Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – TIM Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) sudah menyerahkan rekomendasi mereka kepada Presiden Joko Widodo lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md. Rekomendasi itu di antaranya berisi usulan untuk mengungkap kebenaran dalam pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua orang sumber Tempo yang mengetahui rekomendasi itu menyebutkan, pengungkapan kebenaran dilakukan lewat pembuatan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun ketentuan dalam UU KKR itu semestinya tidak mengulang putusan Mahkamah Konstitusi tentang KKR pada 2006, di antaranya pemberian amnesti bagi pelaku dan menggantungkan pemulihan korban pada pemberian maaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin rekomendasi tentang pengungkapan kebenaran diakui oleh Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani. “Secara garis besar, Tim PPHAM dinilai mampu mengeluarkan rekomendasi yang komprehensif yang mencakup unsur-unsur dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diakui secara internasional terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial,” kata Jaleswari lewat keterangan tertulis, akhir pekan lalu.
Aksi Kamisan memperingati Hari Keadilan Internasional se-Dunia atau World Day for International Justice, di depan Istana Merdeka, Jakarta. TEMPO/Subekti
Wakil Ketua Tim PPHAM, Ifdhal Kasim, yang dimintai konfirmasi, mengatakan Tim PPHAM bukan merupakan replikasi dari KKR. Tapi tim hanya mendapat mandat untuk menganalisis kasus pelanggaran HAM berat yang sudah ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran HAM berat.
“Pengungkapan yang dilakukan tim terbatas pada kasus yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM,” kata Ifdhal, Ahad, 1 Januari 2023.
Ia juga menegaskan rekomendasi Tim PPHAM tidak meniadakan proses yudisial. Proses yudisial tetap berjalan, tapi menjadi tanggung jawab Kejaksaan Agung.
Kamis pekan lalu, Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono menyerahkan rekomendasi tim ke Mahfud. Makarim mengatakan secara umum rekomendasi tersebut di antaranya mendorong negara mengakui kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan Presiden Jokowi meminta maaf atas nama negara dengan adanya kejahatan kemanusiaan tersebut.
Dua sumber Tempo mengatakan Tim PPHAM sesungguhnya menyodorkan rekomendasi lebih spesifik kepada Presiden Jokowi. Rekomendasi itu dirinci per kasus pelanggaran HAM berat. Misalnya, pemulihan yang efektif bagi keluarga korban penculikan pada 1997-1998 berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Lalu, pemulihan nama baik dan properti bagi keluarga korban peristiwa 1965-1966, serta pemulihan properti bagi keluarga korban peristiwa Talangsari, Lampung, pada 1989.
Rekomendasi lainnya, mendorong reformasi TNI dan Kepolisian Republik Indonesia, serta memperkuat Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lewat rilis, Jaleswari mengatakan pemulihan yang diharapkan adalah pemulihan yang menyeluruh, meliputi martabat, fisik dan mental, serta sosial-ekonomi sehingga korban tidak lagi mendapat stigmatisasi dan diskriminasi. Kantor Staf Presiden, kata dia, juga terus mengawal percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Penghilangan Orang Secara Paksa, yang sedang dibahas di DPR.
Adapun Ifdhal, yang dimintai konfirmasi, mengatakan Tim PPHAM memang berfokus pada upaya pemulihan korban maupun keluarga korban. Ia mengatakan Tim PPHAM juga merekomendasikan upaya pencegahan pelanggaran HAM tidak terulang serta memorialisasi berupa pembuatan monumen atau museum.
“Rekomendasi tersebut ditujukan sebagai bentuk penghormatan negara-merawat ingatan para korban dan keluarga korban kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu,” katanya.
Rekomendasi lainnya, kata dia, sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim PPHAM. Misalnya, pemulihan bagi korban atau keluarganya, seperti rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, dan beasiswa.
Menolak Penyelesaian Non-Yudisial
Pegiat HAM, Yones Douw, mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial menunjukkan ketidakmampuan negara dan pemerintah dalam menyelesaikan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Penyelesaian non-yudisial dianggapnya hanya upaya untuk melindungi para pelaku kejahatan hak asasi manusia.
“Kalau non-yudisial melalui KKR atau pengadilan ad hoc itu, kami merasa tidak akan puas karena semua mengarah pada ketidakmampuan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia,” kata Yones.
Yones, yang juga pendamping keluarga korban kasus Paniai, mengatakan keluarga korban kasus Paniai tidak pernah dilibatkan Tim PPHAM. Baik korban maupun keluarga korban kasus Paniai juga tidak pernah meminta kasus Paniai diselesaikan lewat mekanisme non-yudisial.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo