Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari sudah gelap ketika Rokhim, 53 tahun, mendapati putrinya, Nurdiana Dewi, sesenggukan di teras rumah. Gadis 17 tahun itu lecet-lecet, wajahnya pucat. Rokhim melihat Honda Vario hitamnya baret kiri-kanan, spionnya patah. Penduduk Desa Agom, Kalianda, Lampung Selatan, itu mulai merepet.
Sepeda motor itu baru dikendarai Emilia Elisa, keponakannya. Bersama Nurdiana, mereka berbelanja di Pasar Pathok, dua kilometer dari rumah. Di tengah jalan, motor oleng lantaran Emilia panik karena seorang remaja tanggung di Desa Balinuraga menyenggol pahanya. Kedua muli—gadis—jatuh terjerembap. Dada Diana membentur aspal keras. "Mereka juga sempat menyenggol pengendara lain," kata Rokhim.
Rokhim membaringkan putrinya di ruang keluarga. Ayah tujuh anak itu lalu mencecar keduanya, mencari tahu pemuda yang berani "menyenggol" Emilia. Emilia menyebutkan ciri pemuda tanggung yang disebutnya jail: bertato, gondrong, dan memakai anting di kedua kupingnya. "Dari ciri yang disebut Emi, saya tahu itu anak Desa Balinuraga," ujar Rokhim.
Kebetulan, Kepala Desa Agom Muchsin Syukur bertamu ke rumah Rokhim. Tuan rumah lalu menceritakan jatuhnya Diana. Ia meminta bantuan agar pemuda tanggung yang menjaili putrinya bertanggung jawab membiayai pengobatan.
Puluhan anak muda dari berbagai desa tiba-tiba berdatangan ke rumah Rokhim. Rupanya, kabar kejailan pemuda desa sebelah tersiar dengan cepat. Pemilik rumah mengatakan tak kenal asal mereka. Semakin malam, jumlahnya semakin banyak. Menjelang malam, rumahnya didatangi polisi dari Kepolisian Sektor Kalianda. Melihat kondisi Diana, Rokhim akhirnya meminjam mobil polisi ke rumah sakit.
Mencium gelagat tak enak, Muchsin pamit. Ia bergegas ke Desa Balinuraga, mencari rumah si pemuda. Setelah bertemu, Muchsin mencecar pemuda tanggung dengan ciri-ciri yang disebutkan Emilia. Si pemuda membantah. Tapi keterangannya agak berbeda dengan kawan-kawannya. Karena itu, Muchsin minta sang pemuda membawa kawan-kawannya menemui dia di Pasar Pathok, Sidoharjo, empat kilometer dari Desa Balinuraga.
Muchsin juga menemui Kepala Desa Sidoharjo, Thohir. Di sini, ia menghubungi Made Wardane, Kepala Desa Balinuraga. Malam itu, hadir pula Made Sumintre, saksi mata kecelakaan. Sepanjang pertemuan, Muchsin tak henti menerima telepon dan pesan pendek. Intinya, semua menanyakan keadaannya di Balinuraga. "Saya jawab baik-baik saja," tuturnya.
Dalam pertemuan terbatas di rumah Thohir, Muchsin minta Made Wardane menekan para pemuda itu agar bertanggung jawab atas pengobatan warganya. Awalnya Made menolak, tapi akhirnya menerima. Muchsin keluar dari rumah Thohir.
Dari kejauhan, dia melihat mobil polisi menghalangi jalan keluar-masuk desa selebar dua meter. Kecemasan semakin bertambah kala ia melihat warga berdatangan dari berbagai penjuru dan memadati Pasar Pathok. Muchsin segera menyampaikan hasil pertemuannya dengan desa sebelah. Ia juga berusaha kembali menelepon Made Wardane, tapi telepon Kepala Desa Balinuraga itu tulalit.
Sekitar pukul 22.00, kian banyak warga datang. Muchsin tak mengira jumlahnya bisa sebanyak itu. "Mayoritas justru bukan dari Agom," ucapnya. Mereka merangsek ke Desa Balinuraga dan terlibat bentrokan di perbatasan. Puluhan polisi malam itu diturunkan di Jalan Lintas Sumatera dan Desa Sidoharjo, empat kilometer dari Balinuraga.
Sabtu malam itu, menurut Wayan Maulana, 44 tahun, ratusan orang bersenjata tajam merusak permukiman Dusun Sidoreno, Balinuraga, Kecamatan Way Panji. Mereka juga membakar rumah-rumah warga. "Saya hanya tahu bagaimana menyelamatkan anak-anak dan istri," kata Wayan. Mereka diboyong bersama ribuan warga Balinuraga lainnya ke Sekolah Polisi Negara Kemiling, Bandar Lampung.
Bentrokan Sabtu malam dua pekan lalu itu menewaskan dua orang. Seorang warga terkena bacok di bagian kepala. Situasi kian panas esok harinya. Ratusan orang bersenjata menyerbu Balinuraga. Mereka juga bentrok dengan aparat yang memblokade jalan. Setidaknya enam orang tewas dihajar senjata tajam. Polisi dan tentara yang sudah datang sejak Minggu dinihari berupaya mendamaikan dua kubu.
Upaya perdamaian dipimpin Kepala Kepolisian Daerah Lampung Brigadir Jenderal Jodie Rooseto. Namun pertemuan antarpemimpin desa tak berpengaruh. Saling serang kembali terjadi pada Senin pekan lalu. "Utang beras harus dibalas dengan beras. Itu istilahnya," kata Syarnubi, warga Agom.
Ribuan orang turun membawa tombak dan pedang ke pertigaan Way Harong, Lintas Sumatera. Polda mengerahkan ribuan personelnya, plus tambahan batalion TNI ke sejumlah titik. "Kami juga menjaga setiap pintu masuk ke Way Panji agar massa tidak bisa masuk ke Desa Balinuraga," kata Jodie Rooseto.
Penyerangan ini mengakibatkan tujuh orang tewas—kebanyakan jenazahnya tergeletak di area perkebunan. Para penyerang meninggalkan Balinuraga yang hancur lebur. Total 14 orang tewas selama bentrokan tiga hari itu. Perinciannya: empat dari Desa Agom dan 10 orang dari Balinuraga. Belasan lainnya terluka kena senjata tajam. Ratusan rumah dan gedung sekolah dibakar. Juga belasan sepeda motor dan mobil.
Bentrokan di kawasan desa transmigran ini merupakan yang terbesar sejak tragedi di Desa Napal, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan, pada 23 Januari lalu. Pada akhir 2011 juga terjadi bentrokan setelah pembakaran warga Margocatur, Kecamatan Kalianda. Peristiwa ini dipicu keributan sejumlah pemuda di pertunjukan musik organ tunggal di desa itu.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada Mochtar Masoed mengatakan kawaÂsan transmigran menyimpan bara. Sebab, selama ini pemerintah tak punya skema pembangunan yang menghitung efek perubahan sosial dan ekonomi. Apalagi, secara historis, tanah yang ditempati para transmigran dari Bali itu dulu biasa dipakai warga asli sebagai area pertanian berpindah. Kawasan itu juga menjadi sumber mata air mereka. "Masalah sederhana seperti kecelakaan dan isu pelecehan bisa cepat menyulut jika tak segera ditangani," kata Mochtar.
Widiarsi Agustina, Nurochman Arrazie, Aditya Budiman (Lampung), Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Panglima dari Gunung Biru
Polisi menuding sejumlah orang terlibat teror dan pembunuhan polisi di Poso. Generasi baru eks kombatan.
MUHAMMAD Sambara tak bisa lupa akan kejadian Senin tiga pekan lalu. Saat itu ia meminta dua tamunya—Brigadir Satu Andi Sappa dan Brigadir Sudirman—menginap di rumahnya. Hari sudah gelap, azan magrib baru saja dikumandangkan. Tapi kedua polisi dari Kepolisian Resor Poso dan Poso Pesisir, Sulawesi Tengah, tetap ngotot kembali ke kota malam itu juga.
Jarak Dusun Tamanjeka, Kecamatan Poso Pesisir, ke Kota Poso memang hanya 20 kilometer. Namun medannya sungguh berat: jalan desa berbatu dan menanjak dengan kemiringan 45-60 derajat. Di sepanjang jalan yang membelah kebun cokelat itu, banyak lubang menganga.
Tapi bukan itu yang jadi kegundahan Sambara, Kepala Dusun Tamanjeka. Kampungnya kini tidak aman, menyusul insiden penembakan beberapa pekan terakhir. Menurut polisi, dusun di pegunungan itu jadi kawasan persembunyian teroris. "Tapi saya nyerah karena mereka menolak dengan alasan tugas," kata Sambara.
Sappa, anggota Buru Sergap Polres Poso, memang diundang Sambara hadir ke pesta akikah anaknya. Sudirman, Kepala Intelijen Polsek Poso Pesisir, ikut ke Tamanjeka untuk menyelidiki pelaku teror di kampung Sambara. Dusun itu adalah bagian wilayah pantauan Sudirman.
Kecemasan Sambara terbukti. Tiga hari sesudah tamunya pamit, ia menerima kabar keduanya ditemukan tewas dengan leher tergorok. Mereka dikubur di dalam satu lubang yang digali di hutan, tiga kilometer dari rumah Sambara.
Hasil visum jenazah menunjukkan mereka tewas tiga hari sebelum ditemukan, 16 Oktober lalu. Dari luka di sekujur tubuh, polisi menduga dua anggotanya disekap sebelum dibunuh.
Tiga peleton aparat gabungan polisi dan tentara dikerahkan menyisir jejak pembunuh. Dua anjing pelacak yang dilepas menyisir jejak berlari ke belantara kawasan Tamanjeka, di lereng Gunung Biru. Medannya menanjak dan tertutup hutan lebat. Tepat di lembah, dua anjing pelacak berhenti di rumah kebun milik Ali Sannang. Di situ, ditemukan rantang plastik berukuran 20 sentimeter. Isinya bom berdaya ledak tinggi.
Rantang berisi bom itu dikelilingi gotri dan pipa enam inci. Ada pula serbuk pembuat bom memakai baterai 12 volt dan detonator. Juga senapan angin, rompi serbu, magasin, dan empat karung pakaian. Material bom itu mirip dengan bom yang meledak di pos polisi Poso dua pekan lalu. "Ada bahan peledak, juga potongan paku," kata Kepala Polres Poso Ajun Komisaris Besar Eko Susanto.
Sumber Tempo menyebutkan polisi sudah lama mencurigai Ali Sannang dan kelompoknya. Mereka dikenal radikal di Tamanjeka. Ali dan tiga kawannya—Ambo Intan, Azis, dan Nunung—sudah lama bermukim di Ratalemba, julukan lain Tamanjeka. Belakangan, turut bergabung Daeng Bakoro, warga baru di Ratalemba. Kepada warga setempat, dia mengaku berasal dari Palopo. Setelah Daeng Bakoro muncul, banyak orang baru datang. "Warga tak mengenal mereka," kata Ustad Miqdad, pemuka agama di Tamanjeka.
Belakangan, Ali Sannang diangkat menjadi imam Masjid Nurul Huda, satu-satunya masjid di Ratalemba hingga Gunung Biru. Gunung Biru selama ini disebut-sebut sebagai basis pelatihan paramiliter teror, kelompok asuhan Noor Din Mohammad Top.
Ketika polisi menggerebek rumah Ali Sannang, ia dan empat kawannya sudah menghilang. Mereka diduga raib bersamaan dengan tersiarnya kabar kematian dua polisi.
Aparat juga menyisir kelompok lain di Desa Karola, Tambarana, dan Bhakti Agung—desa lain satu kecamatan dengan Tamanjeka. Rabu pekan lalu, rangkaian penggerebekan dilakukan di tiga lokasi. Salah satunya rumah kontrakan di lorong Poliklinik Desa Karola. Dalam baku tembak itu, seseorang bernama Jibon tewas. Tiga lainnya—Nasir, Rahmat, dan Imron—ditangkap Detasemen 88.
Di lokasi ditemukan 10 bom pipa aktif, enam detonator, 23 amunisi, satu pistol, serta setengah karung bahan peledak dan senjata tajam. Dalam penggeledahan di Bhakti Agung, ditemukan lima bom rakitan, telepon seluler, dan laptop.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana mengatakan setidaknya sudah menetapkan tujuh tersangka. Tiga di antaranya ditangkap di Desa Karola dan Desa Bhakti Agung. Empat lainnya ditangkap dalam razia. Dewa menolak menyebut nama mereka. Namun, dalam catatan Tempo, dua yang ditangkap adalah Ibrahim alias Salman dan Abubakar. Adapun dalam razia Rabu pekan lalu, polisi menangkap Joko Santosa asal Banyumas, Jawa Tengah, dan Ngadimin asal Labuan, Poso. "Mereka bagian dari jaringan besar di berbagai operasi, seperti Poso, Solo, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan," kata Dewa.
Aksi teror itu, menurut Dewa, adalah rangkaian penembakan dan peledakan bom. Tiga tersangka merupakan buron dalam kasus pembunuhan polisi di depan BCA Palu pada 2011 serta menjadi peserta kegiatan paramiliter di Gunung Biru. Sebagian di antaranya juga diduga menjadi pelaku pembunuhan Sappa dan Sudirman.
Sumber Tempo menyebutkan mereka yang ditangkap sebenarnya bagian dari kelompok lama pimpinan Joko Santosa, angkatan pertama latihan militer di Gunung Biru, pada 2010. Joko Santosa bahkan kini menjadi pemimpin latihan. Kabarnya, tiga angkatan telah dihasilkan di Gunung Biru.
Joko Santosa kini tergabung dalam kelompok Persatuan Poso Pesisir. Di dalamnya ada pula Cecep dan Mamat, juga Jibon—yang tewas tertembak—dari Bima. Kubu dari Bima diduga terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Tauhid pimpinan Abu Bakar Ba'asyir.
Abdurrahman, putra Abu Bakar Ba'asyir, membantah ayahnya terlibat dengan teroris Poso. Menurut dia, Ba'asyir tak pernah mengetahui kegiatan teroris di daerah Sulawesi Tengah. "Dari dulu, semua tudingan tentang teroris selalu ke Abu Bakar Ba'asyir" kata Abdurrahman. Adapun Suwarni, istri Joko Santosa, membantah suaminya pelaku teror.
Widiarsi Agustina, Tri Suharman (Jakarta), Rusman Paraqbueq (Poso)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo