Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Edi Jablay, Dulu Teroris, Kini Pembina Atlet Muay Thay

Kisah bekas napi teroris asal Solo yang kini menjadi pengelola tempat berlatih beladiri Muay Thay, Edi Jablay.

19 November 2017 | 18.16 WIB

Edi Tri Wiyanto alias Edi Jablay, pendiri pelatihan beladiri Muay Thay di Kota Solo yang sempat menjadi narapidana kasus bom Cirebon 2011. TEMPO/ AHMAD RAFIQ
Perbesar
Edi Tri Wiyanto alias Edi Jablay, pendiri pelatihan beladiri Muay Thay di Kota Solo yang sempat menjadi narapidana kasus bom Cirebon 2011. TEMPO/ AHMAD RAFIQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Solo - Pria yang sering disapa Edi Jablay ini sempat dicap teroris karena menjadi narapidana kasus bom Cirebon sebelum menjadi pembina atlet Muay Thay. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Posturnya juga kurus, dengan rambut sedikit gondrong yang selalu ditutupi dengan topi pet warna hitam. Gerakan serta jalannya terlihat cukup gesit.

Nama lengkapnya Edi Tri Wiyanto. Orang lebih mengenalnya dengan sebutan Edi Jablay. Dia merupakan pendiri sekaligus pembina tempat pelatihan beladiri (kamp) Muay Thay di Kota Solo. Saat ini, kamp yang didirikan itu telah mengikuti beberapa pertandingan baik tingkat lokal maupun nasional.

Baca juga:
Terdakwa Teroris Cirebon Divonis Hari Ini

Nama Edi Jablay sendiri sebenarnya mulai banyak dikenal warga Solo sekitar 2011 silam. Namun, bukan dalam pertandingan beladiri. Namanya sering disebut-sebut lantaran ditangkap tim Detasemen Khusus 88 Antiteror lantaran terlibat kasus bom Cirebon. Dia keluar dari LP Pasir Putih Nusakambangan pada 2015 lalu.

Sepulangnya dari 'perantauan', Edi bertemu dengan beberapa orang yang memiliki minat yang sama di bidang beladiri yang ditekuninya sejak remaja. "Kami lantas membuat sebuah tempat pelatihan beladiri," katanya, Sabtu 18 November 2017. Aliran beladiri Muay Thay dipilih lantaran dianggap memiliki teknik yang lebih praktis.

Meski masing-masing telah memiliki dasar beladiri, mereka memilih untuk mengundang pelatih profesional untuk menjadi head coach. Mereka berlatih dua kali dalam sepekan di halaman Masjid Al Wustho Solo. "Pada awalnya peserta latihan ini adalah para ikhwan," katanya.

Pelatihan tersebut tentunya menarik perhatian aparat keamanan. "Setiap latihan selalu diawasi intel," katanya. Menurutnya, ada kekhawatiran dari aparat keamanan bahwa latihan beladiri itu berpotensi menjadi ajang kaderisasi gerakan terorisme.

Bahkan, pelatih yang diundang untuk menjadi head coach juga akhirnya sempat mogok dua bulan saat mengetahui bahwa salah satu pendiri kamp itu pernah terlibat kasus terorisme. "Kami berupaya keras meyakinkan pelatih maupun aparat keamanan bahwa latihan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan terorisme," katanya.

Mereka pun kini membuat kamp latihan itu menjadi lebih terbuka. Jika sebelumnya kebanyakan peserta adalah remaja masjid, kini mereka lebih membuka diri dengan menerima peserta dari berbagai kalangan. "Bahkan non muslim pun boleh ikut," katanya.

Nama kamp yang semula Muay Thay Moslem Al Wustho (MMA) juga bertransformasi menjadi Badai Martial Art untuk menunjukkan bahwa mereka sudah semakin terbuka. Mereka juga mengikuti berbagai turnamen yang berskala lokal maupun nasional.

Beberapa waktu lalu, Badai Martial Art juga mengikuti turnamen yang digelar di Tangerang, Banten. "Meski bukan juara umum, kami berhasil menyabet dua medali emas serta satu medali perak," katanya.

Pada 18-19 November ini, Badai bahkan menggelar kejuaraan Badai Reborn New Champions, sebuah kejuaraan amatir kick boxing se-Jawa Bali. Ratusan atlet beladiri dari berbagai aliran memperebutkan Piala Kapolda Jawa Tengah dalam acara ini. "Ini menjadi bukti bahwa kami serius mengelola camp yang kami dirikan," katanya.

Hanya saja, dalam pertandingan tersebut, Edi sudah tidak lagi menjadi atlet yang ikut berlaga. Selain menjadi koordinator panitia, pertandingan tersebut diperuntukkan untuk kategori amatir.

Head Coach Badai Matrial Art, Bambang Nugraha mengatakan bahwa kamp tersebut terbuka bagi siapapun yang ingin belajar beladiri. "Termasuk juga untuk perempuan yang mungkin sering menjadi sasaran tindak kejahatan," katanya.

Bahkan, pihaknya telah menyiapkan kurikulum beladiri praktis yang bisa dipelajari secara mudah, termasuk untuk perempuan dan anak-anak. "Sehingga bisa diaplikasikan saat terjadi gangguan di jalanan," katanya.

Bambang mengakui bahwa semula dia sempat mogok mengajar saat mengetahui salah satu pendiri kamp tersebut disebut-sebut sebagai teroris. "Sempat kaget dan khawatir disangkutpautkan," katanya. Namun, dia akhirnya bersedia kembali melatih setelah yakin bahwa camp itu memang didirikan untuk tujuan positif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus