Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Cuma Jual Tampang

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

URUSAN politik membuat artis Marissa Haque dan Desy Ratnasari harus berhubungan dengan polisi dan pengadilan. Bukan karena terlibat perkara kriminal, tapi sekadar untuk mendapat surat keterangan berkelakukan baik, tak pernah dipidana berat, dan tak terlibat PKI. Mereka juga harus memeriksakan kesehatan. Pula, ini yang agak seru: mengorek kembali slip gaji dan pendapatan suami.

"Masya Allah, ribet banget, deh," tulis Icha, begitu istri penyanyi Ikang Fawzie itu biasa disapa, dalam pesan singkat yang dikirim ke telepon genggam TEMPO, Kamis pekan lalu. Toh, akhirnya dia lega karena semua urusan kelar dalam dua hari. "Tadi aku dan Desy sudah menyerahkan semua berkas," tulisnya lagi. Boleh jadi, tak lama lagi keduanya tak cuma bisa dilihat lewat panggung sinetron. Mereka bakal wara-wiri dan ber-cas-cis-cus ria setiap hari di segenap ruang rapat Gedung DPR Senayan.

Sejak November lalu, Icha dan pelantun lagu Tenda Biru Desy resmi menjadi calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan. Jangan kaget, keduanya bukan cuma menjadi calon pajangan untuk menarik simpati massa alias vote getter. Nama keduanya nangkring di peringkat atas, biasa disebut "nomor topi" atau "calon jadi". Icha ditaruh di nomor dua setelah Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, untuk daerah pemilihan Kota Bandung, sementara Desy ditempatkan di Bogor.

Trik memasang artis dan figur publik juga dipakai partai lain. Partai Golkar memajang artis Nurul Arifin, yang memulai debutnya sejak main film Nagabonar. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempatkan Rieke Dyah Pitaloka, si pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri tayangan stasiun televisi swasta yang diminati banyak pemirsa. Partai Amanat Nasional (PAN) memasang aktor laga Dede Yusuf. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) diramaikan musisi Franky Sahilatua dan Hary Roesli.

Beberapa di antara mereka memang punya "akar". Hary Roesli, misalnya, selain sebagai pemusik, dia juga sibuk dengan komunitas anak muda Bandung yang doyan musik. Para pengamen juga ia akrabi. Hary belakangan rutin menulis kolom sindiran yang kritis di surat kabar. Nurul Arifin, calon untuk daerah pemilihan Karawang, Jawa Barat, mulai keluar-masuk mengenali daerah itu. Ia kini menjadi penggiat LSM di bidang pemberantasan HIV/AIDS, yang rasanya klop dengan jalur pantai utara itu. "Saya merasa cukup dekat dengan apa yang biasa saya kerjakan," katanya suatu kali kepada Koran Tempo.

Anda penggemar lagu-lagu keroncong? Jangan khawatir. Jika tak ada aral melintang, kelak ada wakil rakyat yang sangat pas sekaligus bisa mengobati rasa kangen Anda dengan langgam nostalgia. Dialah Mus Mulyadi, yang dicalonkan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Cak Mus tentu saja bukan berambisi mengharuskan musik keroncong diputar di tengah jeda sidang Dewan. Misinya serius banget. Ia ingin dunia politik tak lagi diwarnai kolusi. Tapi, kalau masih tetap amburadul? "Saya akan mundur," tutur adik ipar pengamat politik Daniel Sparingga itu.

Artis senior juga tampil. Ibu-ibu yang gemar ngerumpi politik dan mengidolakan artis kawakan Mieke Widjaya, 63 tahun, bisa ikutan senang. Bunda artis Nia Zulkarnaen itu masuk ke daftar yang diajukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mieke siap mengikuti pembekalan khusus sebelum berkantor di Senayan kelak. Ia kini mulai rajin baca koran, memonitor isu aktual soal politik. "Tak ada yang berat, asal kita mau belajar," kata Ketua Departemen Seni dan Budaya PPP itu.

Elite partai menjamin kualitas artis yang mereka usung. Ketua Umum PNBK Erros Djarot mensyaratkan semua jagonya harus punya kepedulian terhadap partai dan lingkungan sosial-politik. "Jadi, bukan sekadar jual tampang," katanya. Buktinya memang ada. Periode lalu, ada bintang film Sophan Sophiaan, yang masuk kandang PDI Perjuangan dan dikenal begitu vokal menyuarakan aspirasi wong cilik. Tapi belakangan ia mundur dari Dewan karena kecewa berat terhadap parlemen dan partainya.

Sudrajat, Hanibal, Yophiandi (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus