HAK asasi manusia setua usia budaya. Asia dan Timur Tengah tercatat mengenalnya jauh lebih dini ketimbang Eropa, apalagi Amerika. Babylonia, 4.000 tahun silam, telah punya Kode Hukum Hammurabi yang melindungi si lemah dari penindasan si kuat. Di Mesir, 1.500 tahun sebelum Masehi, keluar maklumat Raja Thutmose kepada hakim agung Rekhmire. Raja minta agar lembaga peradilan memperlakukan rakyat secara adil. Masyarakat India dan Cina kuno sempat pula merasakan adanya hukum yang menjamin hak asasi. Dan gerakan moral-etik membela hak asasi ini makin tampil ke depan ketika agama-agama Kristen dan Islam hadir pada awal abad Masehi. Di Indonesia, sejarah perjuangan hak asasi tampil tatkala muncul gerakan anti-penjajahan. Dan perdebatan menjadi serius dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang menjiapkan dasar negara dan konstitusi tahun 1945. Pada perdebatan itu Soepomo-Bung Karno berhadapan dengan Muh. Yamin- Moh. Hatta. Yamin-Hatta menuntut agar pasal-pasal yang memberikan jaminan hak asasi disebut secara tegas. Soepomo dan Bung Karno menolak. Soepomo berpendapat bahwa penyebutan hak asasi secara detil dalam konstitusi mencirikan individualisme dan liberalisme. ''Tak sesuai dengan paham kekeluargaan, gotong royong, keadilan sosial,'' katanya kala itu. Namun Hatta dan Yamin jauh-jauh hari telah mengingatkan, bentuk integralistik membuat negara terlalu kuat. Salah-salah, negara bisa mengabaikan hak asasi warganya, dan menjadi sewenang- wenang. Yang terjadi kemudian adalah kompromi. Maka lahirlah Pasal 27 dan 28 dalam UUD 45. Pasal 27 antara lain menjamin bahwa semua warga negara sama di hadapan hukum dan pemerintah, dan berhak atas penghidupan yang layak. Lantas Pasal 28 menjamin warga negara bebas berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat. Namun di mata ahli hukum Dr. Adnan Buyung Nasution, apa yang disebut dalam kedua pasal itu belum cukup. Ia beranggapan bahwa Pasal 28 UUD 45 itu menyodorkan jaminan ragu-ragu untuk hak asasi manusia karena ada catatan: ''pengaturannya akan dilakukan dengan undang-undang''. Ini, kata doktor lulusan Universitas Utrecht itu, membuka peluang ketentuan itu dibelokkan. Ia menunjuk UU Antisubversi. Orang bisa ditahan dengan tuduhan sederhana: menghasut. Suardi Tasrif (almarhum), seorang pengacara dan tokoh pers, melihat dengan sudut yang berbeda. Bagaimanapun pasal-pasal dalam UUD 45 tak kalah dengan spirit four freedoms yang dicetuskan Presiden F.D. Roosevelt di Konggres AS tahun 1941. Empat bebas: berbicara, beragama, dari ketakutan, dan kekurangan, itu konon yang mengilhami Deklarasi HAM PBB 1948. Dan bagi seorang Soepomo atau Muh. Yamin, UUD 45 bukan hasil final pembentukan konstitusi. Tahun 1950 kedua tokoh ini kembali bertemu untuk menyusun UUDS 1950. Pada forum itu, menurut Buyung yang disertasinya banyak mengulas perjalanan konstitusi, Soepomo pada 1950 bukan lagi Soepomo tahun 1945. Ia menjadi seorang liberalis. ''Beliau menjadi sangat pro-hak asasi,'' katanya. Maka 28 pasal, dari 146 pasal pada UUD 1950, merinci secara khusus masalah hak asasi manusia. ''Semua pasal dari Deklarasi HAM PBB diboyong masuk,'' katanya. Maka di situ ada ketentuan anti-perbudakan, anti-kerja paksa, bebas keluar-masuk negeri sendiri, tak bisa ditangkap semena-mena. Soepomo bangga dan mengklaim UUD 1950 itu lebih maju dari konstitusi mana pun kala itu. Andalan Soepomo adalah pasal hak rakyat berdemonstrasi dan hak buruh mogok. ''Tak ada konstitusi yang memuat kedua hal itu,'' kata Soepomo. Semangat UUD 1950 itu agaknya yang melahirkan Konstituante yang bertugas menyusun dan mengesahkan UUD yang lebih representatif. Lembaga yang beranggotakan 514 orang itu mulai bekerja 10 November 1956, dan dibubarkan lewat Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Namun Buyung berani mengatakan bahwa Konstituante tak gagal. Paling tidak, selama persidangannya di Bandung, pelbagai pemikiran kenegaraan telah muncul, termasuk hak asasi. Ketentuan HAM yang dianggap final sekitar 20 pasal. Setelah Konstituante bubar dan sistem parlementer dicabut, Indonesia masuk ke gaya Demokrasi Terpimpin Bung Karno, yang menenggelamkan diskurs tentang hak asasi manusia. Demokrasi terpimpin pun runtuh bersamaan dengan jatuhnya Bung Karno setelah didahului G-30-S PKI. Orde Baru lahir. Harapan baru tentang hak asasi muncul kembali. Namun, menurut Buyung, arus besar yang mengalir adalah pemikiran konsep negara integralistis Soepomo tahun 1945. Pemikiran tentang liberalisme dan individualisme, yang dianggap menjadi induk dari HAM, dijauhi. Kendati demikian, menurut Todung Mulya Lubis, doktor hukum dengan disertasi tentang hak asasi, di zaman Orde Baru ini lahir pula dokumen hukum yang berpihak pada hak asasi. Ia menunjuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lahir 1981. Yang paling menonjol, misalnya, tersangka kejahatan tak bisa diperlakukan semena-mena. ''Saya beri nilai tujuh untuk KUHAP,'' ujarnya. PTH dan LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini