JENDERAL (Purn.) Abdul Haris Nasution, orang tua yang sudah sakit-sakitan,belakangan ini amat membatasi kegiatannya. Toh Pak Nas masih menyediakan waktu untuk pers. Mengenakan kaus oblong dan sarung kotak-kotak cokelat tua, konseptor dwifungsi ABRI itu menerima wartawan TEMPO Agus Basri dan Iwan Qodar di rumahnya Jumat malam lalu. Sebelumnya Dwi Setyo Irawanto dari TEMPO juga mewawancarainya secara tertulis. Berikut petikan dari kedua wawancara itu: Beberapa pengamat mengaitkan kunjungan empat jenderal di RS Gatot Subroto dengan kunjungan Ali Sadikin ke PT PAL dan IPTN. Bagaimana Pak Nas melihatnya? Saya tidak berani bertanya kepada Pangab apakah mereka datang karena itu. Mereka sudah datang dengan baik. Apa saya harus bertanya tentang itu? Lantas menjadi seperti interogator lagi, ha...ha...ha.... Ada yang menilai sikap pimpinan ABRI itu sebagai terobosan. Itu benar. Tindakan pimpinan generasi penerus ABRI saya anggap sebagai tahap awal dari terobosan atas isolasi total yang selama ini kami alami. Bukan hanya pencabutan cekal terhadap Petisi 50 yang lain yang masih perlu diusahakan, tapi agar cara-cara yang kami alami jangan berulang lagi. Jadi, Anda mensyukurinya?Ya. Dan tindakan itu sesuai dengan komitmen TNI kepada UUD '45. Sejak kapan Anda merasa dicekal?Sebenarnya saya sudah dicekal sejak tahun 1971, ketika masih menjadi Ketua MPRS. Saya dan istri juga tidak boleh diundang pada acara pernikahan anak-anak Bu Gatot Subroto, Bu Yani, dan lainnya. Dilarang pula menyampaikan khotbah di mesjid sendiri di Cut Meutia. Tapi yang paling menyakitkan adalah upaya untuk menjaring saya dalam peristiwa pembajakan Woyla. Katanya yang tertembak di atas pesawat itu, sebelum mengembuskan napas terakhir, mengatakan agar segera melapor kepada Jenderal Nasution. Di sini, sebagai prajurit, saya merasa berat dicurigai instansi pemerintah, dengan alasan dapat membahayakan negara. Presiden Soeharto bilang tidak pernah ada instruksi cekal bagi Anda. Memang itu kata Habibie. Dia datang sendiri ke saya, dan kami bicara selama sejam. Menurut Rudy Habibie, Presiden tidak pernah menyuruh mencekal saya dan istri saya. Apa Anda juga menanyakan ihwal rekan-rekan yang lain, seperti Pak Ton (H.R.Dharsono) dan Ali Sadikin?Tentang yang lainnya saya tidak tahu. Saya tidak menanyakan kepada Habibie bagaimana mengenai Pak Ton dan lainnya. Mengapa tidak?Ya, kalian tentu bisa menafsirkan sendiri, bahwa hubungan kami ini tidak seperti sebuah senat dan mahasiswanya Ada yang melihat pendekatan tersebut sebagai langkah awal dari suatu upaya rekonsiliasi (perdamaian). Betulkah?Rekonsiliasi itu bila ada dua pihak yang bermusuhan. Sedangkan kami merasa tidak bersikap memusuhi pemerintah. Jadi, lebih tepat kalau disebut sebagai perbedaan pendapat, yang dalam Islam adalah suatu rahmat. Jadi, saling ingat-mengingatkan. Apa ada keinginan untuk bisa bertemu Presiden?Ya. Namun, kami ini kan termasuk yang lemah. Andai kata Anda bertemu Pak Harto, apa yang akan disampaikan?Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa sebagai sesama muslim, apa yang saya dan rekan-rekan yang lain alami adalah yang terakhir. Jadi, seperti sudah saya katakan tadi, tidak akan terulang lagi. Kedua, posisi kami lebih banyak sebagai teman seperjuangan. Jadi, tidak akan debat-mendebat, atau tentang- menentang. Itu bukan sifat saya. Memangnya ada orang yang ingin begitu?Ya, ada orang yang menginginkan saya seperti raja bertemu dengan raja lalu diadu. Pakai gendang pula supaya ramai. Tapi orang sudah berusia 74 tahun seperti saya ini disuruh begitu buat apa. Apa selama lebih 20 tahun itu tidak ada komunikasi sama sekali antara Pak Nas dengan Pak Harto? Ada juga, sekalipun hanya melalui kartu Lebaran. Setiap tahun saya mengirim kartu Lebaran kepadanya, dengan tulisan tangan saya sendiri. Saya mendapat ucapan balasan, berisi tulisan yang dicetak. Maklum, Presiden tentunya mendapat ribuan kartu Lebaran. Sedangkan saya cuma ratusan, jadi masih bisa menulis sendiri. Jadi, kalau nanti sempat bertemu Presiden, lalu bersalam- salaman, maka masalah yang masih mengganjal dianggap selesai? Itu sudah politis, itu soal lain. Kami paling hidup tinggal lima atau sepuluh tahun lagi. Entahlah. Insya Allah, kalau kelak kami-kami ini dibawa ke makam, sudah tidak ada lagi soal-soal yang mengganjal tadi. Saya kira itu lebih penting bagi orang tua seperti saya, daripada pertikaian politiknya. Omong-omong, sampai kapan Pak Nas masih harus berobat jalan? Hari Senin nanti (Senin pekan ini Red.) saya harus cek darah lagi untuk mengatur obat-obat yang diberikan dokter kepada saya. Maksudnya agar obat-obat yang saya makan tidak saling bertentangan. Apa tidak sebaiknya berobat di luar negeri? Mungkin. Tapi para dokter di sini juga baik. Pak Ton juga tidak mau berobat di luar negeri karena takut kesepian kalau jauh dari keluarga. Sedangkan Pak Hoegeng berobat ke Negeri Belanda karena beberapa dokter di sana masih familinya. Yah, di sana kehangatan manusia kurang dibandingkan dengan di sini. Jadi, Pak Nas merasa hangat ketika dikunjungi para jenderal...? Ketika tiba-tiba empat jenderal datang menjenguk saya, tentu saya merasa syukur alhamdulillah. Setiap orang tua senang melihat anak-anaknya datang. Walaupun orang lain melihatnya dengan lain juga. Iyakan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini