WALI murid TK dan SD Al-Azhar Filial Kebayoran Lama, Jakarta, banyak yang cemas. Pengelola perguruan itu, dalam suratnya yang ditujukan kepada para wali murid akhir Mei lalu, menyatakan bahwa perguruan Al-Azhar Pusat di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, memutuskan hubungan kerja samanya dengan Al-Azhar Filial dan tak mengizinkan lagi pemakaian nama Al-Azhar. Kecemasan itu beralasan. Kalau itu terjadi, mereka meragukan mutu sekolah itu sama baiknya dengan mutu Al-Azhar Pusat. Setidak-tidaknya dalam hal pendidikan agama Islam, yang diberikan tujuh jam seminggu. Ini dikaitkan dengan masalah biaya. Coba saja, untuk memasukkan anak di Al-Azhar Filial, uang pendaftarannya sama dengan di Al-Azhar Pusat, sekitar Rp 1 juta. Perguruan Al-Azhar Pusat di Kebayoran Baru dikelola oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI), sedang Al-Azhar Filial di Kebayoran Lama dikelola Yayasan Pembangunan Umat Islam (YPUI). Kedua yayasan ini memang pernah "tegang" menyangkut urusan keuangan. YPI menuduh administrasi dan keuangan YPUI tidak beres, dan karena itu YPI menghendaki kerja sama yang pernah ada dibatalkan. Yang gelisah jika kerja sama itu putus adalah pengurus jamiah TK dan SD Al-Azhar Filial. Karena itu, mereka mendesak seluruh pengurus YPUI agar segera dapat membenahi masalah intern administrasi, keuangan, dan organisasi, selain meminta saran kepada semua wali murid lewat surat. Menurut sebuah sumber di YPUI, masalah pengelolaan administrasi dan keuangan di YPUI memang agak ruwet, terutama sejak perguruan itu mendapat pasaran. Kabarnya. YPUI sebagai pengelola Al-Azhar Filial tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan YPI. Persoalannya berkaitan dengan masalah tertib administrasi dan bagi hasil. H. Mahfudh Makmun, Direktur Perguruan Al-Azhar Kebayoran Baru, membenarkan bahwa kerja sama YPI dan YPUI itu "menyangkut" di masalah keuangan. Semestinya, kata Mahfudh, YPUI melaporkan audit keuangan, perkembangan sekolah, dan sebagainya. "Tapi kami menemui kesulitan. Bahkan untuk bertemu siapa yang berwenang melaporkan hal itu, juga sulit," kata Mahfudh Makmun. Ada kesan, karena YPUI sudah kuat, mereka lantas enggan bekerja sama lagi. Namun, menurut Yoyo Taryono Zakaria, seorang staf YPUI, masalah itu sudah dianggap selesai. Sudah ada kesepakatan dengan Al-Azhar Pusat untuk tetap memakai nama Al-Azhar di sekolah filial Kebayoran Lama. "Bahkan Jumat pekan lalu kami sudah membentuk pengurus baru," kata Yoyo. Dengan demikian, "Isu perpecahan dan dilarangnya memakai nama Al-Azhar, yang sudah beredar sejak dua tahun lalu, insya Allah dapat diselesaikan dengan baik," kata Nur Jannah, Kepala Taman Kanak-Kanak di Al-Azhar Filial. Tapi, menurut Mahfudh, dalam hal ini masih harus dilihat perkembangannya. "Kalau bisa dilanjutkan, ya, kerja sama diteruskan. Tapi kalau tidak bisa, ya, apa boleh buat. Bagi kami, ya, tak apa-apa putus," katanya. Al-Azhar Filial, yang memiliki gedung megah berlantai tiga, punya 86 siswa TK dan 533 murid SD. Minat orangtua murid menyekolahkan anaknya di sini tetap tinggi. Seperti yang dikatakan seorang wali murid, ia berani membayar mahal karena "Al-Azhar itu jaminan mutu". Cikal-bakal Al-Azhar sebagai nama sebuah perguruan dimulai dari sebuah pengajian anak-anak sore hari di Masjid Al-Azhar, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta. Pengajian itu kemudian dikembangkan menjadi taman kanak-kanak, 1963. Pada mulanya para gurulah yang sibuk mencari murid, tidak sebaliknya, seperti sekarang. Lima tahun kemudian didirikan SD, lalu SMP (1969), dan SMA (1974). Kini sekolah Al-Azhar yang ada hubungannya dengan Al-Azhar Pusat ada 19 buah. Masing-masing 8 TK, 7 SD, I SMP, 1 SMA, dan Pendidikan Islam Al-Azhar (PIA). Itu tersebar di Jakarta, Cirebon, dan Sukabumi, dengan jumlah murid 4.989 orang. Sejak sekolah tersebut melebarkan sayap keluar dari kompleks Masjid Al-Azhar, diperkenalkan berbagai status. Ada status cabang yang sepenuhnya dikelola oleh Pusat, misalnya di Cakung, Pasar Minggu. dan Kemanggisan. Ada status filial, yakni kerja sama dengan yayasan lain, seperti di Kebayoran Lama dan Cirebon. Asetnya dipikul bersama dan hasilnya dibagi dua. Pengangkatan guru-guru dan kepala sekolah di filial harus setahu YPI yang mengelola Al-Azhar Pusat. Kemudian ada status di bawah bimbingan. Yakni sekolah itu sepenuhnya dikelola yayasan lain dan YPI membantu penyediaan tenaga guru dan menggariskan kurikulum. Contohnya di kompleks perumahan Jaka Permai Bekasi dan di Sukabumi. "Nah, di sini Al-Azhar Pusat tidak mengambil keuntungan," kata Mahfudh. Di luar itu, ternyata masih ada sekolah Al-Azhar yang tidak punya hubungan organisatoris dengan Al-Azhar Pusat. Misalnya, Al-Azhar di Pondok Labu dikelola Yayasan Anakku -- dan Al-Azhar di Kemang, yang dikelola yayasan Syifa Budi. Kedua sekolah ini ada di Jakarta Selatan. Yang di Pondok Labu, sejak berdiri sudah tak ada kaitannya dengan Al-Azhar Pusat. Sedang yang di Kemang, semula adalah filial. Sejak 1983, Al-Azhar Kemang berdiri sendiri dan kini malah membuat filial di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sejumlah anak dan cucu pejabat tinggi bersekolah di Al-Azhar Kemang. Kenapa boleh? Menurut Maulwi Saelan, Ketua Yayasan Syifa Budi, tak ada larangan memakai nama yang sama. Ia menunjuk kata Al Ikhlas yang dipakai nama oleh banyak masjid dan sekolah. Apalagi pengertian Al-Azhar bisa beragam. Menurut bekas pemain sepak bola ini, pihak YPI mengartikannya sinar. "Kami mengatakan Al-Azhar itu sebagai taman bunga," kata Maulwi. Yang jelas, menurut Mahfudh, YPI kini tengah berusaha keras mendaftarkan nama Al-Azhar ke Direktorat Jenderal Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman. Kalau sudah mendapatkan hak paten, "Kami akan mengadakan musyawarah dengan lembaga-lembaga pendidikan yang memakai nama Al-Azhar tapi tak punya hubungan organisatoris dengan kami," katanya. "Bagaimana penyelesaiannya nanti, tentu kami menginginkan kebaikan." Mudah-mudahan, tak ada yang cemas.Agus Basri, Priyono BS, Anto, dan Tommy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini