Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam kurun dua pekan terakhir, ramai kalangan intelektual dari kampus, gurubesar dan sivitas akademika mengkritik Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Beragam protes dilayangkan lantaran Jokowi dinilai telah keluar dari nilai-nilai demokrasi. Gerakan tersebut meluas dan diikuti berbagai perwakilan kampus seperti guru besar, dosen dan mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya kalangan akademisi itu membawa ingatan tentang petuah Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta alias Bung Hatta soal tanggung jawab kaum intelegensia. Dalam pidatonya bertajuk Tanggung Jawab Moral Kaum Inteligensia, Bapak Koperasi itu banyak meninggalkan pesan untuk kaum-kaum terdidik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Monolog itu Bung Hatta sampaikan saat Hari Alumni I Universitas Indonesia pada 11 Juni 1957. Meski usai syarah tersebut sudah genap 66 tahun, tapi isinya tak lekang oleh zaman. Apa yang disampaikan Tokoh Proklamator 17 Agustus 1945 tersebut masih relevan meski diutarakan setengah abad lebih silam.
Menurut Bung Hatta perkembangan kehidupan banyak diatur menurut plan. Kondisi ini menghendaki pimpinan berdasarkan pengetahuan yang kebanyakan hanya terdapat pada kaum intelegensia atau kalangan terdidik. Oleh karena itu, pertanggungjawaban kaum intelegensia dalam hidup kemasyarakatan di masa datang akan bertambah besar.
“Bukan saja pembangunan ekonomi diatur dan diperhitungkan menurut rencana, tetapi juga tindakan demokrasi politik. Ini menghendaki adanya pimpinan politik yang berjiwa besar dan bermoral tinggi,” kata Bung Hatta.
Bung Hatta mengatakan kaum inteligensia Indonesia mempunyai tradisi yang baik dalam menentukan nasib bangsa. Saat Indonesia masih berselimut kegelapan di masa penjajahan, kaum terpelajarlah yang membuka mata rakyat bahwa mereka berhak atas hidup sebagai bangsa yang merdeka. Berkat kaum intelegensia, Indonesia bisa lepas dari penjajahan.
“Pergerakan politik yang pertama kali menuntut Indonesia lepas dari Belanda, dipimpin oleh tiga orang dari kaum terpelajar pula. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo, dan Suwardi Surjaningrat,” kata Proklamator itu.
Bung Hatta lalu berpesan kepada kaum intelegensia, supaya mereka meneruskan tradisi yang gilang gemilang kaum inteligensia terdahulu. Bila kerja kaum intelegensi dahulu adalah merobohkan kekuasaan Hindia Belanda, pekerjaan kaum intelegensi sekarang membangun Indonesia yang adil dan makmur.
“Pokok kemauan dan keberanian itu terletak pada cinta akan kebenaran dan keadilan, sebagai pembawaan orang berilmu cinta akan suatu cita-cita besar yang menjadi penyuluh harapan bangsa,” kata Bung Hatta.
Bagi Bung Hatta, manusia di era “sekarang” adalah bibit di masa mendatang. Menurutnya, memperbaiki kerusakan di era sekarang akan menjamin kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. Sebab, kata Bung Hatta, angkatan sekarang memiliki hubungan timbal-balik tanggung jawab kepada angkatan “masa lalu” serta angkatan “yang akan datang”.
Sebagai penerus generasi masa lalu, generasi sekarang harus mewarisi tanah pusaka bangsa kepada generasi mendatang dalam keadaan lebih baik. Sehingga generasi masa mendatang dapat meneruskan pemeliharaan Tanah Air sebagai pusaka bangsa. Demikian pula generasi mendatang yang bakal menjadi generasi “sekarang” berikutnya, juga memiliki kewajiban yang sama.
Pesan Bung Hatta ini bersifat untemporary alias tak terbatas waktu. Meskipun pidato ini diungkapkan puluhan tahun silam, tetapi maksud dan tujuannya dapat disampaikan kepada generasi-generasi setelahnya. Bagi Bung Hatta, penting setiap generasi selalu menjaga Tanah Air untuk generasi setelahnya. Sebab kebaikan atau kerusakan di suatu generasi akan mempengaruhi generasi berikutnya.
“Manusia sekarang adalah bibit bagi masa datang. Hanya dengan memperbaiki yang rusak itu di waktu sekarang, juga dapat dijamin pertumbuhan masyarakat yang sehat ke dalam masa yang akan datang,” ujar Bung Hatta.