Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berebut rezeki di celah timor

Prof h.johannes menganggap perjanjian celah timor (pct) merugikan indonesia. menlu alatas mengirim utusan ke rumah johannes utk menjelaskan masalah. pemerintah akan meratifikasi pct.

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRO dan kontra Perjanjian Celah Timur (PCT), nampaknya, masih juga belum selesai. Buktinya, Menlu Alatas masih merasa perlu mengirimkan utusan ke rumah Profesor H. Johannes, di Jalan Pandega Duta, Yogyakarta, Sabtu siang minggu lalu. "Tidak ada hal baru dalam keterangan pemerintah. Kritik saya masih tetap seperti dulu," ujar Johannes seusai pertemuan dua jam dengan para tamunya, Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri Witjaksana Soegarda, Ketua Tim Perunding Indonesia tentang Celah Timor Nugroho Wisnumurti, dan seorang pejabat Pertamina Zahar. Kritik pakar Fisika-Kimia UGM yang berumur 77 tahun itu, terhadap Perjanjian Celah Timor (PCT) sudah dilontarkannya sejak Oktober 1988. Lalu, kritiknya makin mencuat dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR akhir September lalu. Isinya. PCT merugikan karena Indonesia hanya mendapat 1,6 persen peng- hasilan dari kandungan minyak di celah itu. PCT sendiri ditandatangani oleh Menlu Ali Alatas dan Menlu Australia Gareth Evans di pesawat yang terbang di atas celah Timor, 11 Desember 1989. Kesepakatan pengaturan kerja sama antara kedua negara ini dicapai pada perundingan yang ke-14, akhir Oktober tahun lalu. Kesepakatan ini masih berupa pengaturan sementara, sambil menunggu tercapainya kesepakatan landas kontinen, yang sejak tahun 1979 hingga kini masih mentok. Ini karena keduanya menganut prinsip batas kontinen yang berbeda. Menurut Australia, batas kontinen mereka sejauh bathymetric axis, yaitu garis sumbu yang menghubungkan titik paling dalam dari palung Timor. Sedang Indonesia memegang prinsip median line, yang menganggap batas kontinen ditetapkan pada garis tengah antara kedua pantai. Dengan dibuatnya pengaturan sementara itu, kedua negara sudah bisa memanfaatkan zona kaya minyak sebelum dicapai kesepakatan landas kontinen. Dalam pengaturan ini, celah Timor yang luasnya 61.000 km2 dibagi tiga daerah, A, B, dan C. Daerah A yang terletak di tengah merupakan daerah paling luas dan dimanfaatkan bersama kedua pihak dengan bagi hasil 50:50. Pengoperasian daerah ini dimonitor oleh Otorita Bersama yang berkantor di Jakarta, dan kantor Direktorat Teknis di Darwin. Daerah B digarap oleh Australia, tapi Indonesia mendapat 16 persen penghasilan pajak bersih dari kontraktor yang melakukan eksplorasi di daerah ini. Daerah C di dekat Pulau Timor dieksplorasi Indonesia, tetapi Australia bisa mendapat imbalan 10 persen pajak pendapatan kontraktor. Menurut Alatas, perjanjian ini menguntungkan Indonesia. Selain mendapat bagian di C dan A, Indonesia masih memperoleh lagi di B. Padahal, daerah B tidak pernah diklaim Indonesia karena letaknya di luar median line. Dan, menurut Alatas, kesepakatan ini merupakan pengakuan secara de jure integrasi Timor Timur ke Indonesia. Namun, Johannes yang kelahiran Pulau Roti, NTT, ini berpendapat lain. Menurut dis, pembagian fifty-fifty harus berlaku di daerah A, B, dan C. Ini bisa dilakukan kalau Indonesia bersabar 2-3 tahun lagi saat Konvensi Hukum Laut 1982 diberlakukan. Saat itulah Indonesia bisa mengklaim Zone Ekonomi Eksklusif yang jauhnya 200 mil dari pantai. Usul ini pernah diajukan pada Australia, tapi Negara Kanguru itu menolak dengan tegas. Tapi, Johannes percaya 2-3 tahun mendatang Konvensi Hukum Laut 1982 bisa diratifikasi karena diperkirakan sudah 61 dari 119 negara akan menandatanganinya, maka Australia tidak bisa mengelaknya lagi. "Kalau kita bisa klaim 200 mil, maka daerah B termasuk daerah sengketa dan pembagiannya bisa 50:50. Tidak seperti sekarang, kita cuma kebagian 1,6 persen," ujar guru besar UGM yang masih memberikan kuliah ini. Untuk sementara, Johannes memberi jalan keluar bagi DPR. PCT jangan ditolak karena nanti Australia bisa melakukan kembali kegiatan pengeboran minyak di kawasan yang sudah disetujui berdasar Persetujuan Garis Batas Dasar Laut 1972. Waktu itu, Indonesia memberi 70 persen laut Timor pada Australia yang sudah melakukan pemboran. Tapi, kalau DPR meratifikasi perjanjian itu, Johannes khawatir bisa timbul kekecewaan di masa depan. Memang, sampai saat ini ia tidak punya data berapa besar kandungan minyak di daerah B. Tapi, kalau ternyata daerah itu kaya minyak, Indonesia hanya kebagian 1,6 persen saja. Karena itu, saat ini bisa dibentuk tim pencari fakta dalam masalah celah yang kabarnya mengandung satu milyar barel minyak ini. Tim ini bisa bekerja dua tahun sampai Konvensi Hukum Laut diratifikasi dan Indonesia bisa mengklaim 200 mil ZEE. Sayang, masukan untuk DPR ini tampaknya bertepuk sebelah tangan. Anggota komisi I dari FKP Theo Sambuaga menilai penolakan Australia mengenai 200 mil ZEE bisa diterima karena ketentuan itu hanya berlaku untuk pantai yang batasnya lebih dari 400 mil, sedang celah Timor tak sampai sekian. Menurutnya, fraksinya melihat tidak ada alasan untuk tidak meratifikasi. Malah, kalau tidak meratifikasi, Indonesia tidak mendapat hasil apa-apa, sementara Australia bisa terus mengeksplorasi daerah itu. Menanggapi masalah ini, Johannes hanya bisa mengatakan kalau DPR akhirnya sependapat dengan pemerintah, ya, dia tak bisa berbuat apa-apa. Namun, ia menekankan DPR punya hak untuk tidak meratifikasi perjanjian yang sudah ditandatangani pemerintah. "Ini tidak mendiskreditkan pemerintah," katanya. Walau sudah mendapat lampu hijau dari DPR, pemerintah tampaknya masih perlu memberi pengertian pada tokoh gaek ini. Agaknya, pemerintah tidak ingin pro-kontra ini berkepanjangan menjelang acara rapat kerja dengan Komisi I Selasa minggu ini. Namun, paling tidak PCT sudah memberi tambahan kesibukan pada aparat Deplu. Senin minggu ini, ada rapat terbatas di ruangan Menlu dengan tujuh orang anggota DPR untuk membicarakan masalah yang akan dibawa ke DPR itu. Diah Purnomowati, Sri Pudyastuti, R. Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus