Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Gaduh di Wadas dan Kilas Balik Proyek Kedung Ombo di Era Soeharto

Di era Soeharto, sejumlah warga desa di Boyolali, Grobogan, dan Sragen dipaksa pindah dari demi proyek Waduk Kedung Ombo, dan terulangkah di Wadas?

11 Februari 2022 | 20.57 WIB

Image of Tempo
Perbesar
33 Tahun Korban Pembangunan Waduk Kedungombo Terabaikan. TEMPO/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Perlawanan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dalam menolak proyek bendungan mengingatkan publik pada peristiwa serupa di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Represifitas yang dilakukan aparat dinilai mirip dengan cara-cara Orde Baru dalam pembangunan Waduk Kedung Ombo tahun 1980-1991 silam yang meliputi wilayah 3 kabupaten yakni Boyolali, Grobogan dan Sragen. Bagaimana kisah kala itu?

Ketidakjelasan Ganti Rugi

Pembangunan Waduk Kedung Ombo direncanakan untuk menciptakan pembangkit listrik berkekuatan 22,5 megawatt dan menampung air untuk memenuhi kebutuhan sekitar 70 hektare lahan pertanian.

Proyek ini mendapat bantuan dana sebesar 156 juta USD dari Bank Dunia dan 25,2 USD dari Bank Exim Jawa Tengah.

Melansir Majalah Tempo edisi 25 Maret 1989, perencanaan pembangunan Waduk Kedung Ombo sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1969. Tujuh tahun kemudian, uji kelayakan dirampungkan dan lokasi proyek yang ditetapkan meliputi 37 desa di tujuh kecamatan yang tersebar di Kabupaten Boyolali, Grobogan, dan Sragen. Pemerintah harus membayar ganti rugi untuk memindahkan ratusan keluarga yang mendiami wilayah tersebut.

Pada tahun 1981, pembangunan sarana penunjang proyek resmi dilakukan. Pada 20 September 1983, Gubernur Jawa Tengah kala itu, Ismail, mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan bahwa harga tertinggi ganti rugi tanah bagi warga yang terkena proyek adalah Rp 700 per meter.

Ketika pemda mendekati warga yang terkena proyek, terdapat laporan bahwa sejumlah pemilik tanah diminta bercap jempol di atas kertas tanpa diberi tahu besaran ganti rugi yang akan mereka terima. Sejak itu, banyak warga yang kemudian menolak proyek waduk.

Selanjutnya : Warga mencoba mengadukan permasalahan ganti rugi ke LBH...

Warga mencoba mengadukan permasalahan ganti rugi ke LBH Yogyakarta dan DPRD Jawa Tengah. Pada Juni 1987, enam warga dari Kecamatan Kemusu, Boyolali mendatangi kantor LBH Jakarta untuk melaporkan adanya intimidasi dari aparat kabupaten. Beberapa teman mereka bahkan sampai bersembunyi di hutan. Aduan tersebut kemudian disangkal oleh Pangdam Jawa Tengah Mayjen. Setyana.

Dalam rapat kerja dengan komisi II DPR pada 25 November 1987, Menteri Dalam Negeri kala itu, Soepardjo Rustam, mengatakan bahwa besaran ganti rugi tanah untuk proyek Kedung Ombo adalah Rp 3 ribu per meter. Keterangan tersebut menimbulkan keramaian sebab nominal yang disampaikan jauh berbeda dari informasi yang diterima warga. Pernyataan Mendagri itu lantas dibantah oleh Ditjen Sospol Depdagri.

Ancaman Bagi Mereka yang Menolak

Warga yang menerima ganti rugi proyek Kedung Ombo dari pemerintah disediakan pilihan untuk pindah ke Kayen (Purwodadi), Kedungmulyo, Kedungrejo (Boyolali), atau bertransmigrasi ke luar Jawa. Sementara warga yang menolaknya memilih bertahan.

Menanggapi penolakan tersebut, pemerintah kemudian melancarkan kekerasan, teror, dan intimidasi. Sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo edisi 4 Februari 2008, warga yang tidak setuju ganti rugi tidak hanya dipaksa memberi cat jempol, tetapi juga dicap sebagai “PKI”. Pengaduan pada LBH maupun DPRD berhasil meredakan kekerasan, namun perundingan penggantian lahan tetap buntu.

Salah satu cerita kekerasan aparat pernah disampaikan oleh Samadi, seorang warga yang sebelumnya bermukim di Nglanji, Kemusu, Boyolali. Dari yang semula enggan menyentuh ganti rugi, Samadi akhirnya ciut karena ancaman aparat.

Selanjutnya : Pada tahun 1987, Samadi dipanggil ke Koramil...

Pada tahun 1987, Samadi dipanggil ke Koramil dan mendapat tindakan kasar dari petugas yang menanyainya. “Kepala saya didengklak-dengklakke (ditarik-tarik) ke belakang,”katanya kepada Majalah Tempo.

Wajah Samadi juga sempat terkena gamparan. Dengan perasaan takut, ia kemudian membubuhkan cap jempol di sebuah formulir dan melepaskan pekarangannya seluas 2.700 m2 untuk ditukar dengan uang Rp 1,5 juta.

Ketika Warga Hidup dalam Genangan Air

Pada 14 Januari 1989, Waduk Kedung Ombo mulai diairi. Padahal, sekitar 1.000 keluarga yang terkena proyek masih mendiami rumahnya.

Sejak peresmian itu, permukaan air naik 20 hingga 50 cm setiap harinya, menyebabkan warga yang bertahan harus hidup bersama genangan air. Sebagian lantas memilih menyerah, sementara beberapa yang lain terus melawan.

Hingga tahun 1990, sebanyak 34 warga masih bertahan di lokasi waduk. Lewat LBH, mereka menggugat Gubernur Jawa Tengah karena menyalahi ketentuan ganti rugi.

Pada 18 Mei 1991, Waduk Kedung Ombo diresmikan oleh Presiden Soeharto. Dalam temu wicara, Soeharto melontarkan kecaman pada warga yang tidak mau pindah. Ia menyebut mereka “mengguguk makuto waton” (berkepala batu) dan menghimbau agar tidak menjadi kelompok mbalelo.

Tiga tahun kemudian, gugatan warga dimenangkan oleh Mahkamah Agung. Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 50 ribu per meter persegi untuk tanah dan bangunan, serta 30 ribu per meter persegi untuk tanaman. Besaran ganti rugi tersebut lebih besar dari permintaan warga, yakni sebesar Rp 10 ribu per meter persegi.

Kemenangan warga tentunya disambut dengan sukacita. Sayangnya, Gubernur Ismail tidak lantas tinggal diam. Ia mengajukan peninjauan kembali (PK) atas keputusan ini dan memenangkannya. Dengan demikian, gugatan warga terdampak Waduk Kedung Ombo kandas alias batal diterima.

Baca juga: Pengerahan Polisi di Wadas Ganggu Aktivitas Ekonomi Masyarakat
SITI NUR RAHMAWATI


Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus