Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bara Ambon Masih Menyala

Kerusuhan meledak lagi di Ambon. Isu konflik antar-agama kian mengental. Aparat terpaksa menembak.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu batalyon marinir asal Jawa Timur masih tampak berjaga-jaga dengan senjata laras panjang di tangan. Mereka siaga membaca setiap gelagat mencurigakan. Asap masih mengepul di antara puing-puing reruntuhan bangunan. Tembok-tembok rumah, toko-toko, dan jalanan utama tampak menghitam. Bau sisa-sisa pembakaran terasa menyengat hidung. Meski berangsur pulih, situasi di Kota Ambon, Sabtu malam pekan lalu, masih mencekam. Ratusan masyarakat keturunan Cina tampak berdesak-desakan di ruang tunggu Bandar Udara Pattimura. Mereka menunggu pesawat Fokker F-28 milik Mandala Airlines, yang terbang dan mampir sekali sehari pada rute Jakarta-Ujungpandang. Mereka terpaksa mengungsi karena rumah toko (ruko) milik mereka di pusat kota diserbu massa yang mengamuk. Amuk massa? Inilah, memang, kesekian kalinya Negeri Seribu Pulau itu dilanda kerusuhan sejak Januari lalu. Sudah beratus korban jiwa mati sia-sia. Belum lagi yang sekadar luka parah dan ringan. Ribuan orang menderita karena rumah dan harta miliknya ludes dibakar emosi. Kali ini pun, Jakarta dibikin sibuk. Pasukan Pengendalian Huru-Hara dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) 413 Pasopati Solo, Jawa Tengah, serta Brigade Mobil Palu (Sulawesi Tengah), Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur, ditambah Batalyon Infanteri Lintas Udara 733 dan Kepolisian Daerah Maluku, sempat kewalahan. Kejadiannya bermula dari pertengkaran antarkelompok. Sejumlah rumah penduduk di Desa Poka, sekitar 20 kilometer dari Kota Ambon, sehabis magrib Sabtu dua pekan lalu, dilempari batu oleh sekelompok orang dari Desa Lateri, Lata, dan Galala. Lempar-melempar ini terjadi dua hari berturut-turut. Warga Poka marah. Pelakunya dikejar, tapi lolos. Rupanya, kejadian itu hanya pemicu dari kerusuhan yang lebih besar. Massa yang dikejar, bukannya takut, malah menambah "kekuatan". Mereka kembali menyerbu dan membakar rumah warga Poka. Tentu saja perbuatan itu mengundang kemarahan penduduk Poka. Ribuan warga bergerak melawan ratusan pelaku pembakaran, tapi keburu dihadang aparat keamanan. Akhirnya, penduduk bentrok dengan aparat: lima orang mati dan puluhan luka berat. Kerusuhan di Poka merambat mendekati Ambon. Warga Desa Batugajah Atas dan Urimesing menyerang Desa Diponegoro dengan bom molotov dan panah. Bentrokan antarwarga desa tak terhindarkan, korban jiwa berjatuhan, dan rumah-rumah terbakar dan rusak berat. Suasana tegang juga terjadi di dua titik utama pusat kota Ambon, tempat berkumpulnya massa yang siap siaga, di Gereja Silo dan Masjid Al-Fatah. Kabar angin bertiup: Masjid Al-Muhajirin di Poka dibakar. Massa yang berada di Masjid Al-Fatah marah. Tapi pasukan Brimob dan Kostrad sudah berjaga-jaga di depan Masjid Al-Fatah. Akibatnya, terjadi dorong-dorongan antara jemaah masjid dan aparat keamanan. Tiba-tiba saja... dor! Senjata menyalak. Beberapa jemaah masjid Al-Fatah tewas diterjang peluru. Massa mengamuk. Pusat pertokoan di Jalan A.Y. Patti, yang tak jauh dari tempat kejadian, menjadi sasaran. Ruko-ruko dan rumah-rumah dibakari massa. "Ini karena Brimob memihak. Aparat keamanan ikut menyerang dengan pakaian preman," ujar Faisal Salampessy, Ketua Gerakan Ukhuwah Islam Maluku. Tentu saja keterangan itu dibantah Kepala Kepolisian Daerah Maluku, Kolonel Bugis S. Saman. "Mereka terkena peluru karena tak bisa dilerai," ujar Saman kepada TEMPO. Ternyata kejadian di atas tidak berdiri sendiri. Dua minggu sebelumnya, terjadi bentrokan massal di Pulau Saparua, sekitar 300 kilometer dari Ambon. Saat itu, sekelompok pemuda warga Desa Ulat menebangi pohon cengkeh milik warga Desa Sirisori, yang kebanyakan beragama Islam. Warga Sirisori marah dan memperingatkan agar perbuatan itu tak diulangi. Toh, masih terulang lagi. Terjadilah baku-hantam massal. Isunya berkembang menjadi pertentangan antar-agama. Namun, latar belakang politiknya cukup santer terdengar. Faisal Salampessy menduga, kerusuhan babak kedua di Ambon yang menyebabkan 21 orang tewas dan 118 luka berat itu berkaitan dengan peringatan tiga tahun peristiwa 27 Juli 1996—saat terjadi operasi bumi hangus oleh sejumlah aparat dan preman atas kantor pusat PDI pro-Megawati di Jakarta. Konon, terjadi baku-hantam dan saling bunuh antara massa PDI Perjuangan dan warga pengikut partai lain yang emoh ikut serta memperingati tragedi itu. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Alex Litaay menyesalkan kejadian tercela itu. Tapi ia tegas membantah jika dituding berada di balik kerusuhan. "Tidak betul. Saya sama sekali tidak terkait dengan masalah itu. Itu fitnah, yang sengaja memojokkan saya," katanya kepada Hani Pudjiarti dari TEMPO. Ahmad Taufik, Friets Kirlely (Ambon), dan reporter Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus