Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Klaten - Selalu ada hikmah di balik musibah. Sebelum terjadi gempa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta pada 27 Mei 2006, tidak sedikit difabel di Kecamatan Gantiwarno dan Wedi yang hanya mengurung diri di rumah. Gantiwarno dan Wedi adalah dua kecamatan di Kabupaten Klaten yang saat itu terdampak gempa cukup parah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dulu saya tidak tahu harus berbuat apa dan mesti ke mana untuk mencari kerja. Tidak ada yang ngaruhke (memberi petunjuk). Perhatian pemerintah kepada difabel kala itu belum seperti sekarang," kata Partoyo saat ditemui Tempo di rumahnya di Dusun Pulorejo, Desa Mlese, Gantiwarno, Klaten, pada Selasa, 4 Desember 2018.
Partoyo adalah penyandang paraplegia (penurunan motorik atau fungsi sensorik gerak tubuh karena bawaan sejak lahir atau kecelakaan yang menyebabkan cedera sumsum tulang belakang). Dia mengelola bengkel spesialis modifikasi sepeda motor roda tiga untuk difabel sejak 2008.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah gempa 2006, Partoyo mengatakan, sejumlah lembaga dan yayasan yang mengemban misi kemanusiaan mulai berdatangan ke Kecamatan Gantiwarno dan Wedi untuk memberikan bantuan serta pendampingan bagi para korban bencana. Salah satunya KARINA atau Caritas Indonesia, yayasan milik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Meski disabilitas yang disandang bukan akibat gempa, Partoyo dan sejumlah difabel lain turut direkrut dalam pelatihan keterampilan yang diselenggarakan KARINA pada 2007. "Kedua kaki saya lumpuh karena tulang belakang patah akibat terjatuh saat mengelas atap sebuah gudang di Jakarta pada 2000. Saat itu usia saya 25 tahun," kata Partoyo yang memutuskan pulang kampung pada 2001 dan menganggur selama lima tahun di rumah.
Partoyo duduk di atas sespan sepeda motor roda tiga hasil rakitannya. Partoyo adalah penyandang disabilitas paraplegia asal Dusun Pulorejo, Desa Mlese, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, yang mengelola usaha bengkel spesialis modifikasi sepeda motor roda tiga untuk difabel. Dinda Leo Listy / KLATEN
Karena berpengalaman kerja sebagai tukang las, Partoyo ikut dalam kelompok pelatihan bengkel bersama tiga difabel lain dari Kacamatan Gantiwarno dan Wedi. Oleh KARINA, mereka berempat dikursuskan di sebuah bengkel di Muntilan, Kabupaten Magelang. "Bengkel Mas Bambang di Muntilan itu bisa dibilang sebagai pionirnya modifikasi sepeda motor untuk difabel di Jawa Tengah," kata Partoyo.
Setelah menguasai ilmu modifikasi sepeda motor roda tiga, Partoyo dan tiga rekannya diberi modal berupa peralatan untuk mendirikan bengkel di samping kantor sekretariat KARINA di dekat Pabrik Gula Gondang, Klaten. Empat tahun kemudian, satu per satu rekan Partoyo memilih merintis usaha sendiri. "Ada yang buka bengkel, ada yang beternak burung, ada yang pensiun karena faktor usia," kata Partoyo.
Pada akhir 2014, bengkel yang dikelola Partoyo dilepas mandiri oleh KARINA. Sejak itu Partoyo melanjutkan usaha bengkel di rumahnya bersama empat difabel lain dari Kecamatan Jogonalan, Ngawen, dan Gantiwarno yang direkrut oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (sekarang Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja) Klaten.
Partoyo menularkan ilmu modifikasi motor roda tiga kepada para difabel asal Kabupaten Bantul dalam program pelatihan selama tiga bulan yang diselenggarakan oleh KARINA. "Meski rumah saya dulu juga rusak berat akibat gempa 2006, tetap ada hikmah yang saya dapat. Saya bisa buka usaha bengkel dan melatih teman-teman difabel lain," kata Partoyo.
Sekarang, teman difabel dari Yogyakarta tak perlu menempuh jarak jauh ke Klaten jika ingin membuat sepeda motor roda tiga. "Karena sudah ada bengkel yang lebih dekat di Bantul. Nggak apa-apa, rejeki sudah ada yang mengatur. Toh yang mengelola bengkel di Bantul juga saudara saya (sesama difabel)," kata Partoyo sambil tersenyum.