Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG malam, Rabu pekan lalu, satu per satu tersangka perkara korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI meninggalkan ruang tahanan. Budi Susanto, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, keluar dari ruang tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri pada sore hari, dan langsung pulang ke rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. "Saya ingin istirahat karena sedang tidak fit," katanya kepada Tempo, ÂJumat pekan lalu.
Di rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Polri Brigadir Jenderal Didik Purnomo sudah dijemput pengacara dan keluarga sekitar pukul 23.00. Sejam kemudian, dia keluar dari ruang tahanan. Ikut menyusul Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan dan Komisaris Legimo, dua perwira polisi yang terlibat dalam proses pengadaan simulator kemudi. "Pak Didik dan dua tersangka lainnya keluar karena masa penahanan habis," kata Harry Ponto, kuasa hukum Didik. "Mereka bebas demi hukum."
Sehari sebelumnya, 15 penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan pelimpahan perkara korupsi simulator kemudi. Bukan hanya berkas yang diangkut, puluhan dus berisi barang bukti juga disertakan.
Namun, menurut sumber Tempo, pelimpahan perkara yang diikuti pelepasan empat tersangka tidak akan langsung memuluskan proses penyidikan oleh KPK. Sebab, ada sejumlah skenario yang dirancang untuk menghadang komisi antikorupsi. "Salah satunya dengan menggugat penyitaan dokumen," ujarnya.
Selain soal penyitaan, bakal ada peluru baru yang siap ditembakkan. Dalam pertemuan penyidik Badan Reserse Kriminal Polri dengan kuasa hukum empat tersangka, Kamis dua pekan lalu, muncul rencana menggugat pelimpahan perkara ke KPK. Satu yang akan dipersoalkan adalah pidato Presiden sebagai dasar pelimpahan itu. "Menurut mereka, pidato itu tidak memiliki dalil hukum," katanya.
Ancaman ini kemudian terbukti. Kamis pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang perdana gugatan perdata Korps Lalu Lintas Polri kepada KPK terkait dengan penyitaan dokumen ketika dilakukan penggeledahan pada 31 Juli lalu. Kuasa hukum Korps Lalu Lintas Polri, Tommy Sihotang, mengatakan gugatan itu dilayangkan karena KPK menyita 349 dokumen yang tidak terkait dengan kasus proyek simulator. Menurut dia, penyitaan itu telah mengganggu kinerja dan kegiatan pelayanan Korps Lalu Lintas.
Dalam gugatan itu, Korps Lalu Lintas menuntut ganti rugi material sebesar Rp 425 miliar dan imaterial Rp 6 miliar. "Kerugian itu muncul akibat pelanggaran dalam proses penggeledahan oleh KPK," kata Tommy, yang juga kuasa hukum tersangka korupsi simulator mantan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Pudji Hartanto menambahkan, pihaknya sudah berulang kali menyurati KPK agar mengembalikan dokumen-dokumen itu, tapi tak sekali pun diindahkan. "Karena itu, kami menempuh langkah hukum," ujarnya.
Indra Matong Batti, kuasa hukum KPK, membantah sengaja memperlambat pengembalian dokumen. "Kami masih dalam tahap memilah, dan itu perlu waktu," katanya. Dalam sidang perdana itu, kedua pihak diberi kesempatan menggelar mediasi selama sepuluh hari.
Seorang penyidik menyebutkan gugatan soal penyitaan dokumen itu tidak beralasan. Sebab, semua dokumen yang disita KPK berkaitan dengan dugaan korupsi simulator kemudi. Salah satunya dokumen pengadaan proyek sejenis tahun anggaran 2009 dan 2010. "Ini jelas terkait, guna mengukur kerugian negara pada proyek 2011," ujarnya.
Kejanggalan lain, kuasa hukum yang mendaftarkan gugatan itu tercatat juga sebagai pengacara Djoko Susilo. Kalaupun ingin menggugat, semestinya itu dilakukan Kepala Polri. "Bukan oleh Kepala Korps Lalu Lintas," katanya.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna membantah gugatan itu mengganggu kerja KPK. Menurut dia, pendaftaran gugatan itu sudah lama dilakukan, sebelum ada instruksi Presiden. Adapun Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Sutarman menyatakan siap mencabut gugatan tersebut. "Syaratnya, kembalikan dokumen yang tidak terpakai itu," katanya.
Setri Yasra, Fransisco Rosarians, Ilham Tirta, Isma Savitri, Wayan Agus Purnomo
NANAN SOEKARNA:
Isunya, Saya yang Siapkan Penyerbuan ke KPK
MESKI Kepolisian RI telah menyerahkan penyidikan perkara korupsi proyek simulator kemudi senilai Rp 196,8 miliar di Korps Lalu Lintas ke Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan berarti hubungan panas kedua lembaga telah padam.
Dua pekan lalu, Korps Lalu Lintas Polri melayangkan gugatan perdata terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi atas penyitaan dokumen yang dianggap tidak relevan dengan perkara. Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna mengatakan gugatan itu dimasukkan sebelum pidato Presiden Susilo Bambang YuÂdhoyono pada 8 Oktober 2012. "Itu diajukan dalam suasana kebatinan melawan KPK," katanya ketika memenuhi undangan diskusi di kantor Tempo, Rabu malam pekan lalu.
Ditemani Kepala Divisi Humas Inspektur Jenderal Suhardi Alius dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, lulusan terbaik Akademi Kepolisian angkatan 1978 ini menjelaskan panjang-lebar soal penanganan perkara simulator dan beberapa isu lain. Sebagian dia minta tidak dipublikasikan, "Agar tidak kembali memanaskan suasana."
Mengapa Korps Lalu Lintas menggugat KPK soal penggeledahan pada 31 Juli 2012?
Dari awal kami ingin sengketa hukum diselesaikan lewat hukum. Vulgarnya saya bilang: jangan diselesaikan lewat BlackBerry Messenger, Twitter, atau media massa. Sebab, hasilnya bisa bias dan hanya menempatkan polisi menjadi pihak yang salah. Ini bisa memicu emosi.
Anda menganggap penggeledahan itu tak beretika?
Sudah ada kesepakatan jangan dulu diperkarakan karena polisi melakukan gelar perkara. Ternyata sorenya kami digerebek. Dikabarkan bahwa penggeledahan dilakukan atas perintah Kapolri, padahal tidak. Banyak file yang tidak terkait dengan kasus simulator ikut dibawa. Kami sudah kirim surat, tapi tak dipedulikan. Maka pengacara bilang gugat saja secara perdata.
Kenapa perdata?
Mahkamah Agung tak mau menerima permintaan fatwa. Lalu, kata pengacara, kasus ini juga tak bisa dibawa ke pengadilan tata usaha negara. Harus diingat, gugatan itu diajukan sebelum Presiden berpidato, pada 5 Oktober 2012. Saat itu memang suasana "berantem".
Terus terang, pidato Presiden juga ditanggapi dengan dua sikap: membelot atau manut. Menurut kami, di sini ada intervensi hukum. Tapi, dalam hukum, semua bisa berargumen. Jadi, kami sepakat melaksanakan perintah Presiden, tapi tetap dalam koridor undang-undang. Kami lalu bersama-sama merumuskan bagaimana cara menghentikan kasus ini.
Dalam gugatan perdata, mengapa Kepolisian memakai pengacara yang sama dengan penasihat hukum Djoko Susilo, tersangka KPK?
Itu karena dalam suasana "perlawanan" kepada KPK. Ingat, ini suasana sebelum pidato Presiden, lho.
Kenapa yang menggugat Korps Lalu Lintas, bukan Kapolri?
Sekali lagi, suasananya seperti itu. Ketika itu, semua berpendapat, oke enggak jadi masalah Korlantas yang mengajukan gugatan.
Jadi, Korlantas mewakili Kapolri?
Iya betul, secara hukum itu tak jadi masalah.
Apa tepatnya barang yang disita KPK sehingga disebutkan "mengganggu pelayanan publik" di Korlantas?
Saya tak hafal. Ada surat resmi dari Korlantas ke KPK. Di sana dijelaskan dengan detail.
Ada kemungkinan semua barang disita agar kasus lain bisa diungkap….
Ya tak bisa, dong. Itu tak pakai hukum.
Menurut Anda, Djoko Susilo itu hanya seorang jenderal atau simbol polisi yang harus dilindungi?
Begini. Nanan sekalipun, kalau salah, ya usut saja. Kalau kena hukum, Kapolri pun tak bisa apa-apa. Percaya sama saya. Pimpinan tak bisa lagi melindungi anak buah. Semua sangat terbuka. Tapi dia tetap punya hak, misalnya, untuk didampingi pengacara.
Benarkah Korps Lalu Lintas selama ini sumber duit bagi Kepolisian?
Tidak ada. Saya malah pernah mengusulkan agar pengumpulan penerimaan negara bukan pajak dari SIM dan STNK diserahkan saja ke Kementerian Perhubungan. Terlalu sibuk aparat Kepolisian melakukan itu. Polri tinggal meminta anggaran ke Kementerian Keuangan setiap tahun. Namun pada saat itu belum ada yang siap. Bayangkan saja: pungutan SIM dan STNK itu pelaksanaannya sampai ke semua kabupaten dan kota di Indonesia. Selain itu, apakah ada jaminan kalau diserahkan ke instansi lain bakal tidak ada penyimpangan? Polisi kan punya Provos dan Propam yang bisa mengawasi.
Soal peristiwa 5 Oktober yang disebut sebagai "pengepungan gedung KPK oleh polisi", sebenarnya apa yang terjadi?
Saya sangat menyayangkan dan menyesalkan, makanya saya yang minta pasukan ditarik. Tapi isu yang beredar: saya yang menyiapkan (penyerbuan ke KPK). Ketika itu, penyidik Polda Bengkulu dan Metro Jaya datang ke KPK untuk penyidikan. Namun mereka diminta menunggu berjam-jam. Ini prosedur biasa, bukan menggerebek. Polisi-polisi di luar gedung itu bertugas sejak siang—menjaga Djoko Susilo yang tengah diperiksa.
Setelah pidato Presiden—yang menyatakan proses hukum terhadap Novel "tidak tepat cara dan waktu"—bagaimana kelanjutan kasus ini?
Kami minta Komnas HAM dan Kontras turun ke lapangan (meneliti kasus Novel). Kami ingin tahu pandangan mereka.
Markas Besar Polri masih menyidik juga?
Dari awal kami ikut menyidik, tapi kami diam saja. Jadi, penyidikan sudah, sedang, dan terus berjalan.
Apa hasil sementaranya?
Rahasia.
Kesannya, polisi menargetkan Novel, penyidik yang menangani kasus simulator?
Soal ini, saya bilang sama Kontras, "Heh, kalo Munir, kenapa dikejar terus polisinya? Sekarang ada masyarakat ditembak, ada yang mati, ada yang luka, kenapa tak minta diusut?" Kami ingin menyelidiki ada apa sebetulnya. Kalau tidak bersalah, ya, tak usah takut.
Kami mendengar, saksi-saksi diatur untuk memberi keterangan sesuai dengan versi polisi?
Tak ada yang diatur. Faktanya seperti apa, itulah yang kami kejar.
Benarkah polisi menyediakan akomodasi dan uang saku buat saksi-saksi di Bengkulu?
Silakan cek di lapangan saja seperti apa.
Temuan kami: saksi yang datang dari luar kota oleh polisi difasilitasi akomodasinya?
Ini teknis sekali.
Mengapa pada 2004 ada dua surat hukuman buat Novel?
Kenapa ada penembakan tapi sanksinya cuma tegur keras? Seharusnya kan, kalau beneran dia menembak, hukumannya pidana. Itu yang kami usut.
Mana yang benar dari dua surat hukuman buat Novel itu?
Saya tidak tahu. Tapi intinya, kalau tak berbuat macam-macam, Novel tak usah takut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo