Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDINDING papan bekas, beratap seng berkarat, lepau itu tegak di atas fondasi bekas toko bahan bakar solar, sisa humbalang tsunami dua tahun lalu. Letaknya tak jauh dari pelabuhan kapal penyeberangan Ule Lheu menuju Sabang.
M. Dujha, 45 tahun, awalnya tak ingin fondasi itu mubazir. Warga Dusun Kakap, Ule Lheu, Kecamatan Meuraxa, itu mengumpulkan kayu dan papan yang hanyut dibawa tsunami di lahan tersebut. ”Saya minta izin ke pemiliknya untuk jualan, dan dikasih,” kata Dujha kepada Tempo, pekan lalu. Kayu dan papan bekas itu dijadikannya dinding dan lantai.
Kebetulan, suntikan modal datang dari seorang kawan akrab, anggota tentara di sana, beberapa bulan setelah tsunami. Dengan ”investasi” Rp 6 juta, ia pun membuka kedai kopi sejak Maret tahun silam. ”Kapan ada uang, bayar,” kata sang teman. Usahanya jalan. Omzetnya per hari kini Rp 300-an ribu. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang bekerja di perusahaan swasta dengan standar upah minimum Provinsi Aceh, yang Rp 850 ribu per bulan.
Walau warungnya tak terbilang maju pesat, hanya dalam empat bulan Dujha telah melunasi utangnya kepada ”investor”. Kini, tak jauh dari warung Dujha, berjejer puluhan kedai serupa mengais rezeki dari pengunjung pelabuhan yang mulai menggeliat. Mereka rata-rata tutup menjelang magrib. Saat mereka menutup kedainya, di Jalan Simpang Surabaya, Banda Aceh, sekitar 25 kedai kopi serupa masih menjajakan dagangan hingga azan subuh. Di sekitarnya, puluhan abang becak setia menunggu penumpang menemani keramaian kedai-kedai itu.
Di Lhok Nga, Aceh Besar, tanda-tanda kebangkitan ekonomi rakyat juga terlihat. Rusdi, 43 tahun, kini menyesap keuntungan dari jualan mi kepiting di sekitar lapangan golf di daerah itu. Bermodalkan Rp 10 juta sumbangan seorang warga asing yang aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat asal Jerman, usahanya kini berkembang pesat. Omzetnya mencapai Rp 5 juta per hari. ”Sebanyak 80 persen pelanggan saya bukan orang Aceh,” kata Rusdi.
Dua tahun setelah tsunami, baru sektor ekonomi rakyat ini yang paling tampak menggerakkan ekonomi Aceh, di luar sektor konstruksi yang melaju karena adanya program rehabilitasi dan rekonstruksi. Sektor ekonomi rakyat, bersama sektor jasa perhotelan dan perdagangan, dalam catatan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, memberi kontribusi seperempat lebih Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh.
PDRB Aceh 2005 sebesar Rp 31,252 triliun, di luar minyak dan gas. Bersama komoditas migas, PDRB 2005 sebesar Rp 51,117 triliun. Tahun 2006 diproyeksikan Rp 55 triliun. Menurut Nazammudin, Direktur Perencanaan BRR, tren pertumbuhan ekonomi Aceh saat ini memang positif. Hingga triwulan ketiga 2006, angkanya mencapai 26,3 persen, melonjak dibanding tahun sebelumnya yang terperosok di angka minus 13,45 persen. Laju inflasi Januari-Oktober lalu 8,20 persen, menurun drastis dibanding 2005 yang mencapai 41,11 persen.
Tapi, harap diteliti, kata Nazammudin, saat ini ekonomi Aceh masih ditopang dana BRR, yang besarnya mencapai Rp 1 triliun-2 triliun per bulan—dari total yang bakal dikucurkan sekitar Rp 60 triliun hingga 2009. Dana per bulan itu pun sebagian besar terserap ke sektor perumahan (36 persen) dan infrastruktur (28 persen). Sisanya tersebar ke sektor lain, seperti usaha kecil, pelabuhan, pertanian, perikanan, dan pertambangan, yang masih merayap.
Melimpahnya dana dan tren positif ini, kata Nazammudin, harus diwaspadai. ”Apakah ini karena peningkatan produktivitas atau hanya gelembung sementara,” katanya. Gejala gelembung sebetulnya lebih kentara melihat minimnya investasi yang masuk dan tak beranjaknya sektor riil lainnya. ”Investasi belum tumbuh, masih wait and see, menunggu tren hasil final pilkada,” katanya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah Aceh, Firmandez, menambahkan bahwa investasi yang masuk sejauh ini baru di sektor perhotelan. ”Itu untuk membangun satu hotel bintang empat, dua hotel bintang tiga, dan beberapa hotel kecil,” kata Firmandez. Jumlahnya pun masih belum terdata.
Agar tidak terjebak dalam gelembung ekonomi, kata Nazammudin, infrastruktur harus segera diselesaikan untuk menarik investor dan menggerakkan sektor riil dalam skala lebih besar. ”Ini sangat bergantung pada keamanan, pemerintahan yang baik, hukum yang kredibel, dan masyarakat yang terbuka,” katanya.
Danto, Maimun Saleh (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo