WIDODO, siswa SLB (Sekolah Luar Biasa) Bayeman, Yogyakarta, tampak ceria. Ia memanggil teman-temannya. "Pohon flamboyan itu lucu, ya? Pohonnya besar tapi daunnya kecil," katanya agak keras. Teman-temannya, sesama tunanetra, merubung. Mereka asyik meraba daun dan pohon yang tadi dipegang Widodo. Nova, siswi SLB Yaketunis Yogyakarta, nyeletuk, "Aneh juga, ya? Bayangan saya daun flamboyan lebar-lebar, wong kembangnya saja bergerombol dan pohonnya bisa besar, kok." Rektor UGM Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, yang sedari tadi memperhatikan anak-anak ini, meminta Widodo membaca papan informasi. Siswa itu pun membaca lewat jarinya: "Flamboyant. Bolemix Reqia. Famili Caesalpiniacae." Tepuk tangan bergemuruh. Itulah suasana ceria -- dan sekaligus mengharukan untuk sebagian orang -- yang terjadi Senin pekan lalu di hutan Fakultas Kehutanan UGM, yang hanya beberapa meter dari gedung pusat kampus itu. Hari itu, Rektor UGM meresmikan hutan seluas dua hektar itu sebagai Taman Flora Braille "Pardiyan", yakni hutan pendidikan lingkungan untuk kaum tunanetra. Pada upacara peresmian itu diundang siswa-siswa SLB Bagian A (Tunanetra) Bayeman dan Yaketunis (Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam). Widodo dan Nova seperti mewakili kegembiraan teman-temannya, betapa pentingnya hutan ini untuk melengkapi pelajaran biologi. Selama ini, pelajaran biologi yang diterima para tunanetra hampir sama saja dengan siswasiswa yang normal, yakni pelajaran lisan. Bagaimana membayangkan bentuk sebuah pohon tentulah sulit bagi mereka yang selalu melihat gelap. Memang ada bantuan alat peraga dari plastik. "Tapi tetap kurang puas, karena tak bisa meraba pohonnya yang asli. Jadi, ya, dibayang-bayangkan saja," kata Nova. Di hutan ini tumbuh ratusan pohon, dan walau boleh disebut berada di tengah kota, suasananya masih berbau hutan yang asli. Burung-burung liar pun banyak bermukim di situ. Dari jenis pohon, hanya terdapat 46 jenis, seperti pohon cendana, aren, cokelat, jati, johar, kayu manis, kayu putih, nangka, melinjo, dan pace. Semuanya tentu saja sudah dilengkapi papan informasi dengan tulisan huruf Braille, selain aksara Latin. Untuk pohon besar dan tinggi, bahkan dilengkapi contoh buah dan dedaunannya yang diletakkan tak jauh dari papan informasi itu. "Ini untuk memudahkan penderita cacat netra agar bisa meraba, mencium, dan merasakan keindahan pohon itu," kata Koesnadi. Hutan itu tadinya merupakan hutan tertutup yang dikelola Fakultas Kehutanan UGM. Perintisnya adalah Ir. Pardiyan dosen bujangan yang tinggal di hutan itu. Ahli budi daya tanaman ini setiap saat menambah koleksi tanaman di sana. Pardiyan juga yang merintis hutan Wanagama (hutan pendidikan UGM) di Gunungkidul. Ia meninggal dunia Februari lalu, dan namanya diabadikan untuk hutan Braille ini. Tapi gagasan adanya hutan Braille, kata Koesnadi, datang dari Drs. Susetyo Adi Purwanto, guru SLB Bayeman, yang juga cacat netra. Kepada Rektor UGM ini Susetyo menceritakan bagaimana anak-anak tunanetra memiliki pengetahuan yang minim tentang tumbuh-tumbuhan, karena pelajaran biologi di sekolah kurang bisa menolong. Sebagai anekdot, disebutkan bagaimana anak-anak tunanetra sering menyangka buah rambutan itu sudah dari pohonnya terbungkus plastik, hanya karena orangtua mereka biasa membawakan rambutan terbungkus plastik. "Saya menyambut positif gagasan itu," kata Koesnadi. Hutan di utara kampus itu pun disulap jadi hutan Braille dengan bantuan dana dari bekas anggota pandu yang terhimpun dalam PADI. "Hutan ini sekarang terbuka bagi saudara-saudara kita kaum tunanetra," kata Rektor. "Kapan saja mau lihat, silakan." Malah, Koesnadi menambahkan, ia kini bermaksud melengkapi hutan biologi di depan Fakultas Biologi UGM dan hutan Wanagama di Gunungkidul dengan huruf-huruf Braille. Susetyo menyebut hutan ini sebagai laboratorium yan merupakan sejarah baru bagi dunia pendidikan tunanetra. Sedang bagi Najamuddin, guru pembina di SLB Yaketunis, hutan ini juga sangat membantu dalam pelajaran orientasi dan mobilitas. Yakni jenis pelajaran untuk membiasakan siswa tunanetra mengenal tempat-tempat terbuka seperti jalan-jalan di tempat keramaian. Kegembiraan serupa juga datang dari Jakarta. Soehargo K.S., Kepala Panti Rehabilitasi Tunanetra Wisma Tan Miyat, Jakarta, menilai langkah yang dirintis Rektor UGM merupakan keberanian dan terobosan baru dalam dunia pendidikan luar biasa. "Tapi itu sebenarnya pengembangan Orientasi dan Mobilisasi yang sudah kami terapkan," katanya kepada Gabriel Sugrahetty dari TEMPO. Hanya diakuinya, apa yang ada di UGM itu lingkupnya lebih besar. Selama ini, pihak Tan Miyat pun merasa menghadapi kesulitan kalau harus menerangkan jenis pohon yang besar-besar, seperti flamboyan dan sengon (albizia). Yang kini diharapkan oleh Soehargo, dalam penataan Taman Flora Braille itu dilibatkan pihak-pihak yang mengerti pendidikan tunanetra. Tidak sekadar memasang papan informasi yang ditulis dalam huruf Braille saja. Misalnya, bagaimana bentuk jalannya, bagaimana bila ada jembatannya, dan bagaimana mengenalkan semuanya itu kepada kaum tunanetra. Dan yang pasti, Soehargo ingin mengajak seratus anak didiknya ke Yogya. "Itu bisa jadi paket wisata kami, agar siswa-siswa Tan Miyat lebih mengenal pohon besar atau tumbuhan jenis langka," katanya. Dengan kata lain, Taman Flora Braille ini akan membuat kaum tunanetra "terbuka matanya" untuk mengenali alam dan isinya, khususnya tumbuh-tumbuhan.Agus Basri dan Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini