Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH empat bulan perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, berlalu. Namun nasib ganti rugi lahan warga sejumlah kampung yang terkena dampak proyek jalan Labuan Bajo-Golo Mori, yang dibangun untuk menyokong konferensi tersebut, tak kunjung terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami menilai pemerintah seperti tidak serius dalam menanggapi urusan ganti rugi bagi warga,” kata Kepala Divisi Riset dan Advokasi Sunspirit, Anno Susabun, kepada Tempo, Senin, 14 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sunspirit merupakan kelompok masyarakat sipil yang bergerak untuk advokasi keadilan di wilayah Nusa Tenggara Timur. Kelompok ini turut memantau kerugian masyarakat yang lahannya tergusur dan terkena dampak proyek pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori yang dibangun sepanjang 25 kilometer menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tana Mori. Jalan ini sedianya disiapkan untuk dilintasi oleh peserta KTT ASEAN. Belakangan, rencana menjadikan KEK Tana Mori sebagai salah satu lokasi acara konferensi batal lantaran KTT difokuskan di Labuan Bajo.
Namun dampak pembangunan jalan itu telah dirasakan oleh masyarakat. Sebagian warga kampung yang menyerahkan lahannya untuk dijadikan jalan itu tak mendapat penggantian kerugian. Begitu pula tak ada kejelasan ganti rugi terhadap lahan pertanian masyarakat yang terimbas perubahan struktur ruang akibat proyek tersebut. Dalam catatan Sunspirit, proyek senilai Rp 481 miliar itu merugikan warga Kampung Cumbi di Desa Warloka, serta Kampung Mberata, Kampung Nanga Nae, dan Kampung Nalis di Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Permasalahan ini pula yang melatarbelakangi terjadinya represi dan kriminalisasi menjelang pelaksanaan KTT ASEAN pada awal Mei lalu.
Menurut Anno, warga kampung bersama para pendamping telah melakukan segala upaya untuk menuntut hak mereka. Persoalan ganti rugi lahan ini, kata dia, juga telah disampaikan kepada Kantor Staf Presiden (KSP), baik melalui forum dialog maupun pengiriman dokumen-dokumen yang diminta pemerintah. Dokumen yang dikirim warga itu telah dilayangkan bersama surat yang dikirim oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo ke kantor KSP di Jakarta pada 28 Juli lalu.
“Kami sempat menanyakan kepada pihak KSP perihal surat yang dikirim, tapi tidak ada respons,” kata Anno. “Belum ada jawaban pasti soal penggantian ini.”
Anggota LBH Labuan Bajo, Arrio Jempau, mengatakan warkat yang dikirim lembaganya kepada kantor KSP adalah Surat Permohonan Penyelesaian Ganti Rugi Lahan Masyarakat Nomor 07/LBH/VII/2023. Surat itu juga dilengkapi dengan lampiran surat kuasa khusus, dokumen kronologi permasalahan ganti rugi warga Kampung Cumbi dan Kampung Nalis, data diri warga yang terkena dampak penggusuran, serta alas hak kepemilikan lahan. LBH Labuan Bajo telah mengantongi surat tanda terima tertanggal 28 Juli 2023. “Namun belum ada kejelasan sampai saat ini,” kata Arrio.
Sawah milik Abdul Kesau menjadi saluran pembuangan air dari gorong-gorong jalan Labuan Bajo-Golo Mori. Dok. Floresa
Warga Menanti Hak tanpa Kepastian
Dominikus Safio Bion, warga Kampung Cumbi, mengatakan ketidakjelasan nasib ganti rugi lahan kini menyebabkan dirinya terserang rasa cemas berlebih. Kekhawatiran terbesar Domi—panggilan Dominikus—adalah tak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. “Rumah kami tidak ada. Sekarang sawah juga rusak terus terendam air karena drainase tertutup jalan,” kata Domi. “Sehingga ganti rugi ini sangat penting bagi kami untuk menyambung hidup.”
Hal serupa diutarakan warga Kampung Cumbi lainnya, Viktor Frumentius. Menurut dia, warga telah melakukan semua yang diperintahkan pemerintah. Dia mencontohkan, masyarakat telah membatalkan rencana demonstrasi pada perhelatan KTT ASEAN. Masyarakat telah mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menuntut hak atas lahan mereka yang dirampas negara. Masyarakat juga telah melakukan dialog virtual dengan perwakilan KSP pada 10 Juli lalu. “Jadi, apa yang masih kurang? Apa yang jadi kendala sampai kami tidak ditanggapi?” ujarnya.
Anno Susabun menjelaskan, dialog pada 10 Juli lalu difasilitasi oleh para pendamping agar warga yang terkena dampak pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori dapat menyampaikan langsung tuntutan mereka kepada perwakilan KSP. “Dalam pertemuan itu, pihak KSP meminta warga melengkapi lebih dulu semua persyaratan dokumen,” kata Anno.
Namun Deputi I KSP Bidang Infrastruktur, Energi, dan Investasi, Febry Calvin Tetelepta, membantah jika KSP disebut meminta warga melengkapi dokumen persyaratan perihal ganti rugi lahan. Sampai saat ini, kata dia, KSP juga tidak pernah menerima dokumen apa pun yang dikirim oleh masyarakat. “Kami tidak pernah menjanjikan apa pun terkait permintaan ganti rugi lahan ini,” ujarnya.
Menurut dia, masalah pengadaan tanah proyek pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori bukan tanggung jawab KSP, melainkan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Begitu pula pelaksanaan pekerjaan merupakan tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Pengerjaan Jalan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Foto udara kawasan Mice di jalan Bajo-Golo Mori, Desa Golo Mori, Manggarai Barat, NTT, 4 Mei 2023. ANTARA/Zabur Karuru
Klaim Pemerintah dan Rencana Perlawanan Masyarakat
Calvin mengklaim proyek pembangunan jalan telah mendapat dukungan dari seluruh pihak. “Proyek jalan tersebut selesai dengan baik dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata dia.
Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat telah berkomunikasi dengan warga kampung yang terkena dampak pembangunan jalan. Setelah melalui serangkaian musyawarah, kata dia, masyarakat ataupun pemilik tanah telah menyatakan kesediaan untuk menyerahkan secara sukarela guna mendukung pembangunan dan peningkatan jalan tersebut. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat pernyataan dan fotokopi kartu identitas warga yang diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat selaku penanggung jawab pengadaan tanah. “Warga menyatakan tidak akan menuntut ganti rugi,” kata Calvin. “Jadi, tidak ada yang menerima ganti rugi untuk proyek ini.”
Viktor Frumentius tak menampik ihwal adanya surat pernyataan yang dibuat masyarakat pada masa pengadaan lahan untuk rencana proyek jalan Labuan Bajo-Golo Mori. Namun, menurut dia, surat pernyataan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh masyarakat dalam kondisi tertekan. Warga terpaksa meneken surat pernyataan untuk tidak menuntut ganti rugi lahan karena sangat menginginkan adanya akses yang melintasi area perkampungan mereka. “Kami tidak punya pilihan saat itu,” kata Viktor. “Kalau kami tidak tanda tangan, jalan akan dibuat di luar kampung.”
Pendamping warga Kampung Cumbi, Ladislaus Jeharun, mengatakan masyarakat semakin geram dengan tidak adanya kejelasan ihwal persoalan ganti rugi lahan proyek jalan Labuan Bajo-Golo Mori. Menurut dia, warga kampung yang terkena dampak proyek itu tengah merencanakan untuk kembali melakukan aksi demonstrasi menuntut penuntasan ganti rugi ini. “Mereka akan memagari jalan karena itu kan masih tanah mereka,” ujar Ladislaus.
Ladislaus menyatakan telah mengimbau agar warga kampung tidak melakukan aksi memagari jalan, mengingat adanya potensi represi seperti yang pernah terjadi menjelang perhelatan KTT ASEAN. “Kami mengimbau ini hanya jadi opsi selain untuk menggugat di pengadilan,” kata dia. Pada Mei lalu, Ladislaus dan tiga orang lainnya sempat dipanggil oleh Kepolisian Resor Manggarai Barat untuk memberikan keterangan dalam penyidikan kasus dugaan penghasutan. Tindakan kepolisian saat itu memantik reaksi para pegiat hak asasi manusia karena dianggap sebagai kriminalisasi untuk membungkam suara masyarakat Labuan Bajo.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo