Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Proses pemilihan kepala daerah atau pilkada menjadi perbincangan hari-hari ini. Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar pilkada dilaksanakan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD seperti era Orde Baru. Tujuannya untuk menekan biaya yang dinilai fantastis sehingga anggarkan bisa dialihkan untuk rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Efisien enggak keluar duit? Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi,” kata Prabowo di HUT ke-50 Partai Golkar, Kamis pekan lalu. “Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilkada secara langsung sebenarnya boleh dibilang anyar dibandingkan era pilkada diwakilkan oleh DPRD. Pesta demokrasi pemilihan pimpinan daerah di mana rakyat terlibat langsung ternyata belum genap 20 tahun. Pertama kali digelar adalah pada 2005 silam atau setelah 60 tahun Indonesia merdeka.
Lantas seperti apakah pilkada dalam kurun 60 tahun Indonesia merdeka hingga akhirnya dilakukan secara langsung melibatkan coblosan oleh rakyat?
Pada awal kemerdekaan Indonesia, sistem pemerintahan masih dalam proses pembentukan. Pada masa ini, kepala daerah seperti gubernur dan bupati atau walikota tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui DPRD. Sistem tersebut berlangsung selama beberapa dekade sejak Indonesia merdeka pada 1945.
Dalam sistem ini, DPRD memiliki kuasa untuk memilih kepala daerah berdasarkan calon yang diajukan oleh partai politik atau kelompok yang memiliki pengaruh di parlemen daerah. Proses ini dianggap sebagai representasi demokrasi tidak langsung, di mana rakyat memilih anggota DPRD yang kemudian mewakili pemilihan kepala daerah.
Aturan pilkada era sebelum reformasi
Aturan pilkada sebelum era reformasi diatur dalam Undang-Undang Pokok Nomor 22 Tahun 1948. Beleid ini mengatur pemerintahan daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintahan Daerah. Adapun Dewan Pemerintahan Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah yang diajukan oleh DPRD.
Ketentuan pengangkatan kepala daerah menurut Undang-undang sebagai berikut, yaitu:
Kepala Daerah Provinsi
Kepala Daerah Provinsi diangkat langsung oleh Presiden dari dua sampai empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi.
Kepala Daerah Kabupaten
Kepala Daerah Kabupaten atau kota besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari minimal dua dan maksimal empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Desa.
Kepala Daerah Desa
Kepala Daerah Des diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari minimal dua dan maksimal empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Desa (kota kecil).
Kepala Daerah Istimewa
Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, serta adat istiadat di daerah itu.
Disarikan dari buku Mencari Bentuk Otonomi Daerah oleh J Kaloh, meskipun kepala daerah dipilih oleh DPRD tetapi calon-calon terpilih diajukan dulu ke pusat dan pusatlah yang menentukan siapa yang terpilih. Dengan mekanisme seperti ini, peneliti bidang pemerintahan ini berpendapat sebenarnya yang dianut oleh Indonesia di masa lampau adalah desentralisasi yang sentralistis.
Di masa pemerintahan Orde Baru, biasanya yang selalu menang adalah calon dari Partai Golkar. Hal ini lantaran seluruh DPRD di Indonesia anggotanya mayoritas berasal partai pimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto itu.
Kondisi ini kemudian mengundang pertanyaan tentang penerapan demokrasi yang sesungguh sesuai UUD 1945. Sebab, hasil pilkada sama sekali tidak merepresentasikan suara rakyat, tapi suara partai.
Pada masa itu, kepala daerah yang terpilih sering kali adalah orang-orang yang loyal kepada pemerintah pusat dan Presiden Soeharto. Akibatnya pemerintahan di daerah sangat terpusat. Praktik ini menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi pada akhir 1990-an, di mana tuntutan akan demokrasi yang lebih terbuka dan desentralisasi kekuasaan menguat.
Reformasi yang dimulai pada 1998 mengubah banyak hal dalam sistem pemerintahan di Indonesia, termasuk cara pilkada. Salah satu tuntutan utama reformasi ialah peningkatan partisipasi publik dan desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Perubahan signifikan terjadi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi lebih besar kepada daerah.
Namun, pilkada melalui DPRD masih tetap berlangsung hingga 2005 atau tujuh tahun setelah runtuhnya Orde Baru. Barulah setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mekanisme pilkada berubah drastis dengan diberlakukannya secara langsung sejak 2005 hingga sekarang.
Meskipun dianggap sebagai tonggak penting dalam demokrasi Indonesia, perdebatan mengenai mekanisme pilkada langsung terus terjadi. Pada 2014, DPR sempat mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Keputusan ini memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat yang menilai bahwa penghapusan pilkada langsung merupakan kemunduran dalam demokrasi. Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu yang membatalkan UU tersebut, sehingga pilkada langsung tetap dipertahankan.
Nandito Putra, Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Fakta-fakta Wacana Pilkada Kembali Dilaksanakan Lewat DPRD Setelah Pilkada 2024