Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cermati Masa Depan Kebebasan Akademik Indonesia, KIKA: Waspadai Kultur Militeristik di Era Prabowo

Koordinator KIKA, Satria Unggul, mengatakan, keperpihakan kepemimpinan politik perlu diuji dalam mempertahankan kebebasan akademik.

28 Oktober 2024 | 09.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Satria Unggul Wicaksana Dosen UM Surabaya. um-surabaya.ac.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) mencermati masa depan kebebasan akademik di Indonesian pada era Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koordinator KIKA, Satria Unggul, mengatakan, keperpihakan kepemimpinan politik perlu diuji dalam mempertahankan kebebasan akademik. Pengujian ini penting mengingat kultur militerisme mulai menguat. Hal ini, kata Satria, ditandai dengan sikap antikritik di awal pemerintahan Prabowo. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Mulai ada moderasi sikap dengan standar ‘demokrasi santun’, termasuk pembekuan organisasi akademik di kampus, respon atas pernyataan satire BEM Fisip Unair maupun pelemahan kelembagaan riset di institusi BRIN," kata Satria dalam keterangan resmi, Senin, 28 Oktober 2024.

Satria mengatakan, pemerintah ke depan perlu menyelesaikan berbagai masalah akademik di era pemerintahan mantan Presiden Jokowi. Selama 10 tahun menjabat, Satria menilai, kepemimpinan Jokowi memiliki banyak catatan buruk seperti pelanggaran etika dan praktik kooptasi politik. Praktik itu dilakukan melalui penundukan atas proses yang nepotisme melalui Mahkamah Konstitusi (MK), hingga propaganda apresiatif kampus di masa Pemilu.

Selain hal itu, Satria menilai, proses keberlanjutan tata kelola pendidikan tinggi kian melemah akibat terbongkarnya mafia guru besar di lingkungan pendidikan tinggi. Tata kelola juga melemah dengan isu kepemimpinan koruptif di kampus, serta meluasnya intimidasi dan tekanan terhadap kebebasan akademik. "Sehingga, situasi pendidikan tinggi di Indonesia alami pemburukan," kata Satria. 

Belum lagi, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi/ Kemenristekdikti melakukan intervensi politik dalam pemilihan rektor. Kementerian, kata Satria, memiliki hak suara 35 persen dalam pemilihan rektor pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui Majelis Wali Amanat (MWA).

Menurut Satria, intervensi politik-ekonomi terhadap arah kebijakan pendidikan tinggi menjadi persoalan selama ini. Apalagi, MWA berasal dari kalangan politisi, penegak hukum, dan aktor yang memiliki pengaruh (influence). 

Selain itu, kebebasan akademik diganggu karena dosen dikekang dengan segala macam tuntutan birokratisasi. Hal ini membuat nalar kritis akademisi menjadi tumpul dan kemerdekaannya dalam membangun nalar kritis semakin melemah.

Karena itu, Satria meminta komitmen Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi membentengi kebebasan akademik, memenuhi kesejahteraan dosen, dan melindungi iklim produksi pengetahuan. Belum lagi, kultur militerisme mulai tampak di era Prabowo. Misalnya pembekuan organisasi akademik di kampus karena merespon pernyataan satire BEM Fisip Unair.

Kementerian, kata Satria, harus menghentikan problem feodalisme di dunia akademik yang saat ini terus mengawetkan simbolisasi gelar kehormatan, simbolisasi militer, represi kritik yang kian lumrah. Dalam konteks itu, kepemimpinan politik terhadap kebebasan akademik harus dihadirkan. Negara, dalam hal ini Pemerintah, harus paham dan sadar terhadap upaya pembatasan kebebasan akademik sebagai masalah serius.

Satria menilai, hal itu perlu dilakukan karena kebebasan akademik sebagai bagian dari demokrasi dan HAM. Kebebasan akademik merupakan hukum HAM yang telah diakui di Indonesia, termasuk di dalamnya kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi.

"Sehingga perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM," kata Satria.

Karena itu, Satria meminta kampus tidak boleh dipolitisir, membiarkan kultur feodalisme, korporatisme, yang mengabaikan fungsi utama dalam pemenuhan hak atas kebebasan akademik di lingkungan pendidikan tinggi maupun lembaga riset.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, harus lugas dan imajinatif dalam membaca arah perlindungan kebebasan akademik beserta orientasi yang konkret dalam melindungi kebebasan akademik

Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) dibekukan usai membuat karangan bunga satire untuk Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dekanat FISIP Unair beralasan bahwa karangan bunga itu tidak beretika.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus