Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat 110 tahun yang lalu, pada 17 Februari 1908, Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Hingga kini, kehadirannya telah memberikan kontribusi yang besar di Indonesia, terutama di bidang sastra dan keagamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai sastrawan dan penulis, Hamka dikenal dengan berbagai tulisannya. Sejumlah karyanya yang dikenal hingga kini antara lain Tafsir Al Azhar, Di Bawah Lindungan Kabah, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novel Tenggalamnya Kapal Van der Wijck adalah salah satu karyanya yang fonemenal juga kontroversial. Ia mendapat sambutan hangat sejak pertama kali kisah itu diterbitkan sebagai cerita bersambung pada majalah Pedoman Masjarakat pada 1938. Cerita roman mengenai tradisi adat Minangkabau ini pun akhirnya diterbitkan menjadi novel.
Hamka yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah pun mendapat beragam respon dengan terbitnya novel roman tersebut. Ia pernah menerima surat dari seorang pemuda yang mengungkapkan kesannya pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Pemuda itu mengaku telah membaca karya itu berulang-ulang. “Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri,” demikian tulis pemuda itu seperti dikutip dari Majalah Tempo Edisi 15 Oktober 2007.
Banyak lagi surat dan telegram senada yang dialamatkan kepada Hamka. Maklum saja, penggemarnya banyak.
Yunan Nasution, kolega Hamka di Pedoman, mempunyai kisah tentang cerita bersambung itu. Setiap Rabu malam, saat terbitnya mingguan itu, di stasiun Kutaraja (Banda Aceh) banyak orang menunggu. Bukan hanya para agen penjual majalah, ratusan pembaca yang sudah tak sabar menanti kelanjutan Van Der Wijck turut menanti.
Cerita itu sebenarnya diilhami peristiwa nyata kapal Van Der Wijck. Kapal yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, itu tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936.
Novel itu berkisah tentang Zainuddin, yang gagal mempersunting Hayati karena perbedaan suku dan strata sosial. Zainuddin, yang berdarah campuran Minang-Bugis, dianggap tak pantas mengawini Hayati, orang Minang tulen keturunan pemuka suku di Batipuh, Padangpanjang, di negeri Minangkabau. Zainuddin berusaha mendobrak adat feodal saat itu.
Hamka juga melukiskan denyut perubahan di perkotaan Minangkabau. Perempuan tak lagi mengenakan baju adat yang tertutup rapat melainkan berpakaian modern ala gadis Eropa. Kaum lelaki mulai gemar menghamburkan uang di meja judi, seperti tokoh Aziz dalam buku itu.
Dalam sastra modern Indonesia, Hamka memang diakui sebagai penulis produktif. Ia telah membukukan sekitar 118 tulisan mencakup bidang agama, filsafat, dan sastra. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan novel monumentalnya, selain Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Meski sempat dituduh sebagai hasil plagiat, novel itu telah mencuatkan namanya, tak hanya di Indonesia, tapi juga sampai Malaysia. Di Indonesia Van Der Wijck dicetak 14 kali, dan di Malaysia dicetak 9 kali.
Hanya, posisi Hamka sebagai ulama sekaligus pengarang roman sempat dibuat repot. Sejumlah pembaca muslim ada yang menolak Van Der Wijck karena menurut mereka, seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Hamka pun pernah dijuluki kiai cabul.
Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 bertarikh 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama ini merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
Buya Hamka meninggal pada 24 Juli 1981 setelah sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Ia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir. Pada 2011, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional padanya. Namanya juga diabadikan menjadi nama perguruan tinggi Islan milik Muhammadiyah.