SUDAH cukup lelah Dudu Abdullah, 51 tahun, pedagang kecil asal Cianjur, melacak jejak kedua anaknya yang hilang sekitar lima tahun lalu. Berbagai instansi, mulai dari kepolisian sampai DPR, sudah didatanginya, namun kedua anaknya, Nano Permana, 30 tahun, dan Soni Iskandar, 28 tahun, sampai sekarang masih raib. "Sebagai upaya terakhir, sehabis Lebaran ini saya akan menggugat Kapolri," kata Dudu. Mengapa Kapolri? Soalnya, satu-satunya bukti yang dipegang Dudu mengenai nasib kedua anaknya itu adalah secarik surat perintah penahanan yang dikeluarkan Kepala Kepolisian Resort Kota (Kapolresta) Pakanbaru tertanggal 18 Agustus 1984. Di surat penahanan, yang ditandatangani Kapolresta Mayor Christ Soepontjo, tertera bahwa Soni ditangkap 16 Agustus 1984. Soni, putra kedua Dudu, memang tinggal di Pakanbaru. Di sana pemuda yang cuma tamat SD itu bekerja sebagai sopir opelet. Kesalahan yang dilakukan Soni kurang jelas. Sebab, surat perintah penahanan itu tak mencantumkan pasal KUHP yang dilanggar tersangka. Di situ cuma tertulis: Soni Iskandar diduga telah melakukan tindak pidana "politik". Ketika berita penangkapan Soni sampai ke Cianjur, Dudu menyuruh putra sulungnya, Nano, menjenguk Soni ke Pakanbaru. Nano berangkat 10 September 1984. Ternyata, sesampainya di kantor Polresta Pakanbaru, Nano langsung ditangkap. Dari berbagai keterangan yang diperoleh Dudu, Soni ditangkap karena membawa kaset rekaman pidato Abdulqadir Jailani. "Kaset itu sebenarnya milik Nano," kata Dudu. Diduga soal kaset itu pula yang menyebabkan Nano ditangkap polisi ketika akan membezuk adiknya. Menurut Dudu, sekitar pertengahan 1984, Abdulqadir Jailani, A.M. Fatwa, dan Mawardi Nur memberikan ceramah di Cianjur. Nano ikut menjadi anggota panitia yang mengurus ceramah para mubalig "keras" tersebut. Ketika itu Nano, yang putus sekolah dari Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Bandung, merekam ceramah para mubalig tersebut. Rekaman itu kemudian dibawa Soni ke Pakanbaru. Kabarnya, kaset itu sering diputar Soni, sampai ia ditangkap polisi. Seperti diketahui, ketiga mubalig tersebut terlibat peristiwa Tanjungpriok, September 1984. "Kalau memang kedua anak saya bersalah karena membawa kaset Abdulqadir Jailani, saya rela mereka dihukum. Yang saya persoalkan, mereka tak pernah diadili, dan tak diketahui di mana mereka sekarang berada," kata Dudu memelas. Tak lama setelah anaknya ditahan, Oktober 1984, Dudu mendapat kabar bahwa Soni dan Nano dipindahkan dari Pakanbaru ke sebuah instansi keamanan di Bandung. Ada dua pemuda Cianjur mengaku bertemu Soni dan Nano di rumah tahanan yang terletak di Jalan Sumatera, Bandung. Ketika Dudu mengecek kebenaran informasi ke Bandung, petugas rumah tahanan di Jalan Sumatera membantah menahan Soni dan Nano. Sebuah sumber di Mabes Polri membenarkan bahwa Soni dan Nano semula ditangkap polisi. "Tapi berdasarkan bukti-bukti yang ada, hilangnya mereka itu bukan dari tangan polisi," ujar sumber itu. Sebab terhitung 20 September 1984, penahanan Soni dan Nano sudah dipindahkan ke instansi lain. Gagal mendapatkan informasi dari rumah tahanan di Jalan Sumatera, Dudu lalu minta pertolongan ke LBH. "Kami sudah dua kali menyurati Kapolresta Pakanbaru, menanyakan nasib Nano dan Soni," ujar Dindin S. Maolani, Direktur LBH Bandung. "Tapi tak ada jawaban sama sekali." Selain minta bantuan LBH, Dudu juga tak jemu-jemunya menulis surat ke berbagai alamat -- mulai dari Kodim Cianjur Pangdam Siliwangi, Pangkopkamtib, Kapolri, Kejaksaan Agung, Pangab, Menhankam, Ketua DPR-RI, sampai Kotak Pos 5000. "Saya sendiri sudah lima kali mendatangi DPR. Hampir semua fraksi, termasuk fraksi ABRI, sudah saya kunjungi. Hasilnya masih tak ada," tutur Dudu mengeluh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini