Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Beda Sikap terhadap Wacana Pilgub Melalui DPRD

Perludem menilai pemilihan gubernur (pilgub) melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai.

3 Desember 2024 | 13.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Universitas Andalas Padang, Asrinaldi, menilai wacana pemilihan gubernur atau pilgub melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak bisa diterapkan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia karena karakteristik masing-masing provinsi berbeda.

“Jadi, kalau ada wacana ini, saya pikir bukan DPRD yang memilih. Barangkali perlu ada penataan dari Kemendagri, dibuat pemilihan kepala daerah (pilkada) simetris, karena faktanya di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) itu juga tidak dipilih gubernurnya. Jadi daerah-daerah yang rawan politik uang, rawan pengerahan aparatur, rawan pengawasan, ya itu dilakukan di DPRD (pemilihannya),” kata Asrinaldi saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.

Asrinaldi mengatakan perlu memahami Indonesia secara komprehensif. Sehingga, apabila wacana gubernur dipilih oleh DPRD diberlakukan, dia mengatakan hal ini juga perlu menyesuaikan dari masing-masing daerahnya.

“Daerah-daerah yang sudah maju tingkat pendidikan masyarakatnya, kesejahteraan masyarakatnya, itu diberikan pilkada langsung. Unitarisme bukan berarti penyeragaman semua bentuk penyelenggaraan pemerintahan tapi melihat pada situasi sosial budaya dan lingkungan politik yang ada di daerahnya,” ujarnya.

Dengan demikian, kata dia, DPRD merupakan salah satu alternatif yang bisa dipilih untuk menunjuk gubernur. Namun bukan berarti menyeragamkan seluruh pilkada ke DPRD.

Sebelumnya, tingginya angka golongan putih (golput) di Pilkada 2024 memunculkan wacana gubernur dipilih melalui DPRD atau presiden mewakili pemerintah pusat. Hal itu didasarkan atas biaya menggelar pemilihan gubernur (pilgub) cukup tinggi, sementara partisipasi pemilih rendah.

Wacana itu disampaikan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI Jazilul Fawaid. Dia mengatakan partainya sedang mengkaji gubernur ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat atau melalui mekanisme DPRD karena biaya pilgub terlalu tinggi.

“Gubernur fungsinya hanya koordinator, karena kan kita rezimnya otonomi daerah,” kata Jazilul di Jakarta pada Jumat malam, 29 November 2024.

Dia mencontohkan Pilkada Jawa Barat di mana untuk mencari seorang gubernur yang fungsinya hanya sebagai koordinator harus menghabiskan anggaran hingga Rp 1 triliun lebih. Kondisi itu, kata dia, kurang ideal dengan kinerja gubernur. Anggaran sebesar itu dapat digunakan hal yang lebih bermanfaat dan mendasar, terutama pendidikan dan kesehatan.

“Kalau dibuat sekolah, jadi berapa sekolah? Itu anggaran di Jawa Barat saja. Kalau itu buat renovasi sekolah, saya pikir renovasi sekolah di Jawa Barat cukup,” tuturnya.

Jazilul menambahkan pemilihan gubernur melalui DPRD hanya membutuhkan satu kotak suara, tapi ketika dipilih langsung membutuhkan ribuan kotak suara. 

“Lebih baik serahkan kepada DPRD, simpel, masyarakat mungkin bisa memberikan masukan kepada partai atau lembaga lain yang kemudian bisa dimajukan,” tuturnya.

Anggota DPD Sebut Pilkada 2024 Menyimpan Banyak Masalah

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, mendorong pemerintah mempertimbangkan agar pelaksanaan pilkada dapat dikembalikan ke DPRD. Alasannya, biaya politik dalam gelaran demokrasi di Indonesia, khususnya pilkada, sangat mahal dan konsekuensinya pun tak kalah mahal.

“Meski terlihat berjalan lancar secara umum, pada dasarnya Pilkada Serentak 2024 sejatinya tidak baik-baik saja dan menyimpan banyak masalah besar,” kata dia saat dihubungi dari Palangka Raya, Selasa.

Karena itu, mantan Anggota DPR RI periode 1999-2004 dan 2004-2005 itu menilai sudah waktunya proses pilkada dievaluasi secara menyeluruh, serta seturut amanah Undang-Undang Dasar 1945.

Dia mengatakan amanah konstitusi Indonesia menyatakan pemilihan kepala daerah prinsipnya mesti demokratis, tetapi tidak harus digelar secara langsung sebagaimana amanah atas pemilihan presiden dan wakil presiden.

Mantan Gubernur Kalteng periode 2005-2010 dan 2010-2015 ini mengatakan sekarang momen baik untuk mempertimbangkan kembali pilkada dikembalikan dan dipercayakan pada DPRD pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“Anggota DPRD itu kan mereka yang dipilih dan dipercayakan oleh rakyat setempat untuk mewakilinya,” ujarnya.

Perludem: Berpotensi Menimbulkan Tindak Kesewenang-wenangan Elite Partai

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai pemilihan gubernur atau Pilgub melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat. 

“Bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite,” kata Titi saat dihubungi melalui WhatsApp pada Ahad, 1 Desember 2024.

Titi tidak menampik pelaksanaan pilgub oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien. Namun hasil pemimpin yang diputuskan hanya berbasis pada kesepakatan eksklusif para elite partai tanpa mengakomodasi suara dan harapan masyarakat. 

Dalam pelaksanaan pilgub dengan dipilih rakyat, kata dia, juga masih ditemukan keputusan pencalonan yang berbeda dengan konstituen partai. “Apalagi kalau diambil alih sepenuhnya oleh wakil partai di DPRD,” ujarnya.

Dia mengatakan pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung maupun melalui pemerintah berpotensi terjadinya politik uang. Namun perbedaannya terletak pada pemberian uang atau material yang diberikan kepada anggota DPRD.

“Mestinya yang dibenahi adalah pengaturan dan penegakan hukumnya. Bukan dengan serta merta mengubah sistem,” kata dia.

Titi menuturkan, selama penegakan hukum masih lemah dan perilaku koruptif masih terbiarkan, apa pun mekanisme pemilihannya pasti akan bermasalah. “Yang terjadi malah bisa makin mengokohkan oligarki dan hegemoni elite,” tutur pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia itu.

Jika budaya tersebut dibiarkan, maka dapat memicu ketidakpercayaan dan ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinan yang dibentuk sehingga berpotensi mengganggu kondusifitas pemerintahan daerah. 

ALFITRIA NEFI P | ANTARA

Pilihan editor: Pendapat Tim Pemenangan RIDO dan Pramono Anung Soal Partisipasi Pemilih di Pilkada Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus