MALAM berbau alkohol. Sebentar lagi dinihari. Ni Ketut Sudarsiani, 21 tahun, bersama tujuh rekannya baru selesai bertugas sebagai pramuria. Kedelapan gadis itu tinggal di kawasan Kanaawa Ishikawa -- 12 jam perjalanan dengan kereta dari Tokyo. Mereka tinggal di sebuah rumah dua lantai, sebagai markas, yang disediakan sang majikan bernama Sakai, wiraswasta di bidang bar. Yang tidur di lantai bawah malam itu Sudarsiani. Ia ditemani Desak Made Sri Wahyuni, 19 tahun, Ni Gede Luh Purnamawati, (21), dan Ida Ayu Putu Sucitia (21). Kawan lain, Ni Komang Armini (23), Ni Nyoman Alit Angraeni (25), Mi Widi Wijayanti (20), dan Sagung Ayu Mas Suhartini (22) tahun di lantai atas, beralaskan spon tipis, bukan di dipan. Malam itu, 29 April, Sakai sudah kebelet. Lelaki tua bertubuh kerempeng itu lantas menyelinap masuk ke bilik yang ditinggali para gadis Bali yang ia datangkan ke Jepang itu. Ia menyusup ke selimut Sucitia, dan memaksa melayani syahwatnya. Gadis itu menolaknya. Sakai naik pitam dan menghantam Sucitia. Ribut tak terelakkan. Rekan-rekan Sucitia, kendati ada yang dipukul, berani melawan Sakai. Malah mereka menghamhur keluar dan minta pertolongan pada seorang tetangga, lalu memanggil polisi. Paspor kedelapan gadis itu, yang disimpan Sakai, lantas diminta polisi. KBRI dihubungi. Maka, gegerlah kasus pengiriman TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke Jepang, yang kemudian terbukti tak melewati jalur resmi. Bukan seperti laiknya TKW yang beroleh izin dari Departemen Tenaga Kerja, sehingga bebas fiskal. Sudarsiani dan kawan-kawan ke Jepang dengan visa turis dan membayar fiskal Rp 250 ribu. Dirjen Binapenta (Pembinaan dan Penempatan Kerja) Depnaker Ismail Sumarjo mengakui, kasus itu membuktikan bahwa aparatnya tak tanggap. Apalagi kalau diingat perusahaan yang mengirim kedelapan gadis tadi sempat memasang iklan di koran Bali Post sebelum mereka berangkat ke Jepang. "Aparat Depnaker yang membaca iklan seperti itu mestinya mengecek, misalnya perusahaan pengirim itu apa ada dalam daftar. Ditanya pula kalau mau mengirim tenaga kerja ke luar kenapa tidak melapor, izinnya mana, dan sebagainya. Kalau dilakukan, tak bakal terjadi kasus itu," katanya. Sudarsiani dkk. awalnya tertarik pada iklan tersebut, karena ditawarkan kesempatan magang di Jepang selama setahun. Sedang janji digaji 150 ribu yen sebulan diberikan seusai dengan program, setelah kembali ke Bali. Lagi pula, sewaktu di Bali, Sakai juga menyertakan jadwal kegiatan yang ketat. Bahkan ada larangan melakukan hubungan seks dan keluar rumah sembarangan di hari libur. Disebutkan, mereka akan magang di restoran. Di Jepang mereka dipekerjakan sebagai pramuria. Sedang uang sehari-hari mereka peroleh hanya dari tip para tamu. Sakai tak menggaji, bahkan mau menggagahi seorang di antara mereka. Persoalannya kini ditangani polisi. PT Max Bali, yang alamatnya tercantum di iklan mencari tenaga itu, lepas tangan. "Saya tidak tahu-menahu soal pengiriman TKW tersebut. Bidang saya hanya ekspor garmen," kata Ketut Sontra, direkturnya. Letkol. Pol. Drs. I Made Gde Wismaya, eks Kapolres Badung yang disebut menghubungkan gadis-gadis itu dengan Sakai, tak menyangka bahwa kenalannya dari Jepang itu menelikungnya. Dan Wismaya menampik tuduhan seakan ia menjerumuskan kedelapan gadis itu. "Alit Angraeni dan Purnawati adalah keponakan saya sendiri. Apa saya gila mempekerjakan keponakan sendiri menjadi pelacur?" tanya Wismaya.MC, Yopie Hidayat (Jakarta), I Nengah Wedja, dan Joko Daryanto (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini