jalan-jalan di kebun. Siangnya, ia menyantap nasi dengan lauk telur burung puyuh atau hati ayam. Sorenya, dia suka di depan televisi menonton film kartun sembari menikmati biskuit dan es krim. Dan malamnya, Ali minta dikeloni pengasuhnya dan tidur pakai popok. Ali yang satu ini memang tak suka bakmi, apalagi spageti. Ia hanyalah orang utan atau Pongo pygmaeus -- ini nama sebenarnya. Walau Ali tergolong "bangsa monyet", ia sudah berhari-hari "masuk koran". Dialah salah satu dari enam orang utan asal Indonesia -- plus dua ekor siamang -- yang akan diselundupkan ke Beograd, tapi gagal. Ali dan rombongannya "terjebak" di Bangkok, 19 Februari lalu. Kini, kondisi fisik Ali dkk., yang sekarang berada di rumah dua orang pendukung Wildlife Fund Thailand (WFT), menggembirakan. Dua ekor siamang yang dititipkan di Kebun Binatang Dusit, Bangkok, juga sehat walafiat. Mereka sudah siap-siap dipulangkan ke tanah airnya, Indonesia. Ali dkk. akan naik pesawat terbang sebagai penumpang first class. Tadinya bahkan direncanakan dengan pesawat khusus, tapi batal karena sewanya terlalu mahal. Kepastian pulangnya itu dikemukakan Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Ir. Sutisna Wartadipura. "Pemerintah Muangthai kepada Duta Besar RI sudah berjanji akan memulangkan satwa itu. Hanya tinggal tunggu waktu saja," kata Sutisna pada TEMPO. Ali dan temannya tiba di Bandara Don Muang Bangkok dari Singapura dengan pesawat Thai International, 19 Februari malam lalu. Hewan-hewan itu ditempatkan dalam tiga kotak kayu berukuran 1 meter x 75 cm berlubang-lubang kecil dan berlabel Live Birds dan checked baggage. Dari kantor Thai International di Singapura, ada teleks ke Don Muang yang meminta kotak-kotak tadi ditransfer ke Yugoslavian Airlines yang sedianya bertolak ke Beograd sekitar pukul 10.00 malam itu. Petugas di Don Muang curiga karena kotak itu berat. "Mereka kaget sekali ketika pemeriksaan dengan X-ray menunjukkan isinya bukan burung melainkan enam orang utan dan dua siamang," ujar Boonlert Angsirichinda, Kepala Bagian Perlindungan Hewan Departemen Kehutanan Muangthai, kepada TEMPO. "Hewan-hewan itu hampir mati," cerita Boonlert. Malam itu juga anak buah Boonlert memanggil dokter hewan dari Kebun Binatang Dusit untuk memberi pertolongan pertama. Ternyata, enam orang utan itu menderita dehidrasi, radang paru-paru (pneumonia), dan juga diare. "Itu akibat perjalanan tanpa makan dan minum serta tanpa gerak," ujar Diana Taylor Snow. Ahli orang utan yang pernah tinggal di pusat penyelidikan orang utan di Kalimantan itu khusus datang ke Bangkok dari Amerika untuk merawat orang utan selundupan tadi. Dianalah yang memberi nama Ali untuk satu ekor orang utan. Kasus ini segera menarik perhatian International Primate Protection League (IPPL). Dari penyidikan, dipastikan bahwa hewan langka tadi menumpang Thai International sejak dari Jakarta. Sebab, tak ada bukti kotak-kotak tadi dimuat di Singapura, tempat transit pesawat itu. Namun, itu diragukan Dirjen PHPA. "Masih belum jelas apakah satwa itu diberangkatkan dari Jakarta ke Singapura atau dari Kalimantan ke Singapura. Apakah lewat darat, laut atau udara, masih dilacak. Yang jelas, satwa itu dikumpulkan di Singapura," kata Sutisna. Menurut IPPL, seorang Jerman Barat dari Kota Fluechtern, dekat Frankfurt, bernama Kurt Schaefer, diduga terlibat dalam pengiriman satwa langka yang hanya boleh ke luar Indonesia dengan izin Presiden RI itu. Orang Jerman itu beristrikan wanita Thai dan punya rumah di Bangkok. Bahkan, diketahui ia pemilik "Siam Farm", sebuah usaha penampungan dan jual beli satwa langka. Schaefer kabarnya sudah sering mondar-mandir Jakarta-Kuala Lumpur-Singapura untuk menjalankan bisnisnya. Seekor orang utan diperkirakan laku dengan harga sekitar Rp 35 juta. Anehnya, Schaefer belum pernah datang ke bandara untuk mengambil kiriman tadi. "Jadi, siapa pemilik satwa selundupan itu, belum diketahui. Kami mencari Schaefer tapi belum tentu mengenai kasus ini," ujar Boonlert. Boonlert sudah menghubungi aparat Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Yugoslavia, untuk menanyakan siapa pemilik satwa tadi. "Tapi yang menjawab cuma Pemerintah Indonesia," katanya. Uniknya, dari kebun binatang di Beograd, Boonlert menerima tagihan agar pihaknya melepaskan monkeys alias monyet yang dipesan Beograd dari Tuan Schaefer. Boonlert menjawab, "Kami tidak menahan monyet, orang utan bukan monyet. Jadi, klaim itu kami tolak." Ini menunjukkan indikasi bahwa orang utan itu memang milik Schaefer. Repotnya, seandainya toh Kurt Schaefer terlibat dan bisa ditangkap, dia tak bisa dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Muangthai. Sebab, menurut Ketua WFT, Pisit na Pathalung, undang-undang Muangthai hanya melindungi pengiriman satwa langka dari dalam negerinya sendiri. Artinya, dalam kasus satwa asal Indonesia itu, Schaefer paling-paling bersalah memalsukan label barangnya tadi. Sebenarnya, urusan ini bisa segera selesai. Dan satwa-satwa tadi bisa dikembalikan ke Jakarta. Namun, pihak Muangthai perlu memastikan bahwa satwa itu memang datang dari Jakarta, bukan dari Singapura atau Malaysia. Boonlert akhirnya memastikan akan mengembalikan satwa tadi ke Jakarta, dengan syarat: Pemerintah RI bersedia mengambil alih tanggung jawab pihak Thai seandainya di kemudian hari ada klaim dari pihak ketiga. Dan syarat ini disepakati Indonesia. Dubes RI Gatot Suwardi bahkan sudah minta Jakarta mengatur kepulangan Ali dan kawan-kawannya. "Kami optimistis masalah ini akan selesai dalam waktu dekat," ujar Drs. Husny Sunkar, Kepala Bidang Penerangan KBRI Bangkok, pekan lalu. Tampaknya, banyak orang tergiur menyelundupkan orang utan ke mancanegara. Pada 10 April lalu, Kapolresta Samarinda Letnan Kolonel Tjuk Suwarso menggagalkan usaha penyelundupan empat orang utan di kawasan Teluk Bajau. Orang utan itu dimuat dalam kotak sabun sempit di perahu kecil yang siap merapat ke sebuah kapal kayu berbendera asing. Pelakunya cukup sigap, kabur dengan menerjunkan diri ke teluk. Sebelumnya, Juli tahun lalu, aparat kepolisian itu juga menggagalkan penyelundupan dua orang utan di Sungai Kunjang. Menurut sumber-sumber TEMPO, satwa langka ini biasanya ditangkap di wilayah Kabupaten Kutai. Ada yang ditangkap dari Taman Nasional Kutai di Bontang, dari hulu Mahakam terutama dari Teratak, Benua Puhun, Muara Kaman, dan Sedulang. Hanya transaksinya dilakukan di Samarinda dengan harga sekitar Rp 1,5 juta seekor. Padahal, ancaman hukumannya cukup berat, bisa enam tahun penjara atau lebih. Toriq Hadad, Sarluhut Napitupulu (Jakarta), Yuli Ismartono (Bangkok), Rizal Effendi (Samarinda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus