Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Berpendar Sampai ke Liverpool

Lampion menjadi kerajinan andalan Kota Malang. Menjelang Imlek, perajin kewalahan memenuhi pesanan dari luar negeri.

3 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesibukan membuat lampion merasuki kampung itu sejak hari masih muda. Sejumlah pemuda merangkai kerangka, menempelkan kain, hingga menghias lampion yang sudah berwujud. Lampion-lampion yang sudah jadi lalu diletakkan berjejer, dipajang di rumah produksi. Berwarna-warni. Merah, putih, kuning, hijau, ungu. Bentuknya pun bermacam-macam. Ada bola, kubus, oval, twist, kapsul, dan labu. Tak berlebihan jika begitu memasuki Jalan Juanda RT 8 RW 1 Kelurahan Polehan Blimbing, Kota Malang, pengunjung disambut tulisan "Kampung Lampion".

Menjelang tahun baru Imlek, pada Senin pekan lalu itu, sepuluh rumah perajin lampion seperti berlomba. Mereka mengejar tenggat memenuhi pesanan yang meningkat dibanding hari-hari biasa. Tiap rumah produksi membuat 50-200 lampion per hari. Tiap rumah produksi biasanya dibantu dua-tujuh pekerja.

Lampion bikinan penduduk Polehan tak hanya diminati warga Malang. Dari kampung itu, lampion menyebar ke penjuru Nusantara, dari Surabaya, Jakarta, Palu, Palembang, sampai Samarinda. Lampion-lampion itu juga ada yang melanglang buana, memenuhi pesanan orang-orang Prancis, Inggris, Belanda, dan Jerman.

Dimulai oleh Achmad Samsudin, Kampung Polehan memproduksi lampion sejak sekitar 10 tahun lalu. Kala itu, Achmad baru pulang kampung dari tempat kerjanya di Bali. "Awalnya bekerja ke Pak Anas di Bali," kata lelaki 33 tahun ini. Setelah setahun ia bekerja, usaha lampion gulung tikar lantaran pemilik usaha meninggal. Kondisi makin buruk lantaran bom di Kuta meledak lagi pada 2005.

Situasi yang tak mendukung bisnis mendorong Achmad balik ke kampung halamannya. Namun ia tak meninggalkan lampion. Achmad merintis usaha secara mandiri di rumahnya. "Saya memulai usaha kerajinan lampion dengan modal kerja keras dan doa," ujarnya. Modalnya cekak, hanya cukup untuk membeli bahan baku. Sendirian ia memproduksi dan menjual lampion skala kecil.

Achmad menjajakan produknya di tepi jalan dan pasar pagi di Stadion Gajayana, Malang. Meski cuma di pinggir jalan, lokasi itu rupanya sangat strategis. Jalan tersebut banyak dilalui orang dari luar kota, termasuk dari Surabaya. Dagangannya laku. Maka, dari Malang, lampion Achmad pun beredar hingga ke Surabaya. Sedangkan di Malang, pemasaran dan promosi dilakukan melalui mulut ke mulut.

Achmad sadar, jika pemasaran dilakukan dari mulut ke mulut, pasarnya akan terbatas. Karena itu, sejak tiga tahun lalu, ia juga memasarkan lampionnya melalui situs online dan jejaring sosial. Ia menampilkan foto aneka lampion kreasinya dan menerima pemesanan secara online. Dengan situs online, pasar lampion menjadi tanpa batas.

Pesanan mengalir dari Jakarta, Palu, Sulawesi Tengah; Palembang, Sumatera Selatan; dan Samarinda, Kalimantan Timur. Dari luar negeri, permintaan datang dari Eropa—Belanda, Prancis, dan Inggris.

Pasar lokal Malang memesan 100 lampion per bulan. Dari Surabaya dan Jakarta, order datang secara rutin 500 buah setiap pekan. Pemesan dari Jakarta adalah Indra, perajin lampion yang biasa melayani order untuk Jakarta dan Tangerang. Dari Indra, lampion dijual kembali ke sejumlah daerah di luar Jakarta dan Tangerang.

Pesanan dari luar negeri datang tak pasti. Kadang setahun satu-dua kali. Prancis dan Belanda biasanya sekali memesan sebanyak 500 buah. Dua bulan lalu, pesanan datang dari Liverpool, Inggris. Sebelumnya, pemesan adalah pelanggan lampion buatan Bandung. Tapi, kata Achmad, karena tak puas terhadap kualitasnya, mereka beralih kepada Achmad. Pemesan dari Liverpool meminta 4.000 buah dengan tenggat satu bulan. Namun order itu terlalu banyak untuk Achmad sehingga ia tak bisa memenuhinya dalam waktu yang ditentukan. Ia hanya bisa memenuhi 2.000 lampion.

Harga lampion bervariasi, bergantung pada kualitas, bahan baku, desain, dan ukuran. Rangkanya pun bervariasi. Ada yang dari bambu, ada juga yang dari rotan. Achmad membuat lampion berukuran 30 sentimeter, 40 sentimeter, 50 sentimeter, hingga 3 meter. Bahan baku dari kertas lebih murah ketimbang dari kain. Yang polos tanpa gambar atau motif biasanya lebih murah.

Achmad menetapkan harga khusus untuk pelanggan lokal dan luar negeri. Untuk pasar lokal, lampion kertas berbentuk bola berdiameter 30 sentimeter dijual Rp 10 ribu. Sedangkan untuk pasar luar negeri, lampion paling murah dihargai Rp 67 ribu per buah dengan ukuran 30 sentimeter dan berbahan kain parasut polos.

Pesanan paling ramai terjadi sekitar tahun baru Imlek dan takbiran Idul Adha. Menjelang Imlek, permintaan bisa melonjak menjadi 10 kali lipat. Selain jumlah pesanan yang melonjak, pesanan lampion ukuran besar datang lebih banyak. Tahun lalu sebuah vihara di Jakarta memesan lampion berdiameter 3 meter. Achmad menghargainya Rp 5 juta untuk order itu. Akan halnya pesanan menjelang Idul Adha biasanya melonjak hingga 100 persen. Lampion biasa digunakan untuk hiasan pada saat malam takbiran di beberapa daerah.

Untuk menarik minat pelanggan baru dan membuat pelanggan lama tak kabur, Achmad berusaha terus menemukan model baru. Kreasinya yang paling mutakhir berbentuk kubus mirip lampion Jepang. Desain andalannya adalah bola tumpuk, karena sulit ditiru. Sedangkan model yang paling banyak dipesan berbentuk bola dan oval. Hiasannya pun bervariasi dengan aneka lukisan, seperti macam-macam bunga, bambu, dan ikan koi.

Soal desain, selera Achmad lumayan bisa diandalkan. Rancangan lampionnya tiga kali berturut-turut menjuarai lomba lampion yang digelar Kota Malang mulai 2008 hingga 2010. Ia juga memenangi lomba lampion di Surabaya pada 2010. Meski begitu, Achmad menerima pesanan desain sesuai dengan permintaan pengorder. Pesanan dari Liverpool, misalnya. Mereka memesan lampion bergambar kuda dan logo minuman beralkohol.

Sejauh ini, kata Achmad, belum ada keluhan soal harga, rancangan, bahan, dan kualitas lampionnya. "Harga dan kualitas harus terjaga," ujarnya. Indra, pelanggannya dari Jakarta, mengiyakan. "Kualitas lampion buatan Achmad sesuai dengan standar saya," ucap Indra.

Dengan order yang makin banyak, Achmad tak kesulitan modal. Ia menyisihkan penghasilannya untuk pesanan berikutnya. Untuk yang rutin ataupun yang mendadak. Dia menolak beberapa bank yang menawarkan kredit untuk memperbesar modal. Begitu pula kredit lunak dari pemerintah yang disalurkan melalui kelurahan. Alasannya, "Saya khawatir tidak bisa mengangsur."

Uluran tangan pemerintah yang disambutnya dengan antusias adalah bantuan promosi. Achmad pernah mengikuti pameran di Jakarta atas bantuan Pemerintah Kota Malang. Dari pameran itu, ia mendapatkan pelanggan dari luar Jawa Timur. Namun dibandingkan dengan pameran, kata Achmad, promosi melalui Internet jauh lebih efektif.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang Ida Ayu Wahyuni mengatakan pihaknya akan mengupayakan bantuan promosi untuk lampion Polehan, yang disebutnya sebagai produk unggulan dan berpotensi menjadi ciri khas kerajinan Malang. Pemerintah Kota Malang akan mengajak pengusaha kecil lampion turut berpameran di dalam negeri. "Tapi kami tak mampu menjangkau promosi sampai ke luar negeri." Untuk promosi ke luar negeri, Pemerintah Kota Malang akan menggandeng Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Endri Kurniawati, Eko Widianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus