Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pemerintahan islam gaya iran

Ali khamenei jadi mandataris wilayat al-faqih atau kekuasaan hukum, menggantikan ayatullah khomeini. kekuasaannya mutlak. pro dan kontra soal wilayat al-faqih. konsep yang mewarnai perilaku ulama iran.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYATULLAH Ruhollah Khomeini pada 1979 memproklamasikan Republik Islam Iran (RII). Ia menggerakkan revolusi yang menggetarkan, sehingga tahta Syah Reza Pahlevi runtuh (lihat Selingan). Khomeini meninggal 4 Juni lalu. Maka, naiklah Hojatolislam Ali Khamenei sebagai pengganti mandataris wilayat al-faqih atau kekuasaan hukum. Wewenangnya lebih hebat dari presiden yang juga sekarang dijabatnya. Sejak proklamasi RII berdengung, harapan dunia Islam bangkit, karena ajarannya menjadi rujukan kepemimpinan dan kenegaraan -- terutama dalam konsep wilayat al-faqih. Konsep ini mewarnai karakter, tulisan, pidato, dan karya ulama Iran. Juga membedakan RII dari negara Islam lain, misalnya Arab Saudi dan Pakistan. "Pemerintahan fakih itu masalah yang segera bisa disepakati dan tidak perlu dibuktikan lagi," tulis Khomeini pada 1979 di awal kumpulan khotbahnya "Pemerintahan Islam" (al Hukumat al-Islamiyyah). "Karena setiap orang yang mengetahui akidah dan syariat Islam tanpa ragu akan menerima prinsip pemerintahan fakih," katanya. Di abad ke-19, wilayat al-faqih sudah jadi perdebatan ramai. Pelempar bolanya adalah Syekh Murtadza Ansari. Ia sarjana Syiah yang meninggal pada 1864. Katanya, selain berfungsi memberikan pendapat pribadi (fatwa) dan menetapkan hukum, seorang fakih berfungsi mengurus (wilayat) soal harta dan jiwa. Mengenai fungsi terakhir ini muncul perdebatan, terutama mempertanyakan cara pelaksanaannya: ia bebas atau bergantung pada orang lain? Sebab, fakih yang bertugas mengurus zakat di pemerintahan, dia ternyata bebas, dan sekaligus bergantung pada atasannya. Bagi Ansari, wilayat adalah hak prerogatif Nabi Muhammad dan para Imam, sesuai dengan ayat 59 Quran surat al-Nisa'. Para Imam mempunyai kekuasaan absolut dalam menetapkan hukum pidana dan perdata. Karena Imam Muhammad bin Hasan al 'Askari bin Ali ibn Muhammad, alias al-Mahdi, sedang gaib (konon "bersembunyi" di Gua Samarra, Irak) maka kekuasaan itu beralih pada para fakih. Tapi itu terbatas dalam soal kekinian saja. Jadi, wilayat itu kekuasaan fakih yang terbatas. Kesimpulan Ansari itu dikritik. Ia dianggap memperkecil fungsi fakih. Padahal, ulama harus memperoleh kekuasaan besar dalam rangka mengusir Rusia yang menyerbu Iran pada 1828 itu. Kelak, pemikiran Ansari baru dirujuk Khomeini. Ia membagi wilayat menjadi dua: takwini (eksistensial) dan i'tibari (relatif). Pertama, wilayat khusus untuk Nabi dan Imam. Kedua, tugas sosial-politik fakih melakukan administrasi, mengatur negara, dan melaksanakan hukum agama. Menurut Hamid Enayat, akibat klasifikasi itu, Khomeini harus menolak setiap klaim "kesucian" atau maksum. "Jadi, tesis Khomeini bertentangan dengan ajaran Syiah, dan justru mendekati paham Suni," katanya. Guru besar politik di Universitas Oxford di AS itu lalu mengutip tulisan Khomeini dalam buklet Namih-i az Imam Musawi Khasif al-Ghita (Sebuah Surat dari Imam Musawi, sang Penyingkap Tabir). Buklet ini terbit di Teheran pada 1978. "Wilayat adalah tugas berat dan penting, tapi tidak melahirkan status kegaiban bagi pemangkunya atau menempatkannya pada kedudukan lebih tinggi dari manusia biasa. Berbeda dengan anggapan orang, wilayat bukan hak istimewa tapi sebuah tanggungjawab besar," tulis Khomeini. Doktrin yang hanya kaum fakih bisa mengatur pemerintahan di negara Islam, menurut Hamid, bukan khas Syiah. Semua pemikir Suni seperti Rasyid Ridha (Syria), Muhammad al-Ghazali (Mesir) serta Abul A'la al-Mawdudi (Pakistan), menyebut kaum fakih itu ahl al-hall wa al-'aql, orang yang melepas dan mengikat. Beda utama mereka, Rasyid Ridha dan Mawdudi menerima ijtihad, sedangkan Khomeini dengan keras kepala menyatakan, "Syariat adalah satu-satunya hukum negara." Hanya fakih yang dapat melaksanakan hukum dengan baik. Ide itu lalu, November 1979, dituang dalam Undang-Undang Dasar RII. UUD memberikan kekuasaan amat luas kepada Khomeini (pasal 107-112). Ia sebagai pemimpin (rahbar) dan pemangku urusan (waly al-amr). Artinya, fakih yang alim, adil, takwa dan saleh, mengenal aman, pemberani, aktif, berinisiatif, yang paling menonjol, yang dikenal, dan diakui pemimpin. Tugas sebagai wilayat al-faqih di antaranya mengangkat para anggota Dewan Perwalian, pejabat kehakiman tertinggi. Dan dalam kapasitasnya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Khomeini berhak mengangkat, memberhentikan, dan membentuk Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional, yang beranggota tujuh orang, terdiri atas misalnya Presiden, Kepala Staf Gabungan, Komandan Pengawal Revolusi. Ia berhak pula menyatakan perang atau damai, meneken surat kepercayaan, memberhentikan presiden, memberi amnesti. Agaknya kekuasaan seperti itu ada juga pada penguasa Suni. Maka, tak heran misalnya Zia ul-Haq almarhum memberikan dukungan moril kepada Khomeini. Dikritik? Justru itu muncul dari sarjana Syiah. Misalnya Sayyid Muhammad Bahr al-Ulum, Mirzayi Na'ini, Sayid Mahmud Taliqani, Sayid Kazim Shari'at-madari, Sayid Abul Fadl Zanjani, dan Jawad Maghniyah. "Doktrin wilayat al-faqih itu menyamakan penasihat yuris (faqih) -- seorang manusia biasa dengan kedudukan imam yang maksum," tulis Maghniyah di al-Khumayni wa al-Dawlat al-Islamiyyah (Khomeini dan Negara Islam). Kata sarjana Syiah asal Libanon itu, pada dasarnya tidak seorang pun punya hak kepemimpinan atau kedaulatan atas orang lain -- kecuali dengan perintah tegas dari Quran atau hadis sahih nan akurat. Kata Maghniyah lagi, seorang fakih menggali hukum, yang baru, dan menyusunnya supaya cocok dengan situasi. Fakih berbeda dari Imam Gaib. Tugas fakih terbatas di bidang sosial tertentu. Sedang imam memiliki daulat penuh atas semua manusia, baik awam maupun alim. Dan putusannya itu sama dengan wahyu Ilahi. Dalam praktek, Khomeini memerankan fungsi Imam Gaib. Maka, dia mendominasi semua kekuasaan. Sehingga, di mata Musa al-Mussawi, eks karibnya, Khomeini itu diktator yang membantai dan menindak 40 ribu politisi -- termasuk Syariat Madari dan Tabatabani al-Qumi. Karena menolak konsep wilayat al-faqih, lalu mereka diburu oleh 10 ribu Pengawal Revolusi. Al-Mussawi tidak habis pikir. Dulu, ketika berjuang di bawah tanah di Iran dan Irak, Khomeini seorang rekan baik yang banyak dibantunya. Setelah menjadi Pemimpin Revolusi dan komandan Angkatan Bersenjata, ia merestui perang saudara di Kurdistan yang merenggut 60 ribu jiwa dan Perang Iran-Irak dengan 300 ribu korban. "Itu semua karena wilayat al-faqih yang memberi kekuasaan penuh," kata al-Mussawi yang ditemui Ja'far Busyiri dari TEMPO ketika Konperensi Internasional tentang Dakwah Islam, di Kairo, tahun lalu. Bekas guru besar fikih di Universitas Teheran dan kini mengajar di California itu menyejajarkan buku wilayat al-faqih karya Khomeini dengan buku Hitler, Mein Kampf (Perjuanganku). Ia menuduh Khomeini memunculkan paham teokrasi di abad ke-8 dari Paus Gregorius untuk "memberangus lawan politiknya atas nama Tuhan". Menurut Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif, dosen IKIP dan IAIN Yogya, teori Khomeini itu menekan prinsip syura dan demokrasi, yang justru dijunjung tinggi dalam Quran. Setelah berkuasa, Khomeini melanggar janjinya menjamin demokrasi. "Ia tak lagi toleran pada kemerdekaan berpendapat dan melarang hak oposisi tanpa alasan," ujarnya. Khomeini berkuasa mengangkat atau mencopot setiap pimpinan. Ini ditolak Jalaluddin Rakhmat. "Tak benar dalam konsep itu tidak ada musyawarah sama sekali," ujar dosen Universitas Padjadjaran dan IAIN Bandung itu. Agustus nanti di Iran ada pemilu. Saat itu rakyat yang bebas membentuk partai dan memberikan suaranya bagi calon presiden. Terakhir, pemimpin wilayat al-faqih setelah Khomeini dipilih Dewan Ahli Agama yang beranggota 36 orang. Khamenei dapat suara terbanyak. Ia seorang tokoh penengah dan fakih -- mirip kiai di Indonesia yang otomatis diakui. Tapi Khamenei selaku mandataris wilayat al-faqih yang baru belum terdengar mengguncang-guncang meniru pendahulunya. Cuma, pekan silam, ia masih memberlakukan vonis mati dari Khomeini untuk Novelis Salman Rushdie. Sebab, The Satanic Verses yang ditulis Salman menghujat Islam.Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum