BERAPA sebenarnya jumlah orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan? Itu bergantung pada patokan yang digunakan untuk mengukurnya. Prof. Sayogyo, guru besar sosiologi pertanian di Institut Pertanian Bogor, memakai beras sebagai ukuran. Untuk pedesaan, mereka yang tergolong miskin berpendapatan setara dengan 240 kg beras atau Rp 150 ribu per tahun. Dengan patokan ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan 27 juta orang Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Dua Sabtu lalu, dalam seminar tentang zakat di Puslitbang Biologi LIPI, Bogor, muncul hal yang terasa baru: garis kemiskinan ditentukan berdasarkan batas minimal seseorang terkena wajib zakat. Ini pandangan Dr. A.M. Saefuddin, ekonom dan anggota DPR. Pendapat ini, menurut Saefuddin, berdasarkan syariat Islam, ''Seseorang disebut miskin bila ia tidak sanggup membayar zakat.'' Sebaliknya, orang yang mampu membayar zakat disebut tidak miskin. Orang ini memiliki, dalam natura, misalnya, 40 ekor kambing. Atau, berpenghasilan setara dengan 94 gram emas setahun, dan bila diuangkan setara dengan Rp 2,4 juta setahun. Orang yang berpenghasilan total di batas Rp 2,4 juta setahun, oleh Saefuddin, disebut orang yang tidak miskin dan tidak pula wajib membayar zakat. Dari sini dia menyimpulkan, ''Garis kemiskinan menurut syariat Islam adalah Rp 2,4 juta.'' Masyarakat yang berpenghasilan total di bawah Rp 2,4 juta setahun disebut masyarakat miskin. Meskipun Saefuddin berhitung dengan rupiah, ia sebenarnya menggunakan emas sebagai patokan penghasilan. Soalnya, pada masa kejayaan Islam maupun dunia modern kini, emas selalu digunakan sebagai ukuran nilai mata uang karena tidak berubah. Konsep Islam ini cukup realistis, kata Saefuddin. Maksudnya, seseorang yang berpengasilan Rp 2,5 juta setahun, atau sekitar Rp 200 ribu per bulan, cukup mampu membiayai istri dan tiga anak. Di sini diperhitungkan masalah kesehatan, sekolah, dan rumah. Jadi, garis kemiskinan konsep Islam, kata Saefuddin, tak semata-mata diukur berdasarkan kebutuhan fisik minimum. Pendapat itu tak seluruhnya baru. Yang baru dari Saefuddin adalah menarik garis kemiskinan sesuai dengan wajib zakat (nisab). Adapun ukuran wajib zakat yang dinisbatkan pada nisab emas adalah hasil kesepakatan ulama. Itu pun masih ada sedikit perbedaan dengan ulama lain, misalnya Dr. K.H. Sjechul Hadi Permono, bekas Khatib Suriyah Wilayah NU Jawa Timur, yang pernah menulis disertasi tentang zakat. Bagi Sjechul, juga ulama lain, zakat tidak dipungut dari pendapatan kotor seperti pandangan Saefuddin, tapi lebih dulu dipotong dengan pengeluaran pokok. Setelah itu, bila sisanya bejumlah setara minimal dengan 8594 gram emas, baru dikeluarkan zakatnya. Benarkah demikian? Azhar Basyir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, melihat kelemahan dari konsep Saefuddin: sulit menggambarkan kemampuan material seseorang. Sebab, kata Azhar, bisa saja seseorang tak mampu membayar zakat tapi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya meskipun secara pas-pasan. Bahkan, ada yang mampu berinfak tapi belum mampu membayar zakat. Nah, ''Apakah orang seperti ini disebut miskin?'' ujar Azhar kepada R. Fadjri dari TEMPO. ''Mungkin lebih tepat menggunakan ukuran kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya untuk menggolongkan miskin atau tidak.'' Terlepas dari perbedaan itu, bila konsep A.M. Saefuddin yang meletakkan garis kemiskinan Rp 2,4 juta itu digunakan, jumlah orang miskin di Indonesia jauh lebih besar daripada perhitungan Bappenas atau BPS. Soalnya, patokan yang digunakan Saefuddin jauh lebih tinggi daripada Bappenas yang, antara lain, berpatokan pada penghasilan Rp 150 ribu per tahun untuk desa. ''Jadi, jumlah orang Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan diperkirakan lebih dari 50 juta,'' kata Saefuddin. Bagaimana cara mengatasinya? Saefuddin, meskipun menggunakan ukuran wajib zakat untuk menentukan garis kemiskinan, tak melihat bahwa zakat, tanpa didukung sektor lain, mampu mengatasi kemiskinan. Zakat, baginya, merupakan salah satu alat yang potensial untuk memecahkan kemiskinan. ''Itu kalau diorganisasikan secara rapi oleh negara,'' katanya. Jadi, di sini, baik Masdar F. Mas'udi maupun Dr. K.H. Sjechul, sependapat dengan Saefuddin: zakat diurus oleh negara. Bila zakat diurus oleh negara, kedudukannya tentu sama dengan pajak, tapi tujuannya berbeda. Bagi Sjechul, zakat untuk membantu fakir miskin, sedangkan pajak untuk pembangunan fisik. Bahkan, menurut Masdar, ''Hubungan keduanya ibarat roh (zakat) dengan jasad (pajak).'' Soalnya, kata Masdar, apa saja yang dipungut oleh negara atau Pemerintah dari masyarakat adalah milik Allah yang harus ditasarufkan untuk kemaslahatan bersama, terutama untuk fakir dan miskin. ''Sungguh segala macam sedekah (pajak) adalah milik orang-orang fakir, miskin, amil, orang yang tengah disadarkan hatinya, orang-orang tertindas, orang yang tertindih utang, segala kepentingan umum, dan anak jalan'' (Surat At Taubat, Ayat 60). Dengan kata lain, menurut Masdar, segala pungutan itu bukanlah untuk membiayai negara, tapi untuk mengangkat kaum fakir miskin. ''Itu dilakukan Nabi Muhammad, 14 abad lalu,'' katanya. Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini