Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jadi Relawan Sajalah

Kabar terakhir, sudah 100 pemuda Indonesia berangkat ke Afganistan. Tiga ribu lainnya masih menunggu seleksi.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yono dari Surabaya..., masuk!" Teriakan anggota panitia seleksi relawan itu segera berjawab. Seorang anak muda berbadan kekar memasuki ruang kantor Gerakan Pemuda Islam di Menteng Raya 58, Jakarta Pusat. Rabu pekan lalu, anak Surabaya berbaju takwa ini dinyatakan lulus seleksi tahap kedua untuk berangkat ke Afganistan. Ia dinyatakan lulus bersama 75 pemuda lain yang semuanya sepakat berjihad, menyusul serangan Amerika ke Afganistan, Minggu dua pekan lalu. Dalam ruangan seluas tiga kali empat meter, di bawah spanduk anti-Amerika dan poster Usamah bin Ladin, bujangan 33 tahun itu ditanya-tanya soal administrasi, juga kesiapan mental dan fisik. Yono langsung bangkit dari kursi besi dan melakukan push up sambil berteriak, "Allahu Akbar." Pemegang sabuk hitam perguruan silat Merpati Putih itu masih harus mengikuti beberapa tahapan seleksi. Misalnya, pendalaman keimanan dan pengenalan medan tempur. Menurut Handrianyah, Komandan Brigade GPI, anak-anak muda itu akan dilatih bertahan di gurun, membuat pertahanan, penyusupan, dan intelijen. "Tahap pengenalan senjata akan dilakukan sesampainya di Afganistan," kata alumni relawan perang Bosnia ini. Sebelum itu, 76 orang ini—dari 3.000 orang lebih yang mendaftar—akan masuk kamp pelatihan. "Tempatnya masih dirahasiakan," kata Ketua Umum GPI, Su'aib Didu. Selain GPI, masih ada beberapa ormas Islam yang membuka pendaftaran. Organisasi Darul Islam (DI), yang lebih sering bergerak di "bawah tanah"—seperti disampaikan oleh tokohnya, Al-Chaidar—sudah mengirim 201 orang dan 76 tenaga medis. "Afganistan tidak terlalu membutuhkan pasukan, tapi butuh tim medis dan relawan kemanusiaan untuk memindahkan pengungsi," kata Chaidar. Menurut Chaidar, mereka yang berangkat adalah alumni Afganistan tahun 1983, ketika negeri itu terlibat pertempuran dengan Soviet. Dari 14 faksi di DI, tiga di antaranya memiliki kedekatan dengan Taliban. Karena itu, DI menentukan Afganistan sebagai medan jihad, seperti resolusi yang mereka keluarkan 10 Oktober lalu. Anggota DI dilarang melakukan tindakan kekerasan di luar wilayah yang sudah difatwakan, yaitu Afganistan. Yang berangkat ke Afganistan bukan cuma orang Jakarta. Di Madura, "dipompa" alim-ulama setempat, terutama di Pamekasan, sudah 10 ribu formulir disebarkan oleh Forum Komunikasi Solidaritas Muslim untuk Dunia Islam. Forum ini menyebut, sudah ada enam anggotanya yang berada di perbatasan Pakistan-Afganistan. Menurut ketuanya, K.H. Syaiful Hukama, mereka yang berangkat lebih dahulu adalah alumni relawan perang Afganistan-Soviet. "Jadi, mereka sudah hafal medan," kata Syaiful, yang mengaku sedang menggembleng 37 relawan lain di sebuah tempat di perbatasan Pamekasan dan Sumenep. "Para pelatih adalah alumni perang Afganistan, Bosnia, dan Ambon," katanya. Di Surabaya, GPI Jawa Timur juga sudah membuka pos pendaftaran di Masjid Al-Hilal, kawasan Demak, Surabaya. Dari sini sudah 100 formulir disebar. Kabarnya, sudah ada 50 orang yang berangkat ke Afganistan, persis saat serangan udara AS menghantam Kabul, Minggu dua pekan lalu. Di antara mereka, termasuk lima orang perempuan asal Manukan. Di pinggiran Surabaya, seperti Sidoarjo dan Mojokerto, juga telah disebar 60 formulir, walaupun belum satu pun yang kembali. "Jika tetap tidak ada tanggapan, kami akan menjemput bola dengan mendatangi warga," kata Achwan Juma'in, yang mengoordinasi gerakan ini di Balongbendo, Sidoarjo. Di Balongbendo ini ada pusat pelatihan laskar jihad, tepatnya di areal Masjid Plumpangan, Desa Panambangan. Di tempat ini, setiap Minggu puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) dan calon relawan ke Afgan berlatih bela diri Kempo dan tenaga dalam Panca Sakti. Setelah lulus seleksi awal, mereka akan memasuki seleksi pendalaman agama dan latihan fisik. Menurut Su'aib Didu, GPI pusat baru akan memberikan pelatihan fisik dalam pekan ini. Setelah lulus, mereka dibekali paspor dan akan dikirim ke negara tetangga. "Jaringan di negara jiran yang secara estafet akan membantu keberangkatan mereka sampai perbatasan," kata Didu. Pernyataan Didu dibenarkan Al-Chaidar, "Mereka biasanya menggunakan perahu nelayan dari Burma ke India dan Pakistan," katanya. Urusan jihad dan mati syahid memang rahasia Allah. Tapi, bukankah mereka tak kenal medan Afgan? Bukankah mereka ini tak terlatih menggunakan senjata? Jihad bisa dilakukan di mana saja, terutama di dalam negeri, memerangi kemiskinan dan kebodohan. Mereka yang telanjur berangkat sebaiknya memilih jadi relawan dan menolong rakyat Afgan yang jadi korban bom—sebuah jihad yang tak kalah pentingnya. Edy Budiyarso, Agus Hidayat, Wahyu Djatmika (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus