Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir mengatakan kapasitas vaksinasi gotong royong atau mandiri bisa mencapai 3-4 juta vaksinasi per bulan. Kapasitas itu bisa tercapai dengan memanfaatkan kesiapan 806 fasilitas layanan kesehatan di seluruh Indonesia. “Kalau semua bisa dioptimalkan, ini akan membantu. Kalau diasumsikan satu tenaga vaksinator bisa melakukan 75-100 vaksinasi per hari, vaksin gotong royong bisa melakukan vaksinasi 3-4 juta per bulan," ujarnya kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, sebanyak 806 fasilitas layanan kesehatan yang siap itu terdiri atas 65 fasilitas kesehatan yang dimiliki jaringan Bio Farma, 504 fasilitas kesehatan di bawah PT Kimia Farma, dan 237 jaringan fasilitas kesehatan swasta. Sedangkan untuk ketersediaan vaksin, Bio Farma sedang melakukan negosiasi dengan dua pengembang vaksin, yaitu Sinopharm dari Cina dan Moderna asal Amerika Serikat.
Honesti mengatakan Bio Farma akan memasukkan sekitar 15 juta dosis vaksin Sinopharm sampai kuartal kedua tahun ini. “Kami sedang finalisasi negosiasi dengan Sinopharm dan juga sedang proses untuk mendapatkan EUA atau otorisasi penggunaan darurat dari Badan POM.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan dari Moderna, Bio Farma berencana mendatangkan sekitar 5,2 juta dosis vaksin mulai kuartal ketiga 2021. Honesti mengatakan vaksin Moderna berbeda dengan Sinopharm. “Menggunakan platform, yaitu mRNA, dan memang ada spesifikasi khusus dari cold chain serta membutuhkan suhu minus 20 derajat,” ujarnya.
Honesti mengatakan, berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri Indonesia sebagai pihak yang melakukan registrasi vaksinasi untuk korporasi, terdapat 7,5 juta karyawan dan keluarganya yang terdaftar dalam program vaksinasi gotong royong. Dengan asumsi setiap orang mendapat dua dosis, Holding BUMN Farmasi akan memasok sedikitnya 15 juta dosis vaksin untuk vaksinasi gotong royong.
Adapun dosen Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Aluicia Anita Artarini, mengatakan vaksin dan obat memiliki efek samping. Menurut dia, wajar apabila masyarakat mengalami kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) setelah menerima vaksin Covid-19.
Anita mengatakan tubuh memberikan respons terhadap vaksin dengan terjadinya demam, pegal, atau badan lemas. Risiko itu selalu ada. "Kalau obat mengobati, kalau vaksin mencegah," ujarnya, kemarin.
Dia menambahkan, vaksin dapat diedarkan jika dalam proses pengujiannya memiliki manfaat yang lebih besar daripada efek sampingnya. "Jadi, selama efek mencegahnya lebih besar, dari segi regulasi pasti lebih dibicarakan," kata Anita.
Anita menuturkan, rasa pegal, demam, lemas, dan sakit kepala merupakan efek samping yang wajar. Tidak hanya pada vaksin Covid-19, jenis vaksin lain pun memiliki KIPI yang tidak jauh berbeda. “Kalau pegal atau pegal linu itu artinya tubuh kita merespons. Kalau divaksin, tubuh harus membuat antibodinya supaya kalau nanti virus patogennya masuk, dia tidak sakit," tuturnya.
Anita menegaskan, vaksin Covid-19 yang sudah beredar, termasuk AstraZeneca, telah melalui beberapa tahapan uji klinis. Pengujiannya pun dilakukan bukan untuk mencari efek sampingnya, melainkan aman atau tidaknya digunakan untuk manusia. "Kalau vaksin itu tidak aman, tidak akan diizinkan beredar. Jadi, banyak yang menjalani uji klinis. Uji klinis pertama yang dijalani bukan untuk mengetahui efeknya, melainkan aman atau tidak," ujarnya.
Anita menjelaskan, apabila vaksin tidak aman, uji klinis fase ketiga untuk mengecek efikasinya tidak akan dilanjutkan. “Karena yang dilihat adalah aman atau tidak, begitu aman, cek untuk efikasi.”
ALI N.Y. | ANTARA
#ingatpesanibu #cucitangan #pakaimasker #jagajarak
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo