UNDANG-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULAJ) Tahun 1992 kini tak mau ditawar lagi. Setelah setahun ditunda karena diprotes masyarakat karena ancaman denda dan hukumannya kelewat tinggi UU itu akan segera dilaksanakan. ''UU itu tetap diterapkan sesuai dengan rencana semula, 17 September 1993, bertepatan dengan Hari Perhubungan Nasional,'' kata Menteri Perhubungan,Haryanto Dhanutirto. Untuk pelaksanaannya, telah disiapkan empat buah peraturan pemerintah (PP) yang diteken Presiden Soeharto pada 5 Juli dan 12 Juli lalu. Keempat PP itu adalah Prasarana dan Lalu Lintas, Kendaraan dan Pengemudi, Angkutan Jalan, serta Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan. UU itu diuji coba serentak mulai Selasa pekan ini. Artinya, pelanggar lalu lintas akan dikenai denda tilang gaya baru. Ca- ranya, mereka bisa menyetor uang denda ke bank yang ditunjuk (BRI) sambil menunggu proses selanjutnya yang dilakukan petugas, atau datang ke pengadilan bila tak menyetujui denda yang disodorkan polisi. Kritik yang muncul toh tak jauh dari soal besarnya denda dan pidana tilang yang ditetapkan daerah masing-masing. Di Bali, misalnya, forum pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian (semacam forum Mahkejapol atau Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Polri di tingkat pusat) sudah menetapkan denda tilang atau ''uang titipan'' untuk masa uji coba dua bulan ini. Besarnya antara Rp 5.000 dan Rp 300.000. Keputusan itu segera menyulut protes dari pelbagai pihak, termasuk dari Gubernur Ida Bagus Oka sendiri. Di Surabaya, semula ditetapkan denda tilang tak lebih dari Rp 30.000 atau kurungan 10 sampai 15 hari. Jumlah ini terhitung masih amat ringan ketimbang denda maksimal yang tertera di UU Lalu Lintas Nomor 3/1992. Tak punya SIM (pelanggaran berat) dikenai Rp 30.000, sementara denda menurut UU 1992 besarnya Rp 6 juta.Di tengah simpang-siur peraturan lalu-lintas itu, turunlah Surat Edaran Mahkamah Agung ke pengadilan di daerah pekan lalu. Isinya, sebelum UU Lalu Lintas berlaku 17 September 1993, besarnya denda ditetapkan berdasarkan UU lama, No. 3/1965. Setiap daerah telah menetapkan angka terendah. Ada daerah yang mematok mulai Rp 2.500, tapi ada pula yang Rp 8.000. Di Surabaya, misalnya, pelanggaran ringan (SIM atau STNK tertinggal) kena Rp 8.000, pelanggaran sedang (STNK habis masa berlakunya) Rp 9.000, dan pelanggaran berat (tak punya SIM atau STNK) didenda Rp 10.000. Yang ditunggu-tunggu adalah denda setelah 17 September nanti. ''Tentu tak njeglek langsung dendanya tinggi. Kami terapkan bertahap,'' kata Kepala Dispen Polri, Kol. K. Ratta. Di Surabaya, misalnya, setelah undang-undang tersebut berlaku, pelanggar lalu lintas dikenai denda Rp 10.000(ringan), Rp 20.000 (sedang), dan Rp 30.000 (berat), atau rata-rata dua kali lipat dari masa uji coba. Dalam dengar pendapat Kepala Polri dan Komisi III DPR, Rabu pekan lalu, sempat dipersoalkan bahwa tingginya denda bisa jadi akan mengerek tarif ''denda damai'' di jalanan. Apalagi kini sistem pembayarannya berbelit, harus lewat bank segala. Namun, Letjen Banurusman membantah bakal menggilanya ''denda damai'' itu. ''Sudah cukup banyak anggota polisi yang kena tindak karena nakal,'' katanya. Masyarakat, ujarnya, bisa melaporkan polisi yang mengutip ''denda damai'' itu lewat Kotak Pos 7777 di Mabes Polri atau 777 di tiap polda dan polres. Kalau ada yang menyuap polisi? Bisa diancam hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. Ardian Taufik Gesuri, Ahmad Taufik, dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini