Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Godfather diadili lagi

H.m. sanusi yang sudah divonis 19 thn karena terlibat pengeboman bca, diadili lagi dengan tuduhan baru. yaitu mau menggulingkan & membunuh presiden soeharto, serta ingin mendirikan negara islam indonesia. (nas)

12 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu, ia tampil dengan baju batik lengan panjang berwarna kuning, bercelana dan bersepatu sandal serba cokelat. Ia memasuki ruang sidang, dengan jalan yang agak terhuyung-huyung. Menteri Perindustrian Tekstil dan Kerajinan Rakyat di awal Orde Baru Ir. Haji Muhamad Sanusi itu mulai diadili kembali, Selasa pekan ini. Tampak hadir Ali Sadikin, dan sekitar 30 orang pengunjung. Tapi sidang yang dipimpin Hakim M. Hatta, dan hakim anggota Soegijanto dan Nyonya Sri Ati Santoso, itu hanya berlangsung sekitar 10 menit. Pasalnya, tak seorang pun pembela Sanusi, yang diketuai H.M. Dault dan Anwar Harjono, yang hadir. "Saya mohon sidang ditunda," kata Sanusi. Hakim mencoba "menawarnya", sebab toh hanya membacakan dakwaan. Sanusi tetap tak bersedia, "Sebab, perkara ini terlalu gawat." Memang, inilah perkara subversi yang lain ketimbang yang sudah diadili. Kabarnya, Jaksa menuduh Sanusi berusaha menggulingkan, bahkan membunuh, Presiden Soeharto. Semua itu bermula ketika tersangka dalam tahun 1980 mengaktifkan kembali Badan Pembelaan Masjidil Aqsa (BPMA). Rapat-rapat BPMA inilah yang kemudian digunakan Sanusi untuk, antara lain, merencanakan pembunuhan Presiden Soeharto, serta mendirikan Negara Islam Indonesia. Selaku Ketua BPMA, demikian kabarnya Sanusi memanfaatkan pula forum pertemuan pengurus BPMA itu untuk menyampaikan konsepsi politik Petisi 50. Pemikiran-pemikiran yang timbul dalam Petisi 50 haruslah pula menjadi pemikiran di BPMA. Adapun pemikiran-pemikiran itu telah berkembang menjadi doktrin politik: Ganti kepemimpinan nasional karena telah menyelewengkan Pancasila. Lebih jauh, kecuali doktrin itu, Sanusi juga menyampaikan apa yang disebut "Lima Gumpalan Politik". Inilah Nasabri (Nasional-Agama-ABRI), Posko ABRI, Lembaga Soekarno-Hatta, Badan Pekerja Petisi 50, serta Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Tujuan Lima Gumpalan Politik ini: Mengganti Kepemimpinan Nasional Jenderal Soeharto Menegakkan Demokrasi Pancasila Menolak Asas Tunggal Pancasila dan Menolak Dominasi Ekonomi Kelompok Nonpri Cina. Yang menonjol dalam tuduhan ialah rencana Sanusi menyingkirkan Presiden Soeharto. Ini dibicarakan awal Desember 1981. Jika berhasil, pemerintah akan berganti dengan koalisi Nasabri, yang kemudian melakukan penataan politik dengan mengubah sistem kepartaian, serta mengadakan Pemilu yang lebih demokratis. Ihwal rencana membunuh Presiden Soeharto itu dibicarakan kembali oleh terdakwa dalam Juli 1982. Di sini terdakwa, kata sumber di Kejaksaan, memberi petunjuk kepada saksi Nuriman, bahwa pembunuhan akan dilakukan dengan menggunakan bahan peledak. Peledak ini ditempatkan di tengah-tengah rel kereta api yang terdapat di Jalan Cut Mutiah, Jakarta Pusat. Ia baru diledakkan, saat mobil iring-iringan Presiden melintasi jalan itu hendak menuju Bina Graha. Terdakwa lantas memberikan uang Rp 4.400.000 kepada Nuriman, untuk membeli bahan peledak. Agustus 1982, di Restoran Mira Sari, Jalan Patiunus, Jakarta Selatan, kembali terdakwa bertemu dengan berbagai saksi. Di antaranya Mochammad Achwan, yang sejak 3 April lalu diadili di Pengadilan Negeri Malang, karena meledakkan Borobudur. Jaksa Syakranie, yang menangani perkara Achwan itu, dalam surat dakwaannya mengatakan, H.M. Sanusi dalam pertemuan di restoran itu, yang antara lain juga dihadiri Mursalin Dahlan, menyebutkan bahwa: Presiden Soeharto sudah terlalu jauh menyelewengkan Pancasila dan UUD 45. Pak Harto memperkaya diri sendiri kelewat batas dengan menyalahgunakan wewenang. Pak Harto sudah tidak bisa diluruskan lagi secara parlementer maupun oleh para menterinya, jadi Pak Harto harus "dilenyapkan", kalau kita umat Islam ingin menyelamatkan Negara dan Bangsa. "Untuk melenyapkan Pak Harto," kata Jaksa Syakranie dalam dakwaannya, ada Tim Khusus dipimpinan Mursalin Dahlan." Tim khusus Ini, menurut Syakranie dibai'at untuk membuat bom waktu yang dikendalikan dari jauh. Tujuannya? Melenyapkan Presiden Soeharto. Adapun Sanusi, katanya, sudah memberikan uang untuk membeli bahan peledak itu. Dikabarkan, dalam dakwaan Jaksa Bagio Supardi, yang menangani perkara Sanusi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, disebutkan rencana pembunuhan Pak Harto itu akhirnya akan dilaksanakan pada 23 Februari 1983. Inilah saat Presiden meresmikan pemugaran candi Borobudur. Peresmian selesai, dan tak terjadi sesuatu apa pun, Sanusi segera mendatangi beberapa saksi. Sanusi, kabarnya, bertanya, "Kok tidak jalan?". Sanusi kini tengah menjalani hukuman 19 tahun penjara. Pengadilan Negeri Jakarta Barat, hampir setahun silam, menyatakan ia terbukti turut serta merencanakan serta membiayai peledakan BCA. Tuduhan kali ini memang lebih berat, berencana menggulingkan dan menyingkirkan Presiden Soeharto. Menurut seorang jaksa, dalam pemeriksaan perkara yang bisa dihukum mati ini, Sanusi pun kembali membantah semua keterangan saksi. "Saya menolak semua tuduhan itu," kata Sanusi, pekan lalu. Ia, pernah melihat di ruang pemeriksaan jaksa, sebuah bagan. "Di situ saya berada paling atas," katanya. "Saya dianggap sebagai biang keladi atau godfather dari segala keonaran." Setelah pelaku peledakan Borobudur dan bis Pemudi Express di Malang divonis, katanya, bagan itu tak relevan lagi. "Semuanya sudah rontok, dan tidak ada sangkut pautnya dengan saya," komentarnya. Ia, katanya, mestinya bebas dari tuduhan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tempo hari, "Tapi toh saya dihukum 19 tahun." Ia mengatakan tetap berpegangan pada UUD 45 dan Pancasila. Oposisi? "Boleh saja, asal kegiatannya konstitusional." Karena itulah, "menggulingkan pemerintah tak ada sama sekali dalam pikiran saya." Sanusi mengatakan, dalam usianya menjelang 66 ini, ia telah bersiap-siap menghadap Tuhan. "Onderdil-onderdil tubuh saya sudah sowak," katanya. Ada ambeien, sakit jantung, liver, sementara mata, telinga, dan tenggorokan mulai kronis. Tapi, ia bersyukur, karena dalam seminggu, diperbolehkan keluar rumah tahanan, dua kali memeriksakan kesehatannya di RS Islam Jakarta. "Inilah yang membuat tenaga saya berfungsi 70 persen," katanya. Kalau tidak, "Saya barangkali sudah ambruk." Saur Hutabarat, Laporan A. Luqman & Agus Basri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus